ISLAM dan Marxisme merupakan dua hal berbeda, bahkan bertentangan. Islam adalah agama yang ajaranya dapat diterima dan ditolak berdasarkan iman atau kepercayaan, sedangkan Marxisme sebagai suatu teori ilmiah yang diterima atau ditolak berdasarkan penalaran rasional dan obyektif. Kebenaran agama bersifat absolut, sedangkan kebenaran teori ilmiah bersifat relatif yang bersifat hipotesis.
Demikian M. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, menyampaikan makalahnya pada diskusi “Islam dan Marxisme” di Serambi Salihara, 11 Desember 2013.
Menurut sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, Bonnie Triyana, pertanyaan yang mencuat dalam menelaah kaitan Islam dan komunisme di Indonesia sering kali berada di seputar: mengapa di daerah Banten dan Silungkang Sumatera Barat, dua daerah yang mayoritas penduduknya muslim fanatik, bisa sekaligus menerima kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI)?
Paham Marxisme dibawa Henk Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang pada Februari 1913. Dia dipecat oleh Partai Buruh Sosial Demokrat (SDAP) karena bergabung dengan Partai Sosial Demokrat (SDP) yang kelak menjadi Partai Komunis Belanda (CPN). Dia mendirikan Perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia Belanda (ISDV) yang diakui sebagai partai Marxis pertama di Asia Tenggara. Dialah aktor intelektual di balik radikalisme Sarekat Islam (SI) Semarang di bawah Semaoen.
Sementara itu, SI sebagai organisasi muslim dengan jumlah anggota terbesar, di bawah pimpinan Tjokroaminoto menjadi organisasi moderat dan berhubungan baik dengan pemerintah kolonial.
“Sikap demikian ternyata menimbulkan ketidakpuasan sekelompok kecil anggotanya,” kata Bonnie. “Konflik internal mulai terjadi di dalam kepengurusan SI. Pembentukan cabang SI yang otonom memperuncing konflik internal.”
Dawam menyebutkan, ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim yang memilih kooperatif terhadap pemerintahan penjajah membuat Haji Misbach bergabung dengan SI Merah yang dibentuk oleh Semaoen yang setelah mengalami radikalisasi sejak 1919 dan memisahkan diri dari SI, menjadi PKI pada 1923.
“Tjokro-Salim memilih menempuh politik moderat karena ingin menjaga persatuan perjuangan sebagai politik kebangsaan,” kata Dawam.
Menurut Bonnie, perpecahan di tubuh SI semakin memuncak ketika terjadi insiden Afdeling B pada 1919, yaitu perlawanan Haji Hasan di Leles Garut yang menentang pembayaran pajak padi. Peristiwa ini berakibat penangkapan para pemimpin SI termasuk Tjokroaminoto. Agus Salim mengambil-alih kepemimpinan SI dan melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Tjokroaminoto: pembersihan SI dari unsur-unsur komunisme.
Bagaimana Haji Misbach, seorang mubalig, fasih bahasa Arab dan suka mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis Rasulullah dalam tulisan-tulisannya yang bernah nan kritis, dapat menerima komunisme?
Haji Misbach yang taat beragama, kata Bonnie, menerima komunisme sebagai ideologi pembebasan tanpa harus khawatir kehilangan akidahnya. “Pandangan Haji Misbach bersandar pada nilai-nilai ajaran Islam yang berpihak kepada kaum tertindas. Inilah titik temunya dengan ajaran Marxisme yang diperkenalkan oleh Henk Sneevliet,” ujar Bonnie.
Misbach, Dawam menambahkan, menangkap Islam sebagai agama yang revolusioner yang dalam sejarah Nusantara telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. “Dari situlah pikiran Misbach bertemu dengan ideologi komunisme,” kata Dawam.
Seperti halnya Misbach, kata Bonnie, komunisme diterima kalangan ulama di Banten pertama-tama karena kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto. Terlebih SI Banten dipimpin oleh tokoh moderat, Hasan Djajadiningrat. Tokoh SI yang memainkan peran penting dalam perkembangan komunisme di Banten adalah Kiai Haji Achmad Chatib, menantu kiai terkemuka Haji Asnawi Caringin. Tokoh penting lain adalah seorang Arab, Ahmad Basaif, yang pandai bahasa Arab dan khusyuk beribadah. Dia bersama Puradisastra dan Tubagus Alipan, menjadi pionir gerakan yang mengkombinasikan Islam dan komunisme di Banten. Kelak, tokoh-tokoh ulama bersama jawara memainkan peranan penting dalam pemberontakan PKI pada 1926. Pemberontakan serupa terjadi di Silungkang pada awal 1927, juga digerakkan oleh guru agama dan saudagar.
Terlepas pemberontakan tersebut dapat dipatahkan, peristiwa ini menunjukkan bahwa Islam dan komunis pernah harmonis.
Islam dan komunisme dalam pertemuannya bukan perkara ideologi, tetapi semangat perlawanan dalam menghadapi penindasan kolonial. “Mereka bertemu di jalan dan bubar di jalan,” pungkas Dawam, “karena bukan persatuan organik antara agama dan ideologi.”
0 komentar:
Posting Komentar