Jumat, 06 Juni 2014
Bagi generasi muda saat ini, sedikit yang mengingat
tentang sosok-sosok perempuan tangguh yang berkarya dan berjuang untuk banyak
orang. Sedikit mengingat karena penguasa lebih sedikit lagi menuliskannya dalam
buku-buku sejarah sekolah, dalam tayangan-tayangan televisi.
Dari yang sedikit
itu, bersyukur masih ada yang mau menuliskannya, menyiarkannya agar terus
diingat sehingga bisa dicontoh semangatnya, perjuangannya. Untuk ingatan yang
sedikit itulah, Perempuan Pelita hadir untuk sahabat marsinah, tak banyak, baru
seminggu sekali, tiap kamis jam 7 sampai 8 malam. Nah, untuk malam ini, saya, Mimosa
menggantikan sejenak Dias yang sedang pulang ke kampung halaman, di Kota
Lampung. Siapa perempuan tangguh yang akan kami sajikan malam ini? Kejutan
dong, pasti membuat sahabat marsinah berdecak kagum. Sambil menanti
kehadirannya, kita nikmati dulu yuuuk satu tembang manis yang satu ini (iklan
dan lagu)
Di usianya yang menginjak 80an, perempuan ini menghentak jiwa kaum muda karena kalah semangat dan tekad. Ya, sebut dia, Mia Bustam, perempuan anggota Lekra yang ditahan oleh Orde Baru sejak tahun 1965 hingga 1978, dengan menyandang label eks tapol. Di usia yang tidak lagi muda, Mia Bustam justru makin produktif menghasilkan karya-karya terbaiknya. Tercatat, sudah dua buku yang ia tulis diterbitkan, yakni “Sudjono dan Aku”, “Dari Kamp ke Kamp: Catatan Seorang Perempuan”. Dua buku itu mengisahkan perjalanan hidupnya.
Ia ditangkap dan ditahan di Polres Sleman pada 23 November 1965, persis pada hari ulang tahun anaknya yang ke-3. Sebuah truk tentara datang menjemputnya. Dari Polres Sleman, ia dipindahkan ke Benteng Vredenburg pada pertengahan 1966, lalu menghuni Penjara Wirogunan sampai tahun 1971. Setelah itu berpindah-pindah dari Penjara Pelantungan, Weleri, Kendal, dan terakhir di Penjara Perempuan Bulu, Semarang. Setelah 13 tahun hidup dari penjara ke penjara, Mia dibebaskan pada 27 Juli 1978. Akibat penangkapanannya, ia harus terpisah dari 8 anaknya yang kemudian diasuh secara bergantian dari satu teman ke teman lain, dari satu keluarga ke keluarga lainnya, kecuali anak sulungnya yang juga dipenjara karena aktif di CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia).
Buku pertamanya, lebih berkisah tentang hubungan percintaannya dengan Sudjojono. Sudjojono adalah pelukis ternama Indonesia, anggota Lekra, dan digelar sebagai Bapak Pelukis Modern Indonesia. Sudjojono juga dikenal sebagai motor penggerak Seniman Indonesia Muda (SIM).
Di usianya yang menginjak 80an, perempuan ini menghentak jiwa kaum muda karena kalah semangat dan tekad. Ya, sebut dia, Mia Bustam, perempuan anggota Lekra yang ditahan oleh Orde Baru sejak tahun 1965 hingga 1978, dengan menyandang label eks tapol. Di usia yang tidak lagi muda, Mia Bustam justru makin produktif menghasilkan karya-karya terbaiknya. Tercatat, sudah dua buku yang ia tulis diterbitkan, yakni “Sudjono dan Aku”, “Dari Kamp ke Kamp: Catatan Seorang Perempuan”. Dua buku itu mengisahkan perjalanan hidupnya.
Ia ditangkap dan ditahan di Polres Sleman pada 23 November 1965, persis pada hari ulang tahun anaknya yang ke-3. Sebuah truk tentara datang menjemputnya. Dari Polres Sleman, ia dipindahkan ke Benteng Vredenburg pada pertengahan 1966, lalu menghuni Penjara Wirogunan sampai tahun 1971. Setelah itu berpindah-pindah dari Penjara Pelantungan, Weleri, Kendal, dan terakhir di Penjara Perempuan Bulu, Semarang. Setelah 13 tahun hidup dari penjara ke penjara, Mia dibebaskan pada 27 Juli 1978. Akibat penangkapanannya, ia harus terpisah dari 8 anaknya yang kemudian diasuh secara bergantian dari satu teman ke teman lain, dari satu keluarga ke keluarga lainnya, kecuali anak sulungnya yang juga dipenjara karena aktif di CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia).
Buku pertamanya, lebih berkisah tentang hubungan percintaannya dengan Sudjojono. Sudjojono adalah pelukis ternama Indonesia, anggota Lekra, dan digelar sebagai Bapak Pelukis Modern Indonesia. Sudjojono juga dikenal sebagai motor penggerak Seniman Indonesia Muda (SIM).
