Kamis, 25 Agustus 2016

Menelusuri Jejak Kuburan Massal di Pasar Puni

oleh: Asrida Elisabeth

Frans Nambe (kiri) dan Siti Maimuna (kanan) di area tempat penyiksaan warga yang dianggap anggota PKI di Kampung Rekas, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Semasa tragedi 1965, Frans ikut disiksa sementara Siti kehilangan suaminya. (Foto: Asrida Elisabeth)
Salah satu alasan saya menggali cerita tentang tragedi 1965 adalah kuburan massal di kampung halaman saya: Manggarai.

Entah kapan orang-orang menceritakannya kepada saya, tapi cerita itu tertanam kuat di ingatan saya sehingga muncul pertanyaan: apa yang terjadi kala itu?

Cerita saya bermula ketika bertemu Ebe dari Partisipasi Indonesia yang kebetulan giat mengangkat cerita tragedi 1965. Ebe tertarik untuk membiayai perjalanan saya menelusuri cerita itu dengan hasil akhir sebuah film dokumenter. Teman-teman dari Sun Spirit for Justice and Peace di Labuan Bajo, Flores ikut membantu saya dalam proses pembuatan film.

Ide awal pembuatan dokumenter ini didasari kisah perjumpaan saya sebagai anak muda yang ingin tahu tentang tragedi 1965 dengan orang-orang yang dulu mengalami atau menyaksikan tragedi itu.

Karena berbagai kendala, termasuk minimnya persiapan dan masalah teknis, saya tidak bisa menangkap momen-momen menarik dari perjumpaan itu. Namun, saya berhasil mendokumentasikan pengakuan para saksi hidup yang sungguh membantu saya memahami tragedi 1965 di Manggarai.

Film dokumenter itu berjudul “Tida Lupa” yang diputar bersamaan dengan beberapa film lain bertemakan sama hasil produksi Partisipasi Indonesia, pada peringatan hari HAM di Taman Ismail Marzuki di Jakarta dan Festival Film Dokumenter di Yogyakarta tahun 2015.

Sebagai pengganti dari ide awal yang gagal diwujudkan itu, dan terutama karena ingin membagi pengalamanan yang adalah pengalaman kolektif sebagai generasi muda yang ingin memahami tragedi 1965, maka saya menuliskan cerita ini.

Kuburan massal yang saya temui terletak persisnya di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Saya juga mengunjungi Kampung Rekas, yang kini berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Dari kedua lokasi inilah cerita saya bermula.



“Di Puni itu sudah dulu orang-orang PKI ditembak,” begitu kata orang-orang tua di Ruteng. “Mereka ditembak seperti binatang. Aduh sedih. Orang boleh nonton, tapi tidak boleh menangis. Kalo menangis, nanti tentara bilang, oh kau juga satu PKI!”

Dalam ingatan masa kecil saya, PKI selalu diidentikkan dengan hal-hal buruk. Pencuri, orang-orang yang tidak mengikuti aturan akan diumpat “dasar PKI!” atau “kelakuan seperti PKI!”

Kini, 50 tahun setelah tragedi itu, umpatan-umpatan seperti itu masih menjadi hal biasa di masyarakat.

Saat tragedi 1965 mulai hangat dibicarakan, saya pun memberanikan diri untuk menggali cerita tentang tragedi itu di kampung halaman saya.
Saya mulai menggali cerita dari Kampung Rekas. Saya sengaja memilih tempat ini karena saya mendengar bahwa gereja Katolik Santa Maria Penghibur Orang Berduka Cita yang berpusat di kampung ini baru saja merayakan ulang tahun yang ke-100.

Gereja Katolik di Pulau Flores telah berdiri sejak awal tahun 1900. Karena itulah saya berharap menemukan arsip tua milik gereja di sana yang akan memberikan sedikit gambaran tentang apa yang terjadi di Manggarai tahun 1965.

Saya tidak mendapatkan arsip seperti yang saya harapkan. Beberapa dokumen yang saya temukan tidak terawat sehingga tulisan-tulisannya sulit dibaca. Tapi bukan berarti penggalian cerita ini sia-sia.
Kendati saya dan teman-teman merasa canggung pada awalnya, terutama karena orang-orang menanyakan latar belakang kami dan alasan kami menggali cerita lama, namun dari petugas di gereja kami justru berhasil menggali cerita-cerita yang lebih mendalam.

Kampung Rekas adalah salah satu kampung di mana tentara menangkap dan menyiksa masyarakat saat tragedi 1965 terjadi. “Cerita itu sudah jadi rahasia umum di sini, diwariskan turun temurun, jadi anak-anak juga tahu,” kata seorang bapak yang menjadi pegawai administrasi di gereja.

Berkat kebaikan petugas ini, kami diperkenalkan dan dipertemukan dengan korban tragedi 1965 yang masih hidup, keluarga korban dan para saksi.

Di sebuah malam yang juga berawal dengan kecanggungan, kami bertemu mereka di sebuah rumah pertemuan. “Ini pertama kali orang datang dan wawancara kami tentang peristiwa itu,” ujar salah seorang dari mereka.

Satu per satu mereka bercerita, menyebut namanya atau nama keluarganya yang hilang semasa tragedi itu. Ada perasaan sedih, marah, juga pertanyaan ‘mengapa’, pertanyaan yang sudah lama sekali ingin mereka tanyakan meski dalam diam.

