Dec 4th, 2013
“Ada pencuri yang dikejar-kejar massa, lalu diteriaki PKI. Pencuri itu mendadak berhenti dan mengatakan pada massa yang mengejarnya kalau dirinya bukan PKI, tapi hanya pencuri”
Demikian lelucon Edward L
Poelinggomang, salah satu nara sumber pada sebuah diskusi dan peluncuran
buku “Sulawesi Bersaksi” yang digelar di Aula Prof. Mattulada Universitas
Hasanudin, Makasar, Senin 3 Desember 2013.
Diskusi dan peluncuran buku ini merupakan rangkaian dari
beberapa diskusi serupa yang telah digelar sejak 2 bulan lalu di beberapa
daerah untuk mempublikasi buku yang menguak tragedi 1965, khususnya yang
terjadi di Sulawesi.
Lelucon diatas sendiri adalah ungkapan miris yang
menggambarkan betapa PKI telah menjadi momok menakutkan di masyarakat pada
jaman orde baru, bahkan mungkin sampai sekarang.
Alur diskusi yang berlangsung sekitar 3 jam itu
memahamkan bahwa gerakan 30 September yang diubah Soeharto menjadi G30S/PKI
telah berhasil memainkan stabilitas kekuasaan politik orde baru selama 32
tahun. Lebih dari itu, hal tersebut dilanjutkan dengan “menggunting sejarah”
pembantaian massal terhadap orang-orang yang yang terlibat maupun dituduh
sebagai PKI.
Namun, kisah-kisah pembantaian, penyekapan, penangkapan,
dsb, yang mulai terkuak setelah reformasi, ujar Dr Suriadi Mappangara M.Hum , seorang
dosen yang juga menjadi nara sumber diskusi tersebut, terasa masih sangat
didominasi daerah Jawa dan Bali. Tak heran masih banyak mahasiswa di Makasar
sendiri yang berpikir peristiwa pembantaian massal terhadap ‘orang-orang PKI’,
kalaupun ada, hanya terjadi di beberapa daerah saja. Sehingga kurang dekat
dengan mereka. Disinilah letak penting buku “Sulawesi Bersaksi” yang berisi
kesaksian para korban di Sulawesi. Bahwa luka dan tragedi 65 terjadi luas di
Indonesia dan melengkapi buku-buku yang sudah ada.
Pembakaran buku-buku yang tidak lagi mencantumkan PKI
dibelakang G30S beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh Kejaksaan dan
pihak-pihak tertentu pun tak ketinggalan disinggung. Perilaku ini dinilai
bentuk pembungkaman negara terhadap kajian ilmiah sejarah.
Dalam beberapa kesaksian yang diberikan korban, mereka
umumnya ditangkap dan disekap tanpa proses hukum. Banyak yang hilang tanpa
jejak setelah ditangkap paksa.
Antusiasme ratusan mahasiswa, dosen, guru dan
korban-korban peristiwa 65 yang berkumpul dan berdiskusi di aula tersebut
seakan berkomitmen untuk terus meluruskan sejarah pada generasi bangsa kedepan.
(tato)
0 komentar:
Posting Komentar