Minggu, 05 Agustus 2018

Sejarah Indonesia | Isu Komunis di Jalan Politik K.H. Sirajuddin Abbas

Oleh: Iswara N Raditya - 5 Agustus 2018


ilustrasi KH Sirajuddin Abbas. FOTO/Wikipedia

Nama K.H. Sirajuddin Abbas masuk dalam daftar anggota Dewan Revolusi saat G30S yang melibatkan PKI.

K.H. Sirajuddin Abbas bukan ulama sembarangan. Lebih dari 6 tahun ia memperdalam ilmu agamanya di tanah suci, berguru kepada ulama-ulama besar di Mekkah. Pulang ke tanah air yang kala itu masih dicengkeram kuasa kolonial, Sirajuddin Abbas turun langsung berjuang untuk agama dan bangsanya, termasuk dengan memimpin Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

Pengalaman dalam perjuangan demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia membuat sang kiai kian erat berhubungan dengan tokoh-tokoh nasional lainnya, termasuk Sukarno yang kemudian menjadi Presiden RI yang pertama. Sirajuddin Abbas akhirnya masuk kabinet dengan sebagai Menteri.

Berada di sekitaran penguasa, terutama dekat dengan Presiden Sukarno yang pada dekade 1960-an gencar mengkampanyekan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), ternyata memunculkan posisi yang rawan bagi Sirajuddin Abbas. 

Secara mengejutkan, namanya tercantum dalam daftar anggota Dewan Revolusi yang muncul ketika terjadi Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tudingan ulama-komunis pun mengarah kepadanya kendati isu Dewan Revolusi itu tidak pernah terbukti, apalagi terjadi.

Ulama Islam Nusantara

H. M. Bibit Suprapto menyertakan nama Sirajuddin Abbas dalam buku Ensiklopedia Ulama Nusantara (2009) yang disusunnya, bersama jajaran ulama Indonesia lainnya sepanjang sejarah, dari para Walisongo, Tuanku Imam Bonjol, Ahmad Dahlan, Hasjim Asy'ari, Buya Hamka, Gus Dur, Nurcolish Madjid, Quraish Shihab, hingga Amien Rais.
Bukan tanpa alasan Sirajuddin Abbas memang layak disebut sebagai salah satu ulama berpengaruh dalam riwayat Islam di Indonesia. Lahir di Bengkawas, Sumatera Barat, tanggal 20 Mei 1905, Sirajuddin tumbuh di lingkungan agama Islam yang sangat kental. 

Ia sudah khatam Alquran sejak kecil, berlanjut dengan mempelajari kitab-kitab berbahasa Arab di bawah bimbingan ayahnya, Syekh Abbas bin Abdi Wahab. Dalam buku Ulama Syafi'i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad (2011), Sirajuddin menuturkan bahwa ia juga berguru dari pesantren ke pesantren kepada ulama-ulama terkemuka di Minangkabau (hlm. 441).

Seolah belum puas dengan apa yang diperoleh dan dipelajari di tanah kelahiran, Sirajuddin Abbas memutuskan pergi ke pusatnya agama Islam, Arab Saudi, pada 1927. Di kota suci Mekkah, selain menimba ilmu, ia juga rutin menunaikan ibadah haji saban tahun, hingga 7 kali.

Selama lebih dari 6 tahun bermukim di Mekkah, Sirajuddin Abbas berguru kepada sejumlah guru besar agama Islam, dari Syeikh Sa'id Yamani (Mufti Mazhab Syafi'i), Syeikh Husein al-Hanafi (Mufti Mazhab Hanafi), Syeikh Ali al-Maliki (Mufti Mazhab Maliki), serta Syeikh Umar Hamdan, juga dari Mazhab Maliki.

Selain itu, Sirajuddin Abbas mempelajari pula bahasa Inggris. Gurunya saat itu adalah Ali Basya, seorang ulama modern asal Tapanuli. Ia juga sempat menjadi staf sekretariat Konsulat Belanda di Mekkah, termasuk turut membantu pelaksanaan ibadah haji dari jamaah asal Nusantara.

Pulang ke tanah air pada 1933, Sirajuddin mengajar di berbagai pondok pesantren di Sumatera Barat. Namun, ia tidak lantas berhenti belajar, terus menambah ilmu agama, termasuk berguru kepada Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Gurunya ini adalah seorang ulama besar di Minangkabau yang juga pendiri Al-Ittihadul Ulama (Persatuan Ulama) Sumatera pada 1921 (Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, 2001: 431),

Bersama Syeikh Sulaiman ar-Rasuli ini, Sirajuddin Abbas turut menegakkan Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau Perti, bahkan ia pernah menjabat sebagai ketuanya sejak tahun 1936. Dari Perti, Sirajuddin mulai meluaskan daya jangkau juangnya, tak hanya melalui agama, tetapi juga lewat kancah perpolitikan pada masa-masa akhir kolonial Hindia Belanda di Indonesia kala itu.

Dituding Pro-Kaum Kiri

K.H. Sirajuddin Abbas ditunjuk sebagai Menteri Kesejahteraan Umum dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I sejak 30 Juli 1953. Ikut terlibat di lingkaran kekuasaan yang saat itu diisi oleh berbagai kalangan, dari golongan nasionalis, agama, juga orang-orang komunis, kabar-kabar tak sedap pun mulai menerpa Sirajuddin Abbas.

R.B. Cribb dan Audrey Kahin dalam Historical Dictionary of Indonesia (2004) menyebut Perti yang dimotori Sirajuddin Abbas setipe dengan Nahdlatul Ulama (NU), sama-sama organisasi Islam yang senantiasa menopang tegaknya NKRI (hlm. 340). Apapun cara pemerintah, sejauh itu demi kepentingan bangsa dan negara, Perti selalu mendukung, termasuk upaya Bung Karno yang ingin menyatukan tiga elemen bangsa dengan Nasakom-nya.