Awalnya hubungan Mia dan Sudjojono tidak mendapat restu dari pihak keluarga, namun Mia yang memiliki nama kecil Sasmiya Sasmoyo ini, tidak menyerah. Cinta pandangan pertama Mia dengan Sudjojono kala mengunjungi ayahnya di rumahnya membuat Mia tak bisa berpaling. ”Mas Djon tak terlalu tampan, tapi saya tidak akan pernah lupa senyumnya. Selain itu kebetulan saya suka baca, jadi kita bisa berdiskusi beragam topik,”. Akhirnya pada usia 23 tahun, Mia menikah dengan Sudjojono memutuskan menikah di Solo.
Sebagai istri aktivis seniman, Mia siap dengan segala konsekuensi, terutama kala Sudjojono berbeda pendapat dengan Presiden Pertama RI, Soekarno, yang membuat Sudjojono keluar dari pekerjaannya di Pusat Tenaga Rakyat dan berdampak pada berkurangnya penghasilan. Hal lainnya adalah tentang masa lalu Sudjojono yang sempat tinggal serumah dengan Pekerja Seks di Senen. Pun demikian, ketika lewat lukisannya yang berjudul “Sayang Aku Bukan Anjing”, terkuak kisah Sudjojono yang sedang menaruh hati ke perempuan lain. Bagi Mia, kejujuran Sudjojono sudah menjadi pembuka pintu maaf.
Perubahan drastis justru terjadi saat Sudjojono menjadi anggota DPR RI mewakili PKI pada tahun 1955. Sudjojon yang awalnya rendah hati, menurut Mia jadi berubah jadi tinggi hati. Tidak hanya itu, Sudjojono mulai menjalin hubungan dengan perempuan lain dan meminta Mia supaya mau dimadu. Mia menolak mentah-mentah, tak hanya Mia, Gerwani pun menagih janji Sudjojona yang kala pemilu kampanye hak –hak perempuan dan menyatakan diri anti poligami. Dua tahun menunggu kepastian perceraian, akhirnya keduanya pun bercerai dan sejak itulah Mia meletakkan nama Bustam di belakang namanya.
“Saat itu pada 1957 akhirnya Mas Djon mengaku. Ia katakan jika kami seumpama wayang, maukah aku menjadi Sembadra.” Aku langsung menyahut, ”Dan Rose menjadi Srikandi?” Lalu Mia melanjutkan tuturannya: ”Aku tidak bisa seperti Sembadra yang toleran pada Arjuna untuk mempunyai istri berlusin-lusin. Lagian kok dia membayangkan dirinya jadi Arjuna? Arjuna kok elek. Aku tidak mau poligami, yang penting cerai. Dulu dia seperti dewa bagi saya. Tapi setelah itu, dia hanya dewa yang kemudian turun derajatnya menjadi manusia biasa. Setelah menunggu kepastian selama dua tahun, akhirnya kami memutuskan berpisah pada 1959.”
Perpisahan membuat cinta Mia kepada Bapak Seniman Modern itu menjadi kering, namun Mia terus berjuang hidup menafkahi delapan anaknya. Kisah selanjutnya, akan kita ikuti setelah lagu yang satu ini (Lagu dan iklan)
Selepas bercerai dari Sudjojono, Mia mendalami ketrampilan melukisnya dengan bergabung di Seniman Indonesia Muda (SIM) dan LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat). Setelah berpisah, Sudjojono sebenarnya tetap memberikan nafkah bagi kedelapan anaknya sebesar Rp 2.000 per bulan. Jumlah yang sangat minim, sehingga mereka harus makan pagi dengan tiwul, beras campur jagung. Kehidupan terus berlangsung sampai terjadi peristiwa 1965. ”Waktu itu ulang tahun anak saya yang ketiga, Watugunung, pada 23 November 1965. Tiba-tiba sebuah truk tentara berhenti di depan rumah. Saya harus naik truk dibawa tentara. Sedih sekali harus meninggalkan tujuh anak saya yang masih kecil-kecil. Saya tak sangka bahwa harus meninggalkan anak sebegitu lama,” tutur Mia lirih.
Kau naik ke truk sana!” bentak orang itu kepadaku. Aku pandangi anak-anak satu per satu dan hanya berucap, ”Wis ya cah,” dan berjalan meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi. Aku tidak mencium mereka. Aku tahu kalau aku menciumnya, aku akan menangis dan itu tidak maui. Air mataku hanya untuk yang kukasihi, tidak untuk diperlihatkan kepada mereka yang memusuhi diriku
Tiga belas tahun hidup di penjara bukanlah sebentar. Mia berpindah dari Penjara Sleman, ke Benteng Vredeburg, lalu ke Penjara Wirogunan, dipindah lagi ke Pelantungan, sampai akhirnya pada 1978, ia bisa bebas dari Penjara Bulu, Semarang.
