Kamis, 23 Agustus 2018

Kontroversi Menteri Sosial: Dari Komunisme, Makar, sampai Korupsi

Oleh: Iswara N Raditya - 31 Agustus 2018


Idrus Marham memberikan keterangan kepada wartawan seusai menyerahkan surat pengunduran dirinya selaku Mensos kepada Presiden Jokowi di Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (24/8). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Selain Idrus Marham, sejumlah mantan Menteri Sosial RI juga pernah memantik kontroversi meskipun terkait perkara yang berbeda.
“Sebagai bentuk pertanggungjawaban moral saya, izinkan saya menyampaikan permohonan pengunduran diri sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia,” tulis Idrus Marham dalam surat pengunduran dirinya yang ditujukan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Idrus menyatakan mundur dari jabatan sebagai Mensos RI beberapa saat sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa politisi Partai Golkar itu telah menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait PLTU Riau-1.

Selain Idrus, sebenarnya pernah ada beberapa tokoh dengan jabatan serupa yang juga memantik kontroversi. Tidak hanya kasus korupsi, ada pula Mensos yang dikait-kaitkan dengan komunisme, bahkan tindakan makar alias percobaan kudeta.

Mensos RI Pertama: Muslim, Kiri, Kudeta

Orang pertama yang menjabat sebagai menteri sosial pasca-Indonesia merdeka, Iwa Kusumasumantri, langsung menghadirkan kontroversi. Salah satu anggota awal Partai Nasional Indonesia (PNI) ini dilantik dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, yakni 19 Agustus 1945, dan berada di kabinet hingga 14 November 1945.

Selepas itu, Iwa bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka, mantan wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk Asia Tenggara. Kelompok ini, termasuk Iwa, ditangkap dan dibui karena terlibat peristiwa 3 Juli 1946 yang dianggap sebagai upaya percobaan kudeta terhadap pemerintahan Sukarno.

Iwa Kusumasumantri lekat dengan kubu kiri sejak era pergerakan nasional. Pada 1925, Iwa bersama Semaoen—kelak memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI)—mengikuti kegiatan Komintern di Moskow, Rusia.

Selain ikut acara Komintern yang bertujuan untuk “melawan imperialisme dunia” itu, Iwa juga menetap di Rusia selama setahun. Menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), yang mendorong Iwa untuk belajar di Moskow adalah Semaoen (hlm. 188).

Pulang ke tanah air pada 1927 dan bergabung dengan PNI bentukan Sukarno, Iwa ditangkap pemerintah Hindia Belanda dua tahun kemudian. Sejak 1929, Iwa dipenjara lantaran kritikan kerasnya terhadap kolonial, lalu diasingkan ke Banda Neira selama 10 tahun.

Iwa adalah seorang Muslim taat yang amat tertarik terhadap ajaran marxisme. Namun, menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 (2015), pilihannya di jalur merah tidak serupa dengan orang-orang PKI. Iwa lebih cenderung sebagai sosok komunis-nasionalis seperti Tan Malaka (hlm. 365).

Pilihan Iwa sejatinya tidak sepenuhnya salah, terlebih kala itu komunisme belum terlarang di Indonesia, bahkan menjadi salah satu pilar kekuasaan Sukarno. Yang menjadi persoalan, Iwa ada di kubu Tan Malaka yang dituding membahayakan pemerintahan sah.

Kendati begitu, Iwa Kusumasumantri tetap dianggap berjasa bagi Republik. Rektor pertama Universitas Padjajaran Bandung ini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2002.

Dugaan Pro-Makar Rasjid & Anwar

Menteri Sosial RI di era-era awal lainnya yang juga terseret perkara makar adalah Soetan Mohammad Rasjid. Tokoh asal Sumatra Barat ini menjabat sebagai Menteri Keamanan sekaligus Menteri Perburuhan dan Sosial di Kabinet Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sejak 19 Desember 1948.

PDRI dibentuk di Bukittinggi setelah ibukota RI di Yogyakarta diduduki Belanda. Ketika itu, para petinggi pemerintahan, termasuk Sukarno dan Mohammad Hatta, ditawan lalu dibuang ke luar Jawa. 

Setelah pengembalian mandat PDRI sejak 1949, Rasjid ditunjuk Presiden Sukarno menjadi Duta Besar RI di Italia. Namun, berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958—yang dianggap separatis oleh pemerintahan Sukarno—membuat Rasjid harus segera mengambil keputusan.

Sukarno menindak PRRI dengan jalan militer. Dikutip dari buku Mr. H. Sutan Mohammad Rasjid (1991) karya Marah Joenoes, Rasjid yang kecewa atas reaksi keras pemerintah itu memutuskan bergabung dengan PRRI. Ia bahkan memegang peran penting sebagai Duta Besar PRRI di Eropa.

Sejak itu, Rasjid menjadi buronan pemerintah RI di Eropa dan harus sering berpindah tempat untuk menghindari kejaran orang-orang suruhan rezim Sukarno. Rasjid baru bisa pulang ke Indonesia pada 1968 setelah pengaruh Bung Karno semakin meluruh setelah peristiwa 30 September (G30S) 1965.

Mensos RI periode 3 April 1952 hingga 5 Mei 1953, Anwar Tjokroaminoto, punya cerita yang serupa tapi tak sama dengan Rasjid. Seperti diungkap Helius Sjamsuddin dalam Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan (1992), putra pemimpin besar Sarekat Islam (SI) H.O.S. Tjokroaminoto ini pernah menjabat Perdana Menteri Negara Pasundan, negara boneka bentukan Belanda yang diproklamirkan pada 4 Mei 1947 (hlm. 66).