“Nama saya Siti Maimuna. Umur saya 81 Tahun. Saya istri Abdul Satu.” Seorang perempuan yang tergopoh-gopoh berjalan dari rumahnya ke rumah pertemuan kami, mulai berbicara di depan kamera.

“Waktu itu kami sedang berada di kebun, ketika seorang pemuda datang dan panggil untuk segera kembali ke kampung,” lanjutnya.
Sepengetahuannya, suaminya Abdul Satu adalah salah satu pemimpin gerakan PKI di kampung itu. Orang-orang yang dituduh terlibat PKI ditangkap dan disiksa di halaman kampung.

Bahkan masyarakat umum baik laki-laki maupun perempuan, termasuk Siti Maimuna, juga ikut disiksa. “Kau Gerwani?” kata Siti menirukan pertanyaan tentara kepadanya.

Pengetahuan Siti yang minim tentang apa itu Gerwani membuatnya hampir menjawab ‘iya’, meskipun kala itu Gerwani tidak terlalu dikenal di Kampung Rekas.

Tentara dengan bantuan aparat desa membentuk pasukan pemuda massa dengan merekrut pemuda di kampung. Pasukan pemuda ini yang kemudian membantu tentara menangkap orang-orang yang diduga ikut gerakan PKI di kampung sekitar dan membawa mereka ke Rekas untuk disiksa bersama-sama.
“Waktu itu semua dalam keadaan takut. Yang ikut gerakan pemuda massa juga dipaksa. Jadi yang siksa dengan yang korban ini bahkan ada yang masih berhubungan keluarga,” kata saksi lain yang kami temui.

Abdul Satu dan beberapa pemimpin dari Kampung Rekas dan kampung lainnya kemudian dibawa ke Ruteng, dengan kawalan tentara dan pemuda massa. Kala itu satu-satunya akses dari Rekas menuju Ruteng hanyalah dengan berjalan kaki selama lima hari.

“Itu hari terakhir saya lihat dia. Tidak lama datang kabar mereka semua sudah dibunuh di Puni,” jelas Siti.

Siti Maimuna menceritakan tentang suaminya yang hilang di tahun 1965. (Foto: Asrida Elisabeth)
Bagi Siti yang berat bukan hanya saja kehilangan Abdul Satu, sosok yang baginya adalah seorang yang baik dan bertanggung jawab di dalam keluarga dan masyarakat; yang juga berat adalah kehidupan setelah tragedi itu berlalu.
Stigma buruk sebagai keluarga PKI dan akibat-akibat yang harus mereka terima tetap membebaninya hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Siti kemudian membesarkan lima anaknya dengan bantuan keluarga. “Pokoknya sengsara,” ujarnya lirih. Caranya bercerita menyiratkan betapa peristiwa itu masih tertanam kuat dalam ingatannya.

Ahmad Nandi, anak tertua Siti, mengaku pernah pergi ke Ruteng dan diam-diam menuju Puni untuk melihat tempat bapaknya ditembak mati. Namun dia tidak menemukan penanda apapun di sana selain lahan kosong yang kini dipenuhi bangunan. Di lahan inilah kini berdiri Pasar Puni.

Meskipun para keluarga korban di Kampung Rekas tidak pernah melihat jasad mereka yang ditembak mati di Puni, mereka membuat upacara khusus untuk melepas kepergian Abdul Satu dan korban lainnya yang tidak pernah lagi kembali.

Saya tidak pernah bisa melupakan mata mereka yang bercerita pada malam itu. Mata mereka berkaca-kaca menyebut satu persatu nama korban: suami, ayah, kakak dan paman yang hilang 50 tahun lalu. Saya mencatatkan nama mereka di buku saya.

Malam itu kami menginap di kompleks tempat kediaman pastor Gereja. Saya mengingat jawaban para korban dan saksi saat saya menanyakan bagaimana pastor di Rekas bersikap saat itu.

Pastor Erwin, misionaris asal Australia yang saat itu bertugas di wilayah itu, disebut berulang-ulang selama pertemuan dengan korban dan saksi. Berdasarkan jawaban warga, dialah yang banyak membantu masyarakat semasa tragedi itu.

Saya teringat lagi pada kuburan massal di Puni. Entah berapa banyak orang yang ditembak dan terkubur di tempat itu.

Bekas kuburan massal korban tragedi 1965 di area Pasar Puni, 
 
Ruteng. (Foto: Asrida Elisabeth)
Saya pun makin ingin memahami apa yang terjadi dan apa yang menyebabkan semua orang, termasuk gereja Katolik, memilih diam atas tragedi itu bahkan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Kelak pertemuan saya dengan narasumber-narasumber baru, buku-buku, berita-berita lama dan juga catatan-catatan, membantu saya untuk memahami sedikit demi sedikit semua itu.

Catatan:
Manggarai pernah berada di bawah pengaruh kerajaan Bima NTB sehingga ada sebagian masyarakatnya terutama di Manggarai Barat seperti Rekas yang memeluk agama Islam.
 
https://medium.com/ingat-65/menelusuri-jejak-kuburan-massal-di-pasar-puni-d54d4ed5ce9d#.87dzg0jqp

0 komentar:

Posting Komentar