Tak pelak, Sirajuddin Abbas kerap dituding akrab dengan kaum kiri. Terlebih lagi, ia sering menghadiri undangan yang diselenggarakan oleh organisasi atau negara yang menganut paham komunisme (A.M. Waskito, Mendamaikan Ahlus Sunnah wal Jamaah, 2012: 154). Posisi Sirajuddin dalam acara-acara itu terkadang sebagai utusan dari pemerintah RI maupun perwakilan Perti.

Menurut buku Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (1987) karya Deliar Noer, Sirajuddin Abbas adalah anggota Gerakan Setiakawan Rakyat Asia dan Afrika yang kerap menggelar mengadakan konferensi di Aljazair, Tanganyika (Republik Afrika Timur), Irak, Pakistan, Mesir, Sri Lanka, Republik Rakyat Cina (RRC), dan Swedia.

Selain itu, masih dari buku yang sama, sikap Sirajuddin Abbas terhadap negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan RRC umumnya simpatik. Sikap yang sama, lanjut Deliar Noer, sebenarnya juga ditunjukkan oleh orang-orang dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), namun dinilai tidak sekuat Sirajuddin Abbas.

Dari tiga partai politik pendukung pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin, yakni Perti, PSII, dan Partai Nahdlatul Ulama, misalnya, hanya Perti yang mengirimkan perwakilannya menghadiri Konferensi Perdamaian Dunia untuk Asia dan Afrika di Beijing, RRC, pada Oktober 1952.
Infografik KH Sirajuddin Abbas

Ulama dan Isu Dewan Revolusi

Kendati begitu, bukan berarti Perti dan Sirajuddin Abbas pro-komunis. Diungkapkan oleh Alaiddin Koto dalam buku Persatuan Tarbiyah Islamiyah: Sejarah, Paham Keagamaan, dan Pemikiran Politik 1945-1970 (2012), Perti mengkritisi sikap pemerintah yang dinilai kerap memberi hati kepada PKI. Kritik tersebut disampaikan dalam Kongres Ulama Indonesia yang digelar di Palembang pada 1957.

Bahkan, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli selaku pendiri sekaligus Ketua Dewan Penasehat Perti, seperti ditulis Rifai Shodiq Fathoni dalam artikel berjudul “Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 1930-1971 M”, mengeluarkan fatwa bahwa paham komunisme adalah kufur, dan oleh sebab itu haram bagi umat Islam mengikuti PKI.

Ketika Sukarno akan menerapkan Manifesto Politik (Manipol) Usdek (UUD 1945, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) memasuki dekade 1960-an, Perti ternyata menyambut baik. Sejumlah pemimpin Perti, termasuk Sirajuddin Abbas, menilai kedudukan Islam di negara RI dalam haluan Manipol Usdek sudah baik. Begitupula sikap Presiden Sukarno terhadap kepentingan umat Islam.

Dukungan terhadap Manipol Usdek inilah yang barangkali membuat nama Sirajuddin Abbas muncul dalam daftar Dewan Revolusi saat terjadi peristiwa G30S 1965. Tak hanya Sirajuddin Abbas, ada pula seorang tokoh agama lainnya yang juga dimasukkan dalam list tersebut, yakni Fattah Jasin dari Partai Nahdlatul Ulama.

Namun, banyak yang meyakini bahwa Dewan Revolusi hanya pengklaiman sepihak. Manai Sophiaan dalam buku Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI, misalnya, menuliskan bahwa penyusunan Dewan Revolusi dilakukan secara sembarangan saja tanpa konsultasi dengan orang-orang yang namanya dicantumkan (hlm. 48).

Bahkan, seperti dikutip dari buku Politik & Postkolonialitas di Indonesia (2003) suntingan Budi Susanto S.J., ternyata mereka yang namanya tercantum dalam daftar tersebut, termasuk Sirajuddin Abbas dan Fattah Jasin, tidak tahu-menahu dan menolak penunjukan sebagai anggota Dewan Revolusi (hlm. 60).

Sirajuddin Abbas rupanya memang punya bakat politik yang mumpuni. Tanda-tanda mulai lemahnya rezim Sukarno setelah tragedi G30S 1965, disusul dengan semakin kuatnya pengaruh Soeharto, disikapi dengan jitu oleh sang kiai.

Tahun-tahun berikutnya, Sirajuddin Abbas membawa gerbong Perti mendekat kepada Soeharto, calon penguasa baru, kendati tidak semua anggota Perti sepakat dengan manuver itu. Jelang Pemilu 1971, Sirajuddin Abbas bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), organisasi politik yang didukung oleh Soeharto (Koto, 2012: 236).

Namun, Sirajuddin Abbas tidak berlama-lama berkecimpung di perpolitikan era Orde Baru, terlebih setelah Perti dan partai-partai politik Islam lainnya dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 

Demi kemaslahatan umat serta bangsa dan negara, Sirajuddin Abbas mundur teratur. Ia menghabiskan masa-masa senjanya untuk menulis buku dan menghasilkan beberapa karya monumental.

Awal Agustus 1980, K.H. Sirajuddin Abbas terkena serangan jantung dan dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sayang, nyawanya tidak tertolong. Sang ulama Islam Nusantara wafat pada 5 Agustus 1980, hari ini tepat 38 tahun silam.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya

Isu-isu terkait komunisme kerap menerpa K.H. Sirajuddin Abbas.

Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar