Kamis, 25 Agustus 2016

Temui Wantimpres, YPKP Pertanyakan Penyelesaian Peristiwa 1965

Kamis, 25 Agustus 2016 | 13:41 WIB

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 Untung Bejo. Foto: Fabian Januarius Kuwado



JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 menemui anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Kamis (25/8/2016) siang.

Ketua YPKP 65/66, Untung Bejo mengatakan, mereka menyerahkan hasil keputusan dari Mahkamah Rakyat Internasional (International People's Tribunal) tentang peristiwa 1965 di mana pemerintah dinyatakan bersalah.

"Kami menyerahkan hasil Mahkamah Rakyat di mana pemerintah dinyatakan bersalah telah melakukan kejahatan kemanusiaan, pembunuhan, penculikan, penahanan, pemenjaraan, pemerkosaan, perampokan, penyiksaan, perbudakan, kampanye kebencian dan genosida," ujar Untung, usai pertemuan di Kantor Wantimpres, Jakarta.

Selain itu, YPKP 65/66 juga mempertanyakan kenapa proses pengusutan peristiwa 1965 berjalan lamban. Simposium yang digelar beberapa waktu lalu tidak ada kelanjutannya.

Padahal, simposium yang dilaksanakan, baik oleh pemerintah ataupun yang disebut simposium tandingan merupakan harapan bagi keluarga korban peristiwa 1965 yang selama ini menderita.
"Harusnya rekomendasi simposium menjadi pintu masuk, membuka kotak pandora penyelesaian korban pelanggaran HAM pada perisiwa 1965 secara komprehensif," ujar Untung.

Oleh sebab itu, YPKP 65/66 mendesak pemerintah menindaklanjuti hasil keputusan Mahkamah Rakyat Internasional dan rekomendasi simposium di Jakarta.
 
Setidaknya, sekitar 40 orang anggota YPKP datang ke Kantor Wantimpres. Mereka diterima oleh Ketua Wantimpres Sri Adiningsih dan anggota Wantimpres Sidarto Danusubroto.
  Luhut Binsar Pandjaitan sewaktu menjabat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengikuti putusan Majelis IPT untuk meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan 1965.
"Apa urusan dia (IPT 1965)? Dia kan bukan atasan kita. Indonesia punya sistem hukum sendiri saya tidak ingin orang lain mendikte bangsa ini," kata Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (20/7/2016).

Luhut menegaskan Indonesia adalah bangsa besar sehingga mengetahui cara menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia meminta pihak lain tak perlu ikut campur.
Luhut juga membantah membantah putusan majelis hakim IPT yang menyebut bahwa tindakan kejahatan kemanusiaan berupa genosida terjadi pada peristiwa 1965.

Menurut Luhut, jumlah korban yang tercantum dalam putusan tersebut tidak bisa dibuktikan secara sah berdasarkan hukum.

"Tidak ada genosida. Genosida itu berapa banyak? Jumlah itu harus dibuktikan," ujar Luhut.

Putusan IPT juga tidak akan dijadikan pertimbangan oleh pemerintah. "Ah, kok pertimbangan dia (IPT). Dia bukan institusi kok," kata Luhut.

Adapun mengenai Simposium 1965, Pemerintah mengakui sangat berhati-hati dalam memutuskan penyelesaiannya. Sebab, keputusan itu dapat berdampak pada goncangnya stabilitas politik.

 
Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Tragedi 1965 Agus Widjojo mengatakan, Simposium tersebut sedikit banyak membuat politik nasional bergejolak.
Penulis: Fabian Januarius Kuwado
Editor : Sandro Gatra

http://nasional.kompas.com/read/2016/08/25/13411581/temui.wantimpres.ypkp.pertanyakan.penyelesaian.peristiwa.1965

0 komentar:

Posting Komentar