Selasa, 17 Desember 2013

Gus Mus: Bagi Gus Dur, Orang Komunis Bukan Kafir


Oleh : Tempo.Co
Selasa, 17 Desember 2013 17:13 WIB

Mustofa Bisri. TEMPO/Dimas Aryo

Yogyakarta - Suatu kali, saat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur masih menjabat Presiden RI, cendekiawan muslim Muhammadiyah, Habib Chirzin, mengaku sempat bepapasan dengan rombongan kepresidenan saat berziarah ke makam nabi di Masjid Nabawi, Madinah. Setelah lewat tengah malam, ketika rombongan kepresidenan akan beranjak pergi, Chirzin diminta oleh Sutarman --ajudan Gus Dur yang kini menjabat Kapolri-- untuk menghampiri mobil Gus Dur.
"Dia buka pintu mobil dan pamit dulu ke saya kalau akan mendahului pulang," ujar mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah itu ketika berbicara dalam haul keempat mendiang Gus Dur yang digelar oleh Jaringan Lintas Iman Yogyakarta di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, Senin malam, 16 Desember 2013.
Chirzin terkesan karena jabatan presiden tidak mengubah karakter Gus Dur. Dia menganggap Gus Dur tak banyak berubah dalam urusan kesopanan menghormati teman, meskipun mereka warga biasa. 
"Sejak dulu, ia terbiasa membuat orang lain merasa dihargai dan dihormati," kata Chirzin.
Kiai yang juga sastrawan asal Rembang, Jawa Tengah, Mustofa Bisri tidak datang dalam haul itu. Tapi, lewat rekaman video, Gus Mus menyatakan kesannya tentang sosok Gus Dur. 
"Ada kiai sepuh yang bilang, Gus Dur tetap dianggap keramat hingga selepas meninggal karena mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan kiai mana pun," ujar dia.
Gus Mus mengatakan kiai sepuh itu mencontohkan keberanian Gus Dur melawan arus besar di Nahdlatul Ulama dengan menyampaikan permintaan maaf atas kasus pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada 1965. Sikap, yang diikuti dengan usulan Gus Dur untuk pencabutan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, itu menurut Gus Mus menunjukkan karakter Gus Dur yang mampu meminta maaf sekaligus memaafkan dalam urusan politik yang sensitif. 
"Dia menganggap orang komunis sebagai sesama manusia, bukannya orang-orang kafir," ujar Gus Mus.
Istri almarhum Gus Dur, Shinta Nuriyah, menganggap ide aktivis lintas iman di Yogyakarta, yang menggelar haul untuk mengenang gagasan-gagasan Gus Dur mengenai penegakan hak asasi manusia dan kebangsaan, muncul karena konflik berbasis perbedaan suku dan agama tak kunjung usai. Menurut dia, banyak orang merasa kehilangan sosok kiai nyentrik itu karena saat ini jarang ada tokoh yang mau pasang badan untuk melawan perampasan hak warga negara, terutama yang minoritas. 
"Kalau penganut Syiah masih terlunta-lunta, jemaat GKI Yasmin dilarang beribadah, wajar banyak orang merindukan Gus Dur," kata dia.
Menurut dia, Gus Dur selayaknya menjadi sumber inspirasi bagi banyak pejuang isu-isu kemanusiaan di Indonesia. 
"Kalau terus dirawat, sumber itu tidak akan kering," ujar Shinta.
Rohaniwan Katolik Yoseph Suyatno Hadiatmojo menyatakan saat ini banyak aktivis pendukung toleransi yang mengakui bahwa tokoh pejuang keberagaman sekaliber Gus Dur belum tergantikan. Karena itu, menurut dia, pendukung toleransi harus terus mengkampanyekan ide besar Gus Dur mengenai republik pengayom semua kelompok. 
"Terakhir, saat bertemu penggiat toleransi di Yogyakarta sebelum meninggal, Gus Dur menilai perjuangan menjaga kemajemukan masih berat di Indonesia," ujar pegiat di Forum Persatuan Umat Beragama ini.
Ketua panitia haul Gus Dur di Yogyakarta, Ahmad Ghozi, memang mengakui sengaja menggelar acara ini di Yogyakarta untuk menunjukkan ke publik bahwa pendukung kemajemukan dan kebebasan beragama serta berekspresi masih banyak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut dia, forum seperti ini bisa menjadi ruang dialog publik untuk merefleksikan langkah di masa depan dalam menjaga toleransi dan perdamaian antarkelompok berbeda suku dan iman. 
"Kami berusaha gagasan ini juga bisa efektif menyentuh kalangan usia muda dan pelajar, makanya kami gelar di Malioboro dan diisi beragam acara hiburan," kata dia.
Budayawan Sobari mengingatkan gagasan Gus Dur tidak terbatas pada isu menjaga pluralitas. Menurut Sobari, sikap politik Gus Dur merupakan hasil upaya pembacaan sekaligus perombakan ulang pada konstruksi budaya di Indonesia agar semakin egaliter, demokratis, dan manusiawi. 
"Dia seperti tokoh wayang Rama Bargawa, brahmana yang berjuang menghancurkan keangkuhan dan kesewenang-wenangan golongan kesatria," ujar Sobari.

ADDI MAWAHIBUN IDHOM 
Sumber:Tempo.Co 

0 komentar:

Posting Komentar