Selama 13 tahun Mia dipenjara tanpa pengadilan, setelah Orde Baru tumbang, atas desakan masyarakat internasional, Mia dan kawan-kawannya yang bernasib serupa dibebaskan secara bertahap. Di tahap awal, Mia masih berstatus tahanan kota, sebelum akhirnya diijinkan bepergian di dalam provinsi meski waktu dibatasi. Baru kemudian boleh pergi ke luar provinsi, paling lama dua minggu, dengan izin dan surat jalan dari RT, RW, Kelurahan dan Kodim. Sejak itulah, label ET (Eks Tapol) tertera manis di KTPnya, sebuah stigma terhadap tapol 1965 dan keluarganya. Dampaknya tidak sedikit, label itu menimbulkan diskriminasi terhadap mereka sebagai warga negara. Untuk label ini, Mia terus berjuang agar tidak ada lagi label ET , namun terus dipersulit oleh pemerintah. Bila sudah lolos di RT, RW, hambatannya selalu di tingkat kecamatan. Baru pada tahun 2006, KTP Mia bersih dari label ET.
Masa lalu Mia memang penuh luka, namun bagi Mia kebenaran harus terus ditegakkan, makanya merawat ingatan adalah penting. Kepada Sudjojono yang tak pernah menjenguk ia beserta anak-anaknya hingga meninggalnya pada tahun 1986, tak membuat Mia menaruh dendam. ”Semuanya adalah sejarah,” ujar Mia. Masih banyak kenangan baik tentang Sudjojono, yang masih tersimpan rapi di benak Mia. ”Rhino sedang menggembala kambing sambil nyanyi lagu-lagu rohani di dekat asrama Realino. Di sela lagu-lagu itu tiba-tiba ia menyanyi lagu ’Internasionale’ yang digubah Ki Hajar Dewantoro itu. Seorang biarawan mendekat, tanya namanya. ”Apa Bapakmu masih ada?” Rhino bilang, ”Sudah pergi, Romo....” Lalu ditanya lagi, ”Siapa namanya?” Rhino menjawab, ”Sudjojono.”
”Jadi, Romo itu tahu mengapa Rhino hafal lagu ’Internasionale’,” kata Mia.
Oleh banyak seniman, Mia dipandang punya kemampuan melukis yang garis-garisnya tak kalah dengan Sudjojono. ”Dulu kalau Bapak melukis, saya disuruh nungguin di sebelahnya. Lama-lama saya lihat, oo... melukis itu gampang ternyata,” kenang Mia.
Pengalaman hidup yang berat justru membuat Mia bertambah kuat, kala pertama kali bertemu dengan anak sulungnya, Bayu Sutedja, yang baru dibebaskan setelah 9 tahun dipenjara, Mia menyambutnya dengan semangat “C’est la vie.Inilah Hidup”
Keingingan Mia hanya satu, agar ada rehabilitasi nama eks tapol 1965, ”Dulu saya menunggu Orde Baru runtuh, lalu menunggu sampai Pak Harto meninggal, sekarang saya menunggu rehabilitasi nama eks tapol 65....”
Meski usia teus bertambah, Mia tidak berhenti berjuang, ia tuliskan kisah hidupnya melalui untaian kata dan tulisan. Usia tak pernah jadi hambatan bagi Mia untuk kebenaran dan keadilan yang ia damba. Sebelum kita lanjutkan kisahnya, kita nikmati dulu lagu yang satu ini (lagu dan iklan)
Mia akhirnya tutup usia. ia berpulang di usia 91 tahun, meninggalkan 8 anak, 20 cucu, dan 11 cicit. Seorang diri Mia Bustam berhasil membesarkan dan mengentaskan 8 anaknya menjadi orang-orang yang kuat dan berani menghadapi hidup, sekeras apa pun.
Satu hari sebelum meninggal, persis di hari pertama tahun 2011, Mia Bustam menyampaikan keinginannya untuk menambah satu bab tentang Soeharto pada naskah buku yang baru selesai digarapnya. Buku lanjutan kisah hidupnya, yang sekali lagi menuturkan kekejaman rezim Orde Baru terhadap lawan politiknya.
“Aku masih ingin nambah satu bab tentang Soeharto di buku yang baru selesai kutulis,” ujarnya lirih, nyaris tak terdengar. Dia kesulitan berbicara karena lendir di paru-parunya. Bicara dua menit, suaranya kembali hilang. Tangannya terlalu gemetar untuk memegang pena. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berbaring di ruang tamu Nasti, anak keduanya, yang diubah menjadi kamar perawatan.Ketika masih sehat, Mia Bustam tinggal di rumah sederhana berpagar tanaman dan bunga tak jauh dari rumah anak keduanya itu. Untung naskah terakhirnya sudah selesai ditulis, meski masih ingin menambah satu bab tentang Soeharto. Mungkin tak terlalu penting. Orang sudah banyak tahu tentang sepak terjang penguasa Orde Baru itu.
Akhirnya sampailah kita di penghujung acara kita, Perempuan Pelita. Mia Bustam, sosok perempuan tangguh ini, semangatnya akan terus bersama kita. Perjuangan sepanjang usia adalah perjuangan luar biasa dan patut kita jadikan contoh. Ya, buat sahabat marsinah, saya akhirnya undur diri dan seluruh kerabat kerja marsinah fm mengucapkan terimakasih, salam setara, sampai jumpa kamis ddepan di jam yang sama, di Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM
0 komentar:
Posting Komentar