Negara Pasundan memang menjadi perdebatan kala itu. Ada yang setuju, ada yang menolak, ada pula yang berdiri di tengah-tengah. Namun, berdirinya negara di dalam negara tetap saja berseberangan dengan konteks negara kesatuan.

Anwar juga dianggap mendukung Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang melakukan serangan pada 23 Januari 1950 di Bandung di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. Bahkan, tulis Nina Herlina Lubis dalam Sejarah Tatar Sunda: Volume 2(2003), Anwar dan sejumlah tokoh Negara Pasundan lainnya ditangkap setelah insiden itu (hlm. 250).

Atas perintah Anwar, Negara Pasundan mengembalikan mandat pada 9 Februari 1950. Langkah ini, dikutip dari Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008) karya Slamet Muljana, diikuti negara-negara boneka lainnya (hlm. 266). Sumatera Selatan, Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan wilayah-wilayah di luar Jawa, kembali ke pangkuan NKRI.

Presiden Sukarno pun memaafkan Anwar yang tidak lain adalah rekan seperjuangan sejak masa pergerakan sekaligus putra dari orang yang amat dihormatinya, H.O.S Tjokroaminoto. Bahkan, Anwar kemudian dipercaya untuk menjabat sebagai menteri sosial oleh Sukarno.

Infografik Menteri sosial kotroversial

Kasus Mensos Orba hingga Kini: KKN

Kasus yang menerpa menteri sosial selama Orde Baru dan setelahnya kebanyakan berkutat pada urusan korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN. Meski begitu, ada juga mensos yang memantik kontroversi di luar persoalan tersebut, semisal Muhammad Syafa'at Mintaredja (menjabat 1971-1978) yang teramat gencar mengecam upaya pendirian negara Islam di Indonesia.

Salah satu penunjukan menteri sosial yang paling disorot selama rezim Orde Baru adalah tercantumnya nama Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut di kabinet terakhir pimpinan Soeharto. Tutut adalah anak pertama sang presiden.

Nuansa KKN memang sangat terasa dalam susunan Kabinet Pembangunan VII yang dibentuk pada 16 Maret 1998 itu. Syaifruddin Jurdi dalam buku Kekuatan-kekuatan Politik Indonesia (2016) memaparkan, selain Tutut, ada orang-orang dekat presiden lainnya yang juga mengisi kabinet, seperti Bob Hasan, Subiakto Tjakrawerdaya, hingga R. Hartono (hlm. 295).

Kabinet ini merupakan kabinet tersingkat selama rezim Soeharto. Setelah sang penguasa tumbang pada Mei 1998 dan Indonesia memasuki era reformasi, mulai terbongkar kasus-kasus dugaan korupsi yang terjadi selama masa panjang itu, termasuk yang melibatkan mantan menteri sosial.

Pada 9 November 2010, Kejaksaan Agung memanggil Justika Syarifudin Baharsyah dan Inten Suweno untuk diperiksa sebagai saksi atas dugaan korupsi penguasaan tanah dan bangunan Cawang Kencana, Jakarta Timur untuk tersangka mantan Sekjen Departemen Sosial RI, Moerwanto Suprapto.

Justika dan Inten pernah menjabat sebagai Mensos RI, berurutan pada periode 1993-1998 dan 1998-1999. Keduanya, seperti dikutip dari website resmi Kejaksaan Agung, menjalani pemeriksaan cukup lama, dari pukul 09.30 hingga 16.00 WIB, dengan masing-masing 30 pertanyaan. Namun, dua mantan menteri ini tidak ditetapkan sebagai tersangka.

Mensos berikutnya justru masuk penjara karena terbukti makan uang negara, yakni Bachtiar Chamsyah yang menjabat cukup lama dari 2001 hingga 2009. Bachtiar dijatuhi hukuman 20 bulan penjara setelah terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan mesin jahit, sapi impor, dan kain sarung di Departemen Sosial.

Salim Segaf Al Jufri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mengisi posisi mensos periode 2009-2014, sempat dikaitkan dengan perkara korupsi sapi yang menyeret nama Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden PKS. Namun, tudingan terhadap Salim tidak terbukti.

Dengan tegas, Salim membantah tuduhan bahwa dirinya selaku mensos ikut memuluskan proses penyelewengan itu, juga menegaskan tidak ada uang haram yang mengalir ke PKS. 
“Apapun yang dilakukan KPK, PKS akan memberi apresiasi dalam membawa bangsa ini ke arah yang jujur amanah dan bersih!” ucapnya.
Rumor sejenis juga sempat menerpa Mensos RI pertama di pemerintahan Presiden Jokowi, Khofifah Indar Parawansa. Khofifah yang menjabat sejak 27 Oktober 2014 dilaporkan oleh Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) ke KPK terkait dugaan korupsi dalam proyek program verifikasi dan validasi data kemiskinan di Kementerian Sosial tahun 2015.

Pelaporan ini dilakukan saat Khofifah maju sebagai calon gubernur dalam Pilkada Jawa Timur 2018 lalu. Namun, tudingan korupsi itu tidak terbukti.

Idrus Marham yang ditunjuk menggantikan Khofifah justru langsung terjerat perkara korupsi. Beruntung, ia memilih mundur sebelum benar-benar terbukti bersalah, dan tidak banyak pejabat di negeri ini yang berani bersikap seperti itu saat masih menjabat.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Beberapa eks Mensos RI pernah dikaitkan dengan kasus korupsi, tapi belum terbukti.
Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar