Selasa, 07 Agustus 2018

Tolak Kompromi Wiranto, Komnas HAM Minta Kasus Diproses Hukum

Kustin Ayuwuragil, CNN Indonesia | Selasa, 07/08/2018 06:50 WIB

Komnas HAM menegaskan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada proses lain yang sedang berlangsung. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak pilihan Menko Polhukam Wiranto untuk membentuk tim terpadu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur hukum. 
Tak hanya menolak bergabung dengan tim itu, Komnas HAM mengatakan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada proses lain yang sedang berlangsung. 

"Saya tidak tahu tim itu akan seperti apa. Berkas Komnas HAM ini berkas hukum, satu-satunya cara ditindak secara hukum yakni penyidikan, tidak ada jalan lain," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Amiruddin di kantornya, Senin (6/8). 

Amir mengatakan hal itu berdasarkan amanat UU 26/2000 yang mengatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM hanya bisa diselesaikan secara hukum. 

Hanya penyidik Kejaksaan Agung yang mampu mengetok palu tanda kasus tersebut selesai atau perlu ditangani lebih lanjut. 

"Tidak ada jalan lain karena lembaga yang lain bukan lembaga hukum yang dimaksud dalam UU No. 26 tahun 2000. Di situ hanya menyebut penyidik, jaksa agung dalam arti," lanjutnya. 
Dia melanjutkan Komnas HAM juga diberi amanat sebagai penyidik dalam kasus kasus pelanggaran HAM tersebut. Pihaknya mengklaim telah menyelesaikan tugas penyelidikan sejak lama. Kini, kelanjutan kasus HAM masa lalu berada di tangan Jaksa Agung. 
"Kasus-kasus yang sudah kami kirimkan pada jaksa Agung ada sembilan. Itu juga bukan kasus-kasus kemarin sore, sudah puluhan bahkan belasan tahun. Kami sudah menyelesaikan itu," kata dia. 

Komnas HAM telah menyelidiki enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menjadi perhatian khusus. Kasus tersebut yakni tragedi 1965-1966, peristiwa Talangsari, penembakan misterius (petrus), Peristiwa Semanggi I dan II, serta penghilangan paksa para aktivis. 

Sementara sekitar tahun 2000 ada kasus Wamena, Wasior, dan Jambu Kepok di Aceh. Setiap kasus memiliki tipologi yang berbeda-beda. 

Kasus-kasus tersebut mandek karena Jaksa Agung merasa data yang disediakan Komnas HAM belum valid dan masih kurang bukti. 
Jaksa Agung M. Prasetyo pun mengaku kesulitan mengusut kasus pelanggaran HAM masa lalu lantaran peristiwanya sudah terlalu lama berlalu. Saksi dan bukti yang ada juga belum dianggap memenuhi kebutuhan penyelesaian kasus. 

Tak Ikut Wiranto, Berkas Komnas HAM Tetap Diproses Hukum
Menko Polhukam Wiranto. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Belakangan ini, Wiranto berinisiatif membentuk tim terpadu penyelesaian kasus HAM masa lalu. Langkah tersebut menjadi kontroversial tak hanya karena dia memilih jalur non-yudisial tetapi juga dipimpin oleh Wiranto sendiri yang diduga punya catatan hitam dalam kasus pelanggaran HAM. 

Sebagian pihak menganggap inisiatif tersebut sebagai langkah politis menyongsong pilpres dan pileg 2019. 

Penuntasan Berdasarkan Hukum 

Komisioner Pengkaji Komnas HAM M. Choirul Anam menegaskan berdasarkan UU 26/2000 satu-satunya cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM adalah melalui jalur hukum. Bahkan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonisiliasi (KKR) juga diamanatkan dalam pasal 47 dalam UU 26/2000. 

Dia mengatakan tak boleh ada pembentukan tim berdasarkan ide politik di luar undang undang. 

"Kerangka waktu lahir ketika 2000 awalnya reformasi. Kalau dilihat dari kerangka itu bahwa penyelesaian pelanggaran HAM harus melalui kerangka hukum tidak boleh di luar itu, tidak boleh berdasarkan ide politik untuk membentuk tim ini itu tanpa berdasarkan hukum," katanya. 

Sementara itu, Beka Ulung Hapsara sebagai Koordinator Subkom Pemajuan HAM menyatakan bahwa jalur hukum dipilih setidaknya karena tiga alasan. 
"Alasan kami yang pertama memilih jalan yudisial itu agar publik tahu konstruksi peristiwa yang sebenarnya terjadi seperti apa. Baik peristiwa 65, Talangsari, dan sebagainya," kata Beka. 
Sementara, alasan kedua, agar jelas diketahui siapa pelaku di lapangan saat kejadian dan siapa yang memerintahkannya. 
Selain itu, jalan yudisial juga dipilih untuk memberikan kejelasan kompensasi kepada para korban yang sekian lama menderita akibat pelanggaran HAM itu. Hak-hak publik dan korban itu terancam terenggut apabila Wiranto memilih jalur di luar hukum. 
(pmg)


Sumber: CNN Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar