Senin, 12 Agustus 2019

Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia, Perlawanan dari Dalam Penjara


NIBRAS NADA NAILUFAR - 12/08/2019, 06:00 WIB

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua. (KOMPAS/SINDHUNATA)

KOMPAS.com - 13 Oktober 1965, rumah Pramoedya Ananta Toer di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur dilempari batu oleh segerombolan pemuda. Pintu rumahnya hancur. Pram yang saat itu sibuk menulis meneriaki mereka.

Kakinya terluka kena lemparan batu. Ketika hendak melawan, satu peleton tentara datang mencegah amuk Pram. 
"Mari Pak, kita amankan!" kata tentara kepada Pram.
Pram tak tahu apa yang terjadi. Ia hanya membawa beberapa buku, kotak file, mesin tulis, dan naskah yang harus diselesaikan.
"Saya kira diamankan dari gerombolan pemuda ini. Enggak tahu ditahan 14 tahun," kata Pram seperti dikutip dari buku Pram Melawan (2011).
Seluruh barangnya disita, mulai dari jas hingga jam tangan. Yang paling membuatnya sedih, banyak naskah karangannya dibakar. Badannya digebuki sampai hampir tak sadarkan diri.

Pemukulan yang dialaminya saat itu merusak pendengarannya. Telinga kirinya luka parah hingga kadang-kadang mengeluarkan darah sampai ia tua. Pram digelandang dari tahanan Polisi Militer, ke Cipinang, Tangerang, Nusa Kambangan, hingga tahanan di Pulau Buru.

Penangkapan itu menjadi titik penting dalam hidup Pram. Membentuknya menjadi sosok yang keras, penuh kemarahan, dan hasrat perlawanan.

Semua itu tertuang dalam tulisannya. Namun, lebih dari 50 karyanya akhirnya berhasil diterbitkan dan diterjemahkan ke 41 bahasa. Sejumlah penghargaan internasional diterimanya, yang paling bergengsi dan kontroversial, Magsaysay Award.

Hari ini, karya-karya Pram masih laris dibeli di toko buku dan terus dicetak ulang. Yang terlaris, Bumi Manusia dari Tetralogi Buru, serta Perburuan, akhirnya difilmkan.

Apa yang membuat Pram begitu ditakuti dulu, namun dirayakan kini?

Melawan feodalisme Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram.

Ia menyebut, di Orde Lama kritik yang disampaikan Pram lewat esai dan ceritanya juga dilakukan oleh banyak penulis lainnya. Namun setelah Orde Baru berkuasa, Pram menjadi satu dari sedikit penulis yang masih berani melawan kendati dalam tahanan.
"Tahun 1970-an bentuk novel sejarah seperti Pram enggak banyak. Boleh dibilang dari segi itu Pram pelopor lah, bikin historical novel. Ini genre yang khas karena selalu berusaha menggambarkan masyarakat sebagai totalitas, bukan fragmen. Dari segi itu belum ada bandingannya," kata Fay, panggilan akrab Hilmar Farid dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
"Umar Kayam kan nulis Para Priyayi, Romo Mangun nulis Burung-burung Manyar, tapi yang daya jangkaunya terhadap fakta sejarah kayaknya cuma Pram," lanjut dia.
Novelnya yang paling terkenal di antaranya Tetralogi Buru, Arok Dedes, dan Arus Balik. Novel-novel itu, dan hampir sebagian besar karya Pram, punya benang merah yang sama, yakni budaya feodalisme. Tetralogi Buru terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. (KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO)

Jika di Tetralogi Buru feodalisme terjadi di era kolonialisme Belanda, di Arok Dedes dan Arus Balik feodalisme ditunjukkan lewat dalam tatanan sosial Jawa.

Dalam Arus Balik, Pram menghadirkan tokoh manusia biasa bernama Wiranggaleng. Ia adalah pemuda juara gulat dari desa Awis Krambil, Tuban. Latarnya, keruntuhan Majapahit dan bangkitnya Kesultanan Demak.

Wiranggaleng sebenarnya hanya ingin hidup sederhana di desa bersama kekasihnya Idayu. Namun penguasa Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilatikta memberi Wiranggaleng jabatan dan berbagai tugas. Wiranggaleng hanya bisa patuh menuruti penguasa dan mengorbankan hubungan personalnya dengan keluarganya.
"Hanya saja bukan kritik yang hitam putih terhadap feodalisme. Malah feodalisme bisa hidup karena orang mendapat manfaat darinya. Dan itu justru yang membuatnya sulit untuk dilawan," kata Fay.
Masuk ke Tetralogi Buru yang mengambil era 1890 hingga 1920, Pram kembali mengkritik feodalisme lewat tokoh utamanya, Minke.

Di novel pertama, Bumi Manusia, Minke diperkenalkan sebagai anak Bupati yang sangat pandai dan bersekolah di HBS bersama anak-anak keturunan Eropa. Minke jatuh cinta pada seorang gadis yang pandai juga bernama Annelies. Annelies adalah putri dari Nyai Ontosoroh, seorang simpanan Belanda yang melawan stigma masyarakat lewat kecerdasan dan ketegarannya.

Cinta Minke dan Annelies harus berhadapan dengan kolonialisme kala itu. Pribumi, termasuk gundik Belanda, terasing di tanahnya sendiri. Perlawanan sebaik-baiknya dilakukan Minke dan Nyai Ontosoroh, namun mereka akhirnya tetap kalah dengan hukum kolonial yang berlaku kala itu.
"Feodalisme dalam pemahaman Pram di karya-karyanya itu yang sebetulnya menghambat perkembangan. Karena orang tidak bisa berpikir terbuka, tidak bisa bicara apa adanya, harus selalu berpikir di dalam kerangka hierarki, bahkan mengamini hal yang tidak baik atas nama ketaatan terhadap atasan dan seterusnya," kata Fay.

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.(KOMPAS/ AGUS SUSANTO)

Imajinasi Indonesia Untuk memahami nasionalisme, peneliti Universitas Cornell, Benedict Anderson mengusulkan konsep "imagined community".

Bangsa tak tercipta begitu saja dari langit, tapi lahir dari imajinasi orang-orangnya akan kolektivitas. Pram yang bersahabat baik dengan Anderson, sudah lebih dulu menghadirkan imajinasi akan bangsa Indonesia lewat cerita-ceritanya.

Dalam Bumi Manusia, misalnya, Pram mengkritik sekat-sekat yang menghalangi manusia akan kebebasannya menentukan nasibnya sendiri.
"Dia kan melihat bagaimana cintanya itu berhadapan dengan tembok-tembok pemisah yang dilihatkan lewat kolonialisme. Sebagai seorang pemuda yang jatuh cinta, dia berjuang meruntuhkan tembok-tembok itu," kata Fay.
Perasaan yang sama dirasakan tokoh-tokoh Pram lainnya. Mereka semua dipertemukan lewat kesamaan imajinasi akan hidup yang lebih baik dan adil.

 Jika Revolusi Perancis membuang seluruh tatanan kolonial, di Indonesia, kolonialisme meninggalkan warisan. Warisan itu menjadi masalah bagi Indonesia hari ini. Mulai dari sistem hukum hingga rasisme.
"Pertanyaannya yang kemudian tersisa, kalau begitu bagaimana cara kita berhadapan dengan sisa-sisa kolonialisme sampai hari ini? Apa yang harus dilakukan? Sampai di mana batas toleransi terhadap hal-hal negatif dari warisan feodal itu? Itu problematik yang saya kira dalam novelnya Pram melalui interaksi tokoh-tokohnya itu tergambar betul," ujar Fay. 
Namun, jika seluruh persoalan ini terlalu berat bagi Anda yang baru mengenal Pram, Fay menganjurkan Anda memulai dari karya Pram favoritnya, Cerita dari Jakarta. Kumpulan cerpen itu menawarkan kritik yang jenaka, sinis, dan ironis.
"Pram bisa bermain-main dengan realitas yang pahit, menertawakan nasib sendri," ujar Fay.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Heru Margianto

0 komentar:

Posting Komentar