PERISTIWA pembunuhan massal terhadap
anggota, dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak 1965-1966,
merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang terjadi di
dunia, pada abad ke-20.
Korban pembunuhan massal ini jauh lebih besar dari jumlah penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang tewas terkena serangan bom atom Amerika Serikat (AS), dan perang Vietnam yang terjadi bertahun-tahun.
Hingga kini, tidak ada kepastian berapa jumlah korban pembunuhan itu. Mulai dari yang paling kecil 78.000 jiwa, hingga yang sedang antara 500.000-600.000 jiwa, dan yang tertinggi mencapai angka tiga juta jiwa.
Menurut Hermawan Sulistyo, dalam bukunya Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan kasus Jombang-Kediri 1965-1966, perkiraan jumlah korban memiliki muatan politiknya sendiri.
Keterangan ini diperkuat dengan tidak adanya statistik jumlah penduduk di tingkat lokal maupun nasional, sebelum dan sesudah terjadinya pembunuhan tersebut. Sehingga, tidak ada data yang dapat dipercaya.
Anak Marhaen (AM) Hanafi dalam bukunya AM Hanafi Menggugat, Kudeta Jenderal Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, membenarkan muatan politik dalam penentuan jumlah korban pembunuhan itu. Menurutnya, sejak awal jumlah korban pembunuhan massal itu telah dimanipulasi.
Data resmi pemerintah yang menyebut angka korban 78.000 jiwa, sebenarnya merupakan hasil manipulasi rezim Orde Lama. Angka itu, sengaja dipolitisi untuk menyelamatkan nama baik Presiden Soekarno, di mata para pemimpin dunia. Manipulasi data ini, kemudian dibongkar setelah 30 tahun lebih dipendam rapat-rapat oleh Hanafi.
Dia menjelaskan, saat terjadi kudeta Letnan Kolonel Untung terhadap kelompok Dewan Jenderal yang menewaskan tujuh orang pimpinan Angkatan Darat (AD), dia menjabat Duta Besar Indonesia untuk Kuba.
Peran Hanafi dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara Amerika Latin dianggap sangat penting. Puncak keberhasilan dari kerja sama itu adalah dilangsungkannya Konfrensi Asia-Afrika-Amerika Latin, di Kuba.
Tiga bulan sebelum konferensi itu digelar, pada 1 Januari 1966, dua orang pimpinan Komisi Peneliti Korban Gestapu Mayor Jenderal Sumarno dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat, bertemu dengan Soekarno.
Mereka ingin melaporkan temuan tim di lapangan terkait jumlah korban pembunuhan massal selama tiga bulan pertama, di Sumatera, Jawa, dan Bali. Angka yang berhasil didapatkan saat itu adalah satu juta jiwa lebih.
Mendengar laporan tim, Soekarno dan sejumlah menteri yang ada saat itu sangat kaget. Mereka tidak pernah menyangka dan membayangkan, korban pembunuhan massal itu mencapai angka jutaan lebih.
Saat laporan tim berlangsung, Hanafi yang merangkap jabatan Menteri Petera sedang bersama Soekarno. Dia menegaskan, laporan tim belum final. Sebab, tim baru tiga bulan bekerja, sejak Oktober-Desember 1965.
Sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kuba yang diminta mengikuti Konfrensi Asia-Afrika-Amerika Latin, pada 1 Januari 1966, dirinya tidak bisa menerima angka itu. Dia lalu mengusulkan angka 78.000 jiwa.
"Kasihkan saja jumlah 78.000 orang akibat Gestapu," kata Hanafi, dalam bukunya, halaman 113. Usul Hanafi itu langsung disetujui Presiden Soekarno, yang dilanjutkan dengan perintah segera disebar ke media.
"Silakan Menteri Oei temui wartawan-wartawan itu dan berikan jumlah 78.000 itu saja. Bilang juga, Presiden tidak bisa menjumpai wartawan, karena sibuk sekali," sambung Soekarno, masih di halaman yang sama.
Korban pembunuhan massal ini jauh lebih besar dari jumlah penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang tewas terkena serangan bom atom Amerika Serikat (AS), dan perang Vietnam yang terjadi bertahun-tahun.
Hingga kini, tidak ada kepastian berapa jumlah korban pembunuhan itu. Mulai dari yang paling kecil 78.000 jiwa, hingga yang sedang antara 500.000-600.000 jiwa, dan yang tertinggi mencapai angka tiga juta jiwa.
Menurut Hermawan Sulistyo, dalam bukunya Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan kasus Jombang-Kediri 1965-1966, perkiraan jumlah korban memiliki muatan politiknya sendiri.
Keterangan ini diperkuat dengan tidak adanya statistik jumlah penduduk di tingkat lokal maupun nasional, sebelum dan sesudah terjadinya pembunuhan tersebut. Sehingga, tidak ada data yang dapat dipercaya.
Anak Marhaen (AM) Hanafi dalam bukunya AM Hanafi Menggugat, Kudeta Jenderal Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, membenarkan muatan politik dalam penentuan jumlah korban pembunuhan itu. Menurutnya, sejak awal jumlah korban pembunuhan massal itu telah dimanipulasi.
Data resmi pemerintah yang menyebut angka korban 78.000 jiwa, sebenarnya merupakan hasil manipulasi rezim Orde Lama. Angka itu, sengaja dipolitisi untuk menyelamatkan nama baik Presiden Soekarno, di mata para pemimpin dunia. Manipulasi data ini, kemudian dibongkar setelah 30 tahun lebih dipendam rapat-rapat oleh Hanafi.
Dia menjelaskan, saat terjadi kudeta Letnan Kolonel Untung terhadap kelompok Dewan Jenderal yang menewaskan tujuh orang pimpinan Angkatan Darat (AD), dia menjabat Duta Besar Indonesia untuk Kuba.
Peran Hanafi dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara Amerika Latin dianggap sangat penting. Puncak keberhasilan dari kerja sama itu adalah dilangsungkannya Konfrensi Asia-Afrika-Amerika Latin, di Kuba.
Tiga bulan sebelum konferensi itu digelar, pada 1 Januari 1966, dua orang pimpinan Komisi Peneliti Korban Gestapu Mayor Jenderal Sumarno dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat, bertemu dengan Soekarno.
Mereka ingin melaporkan temuan tim di lapangan terkait jumlah korban pembunuhan massal selama tiga bulan pertama, di Sumatera, Jawa, dan Bali. Angka yang berhasil didapatkan saat itu adalah satu juta jiwa lebih.
Mendengar laporan tim, Soekarno dan sejumlah menteri yang ada saat itu sangat kaget. Mereka tidak pernah menyangka dan membayangkan, korban pembunuhan massal itu mencapai angka jutaan lebih.
Saat laporan tim berlangsung, Hanafi yang merangkap jabatan Menteri Petera sedang bersama Soekarno. Dia menegaskan, laporan tim belum final. Sebab, tim baru tiga bulan bekerja, sejak Oktober-Desember 1965.
Sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kuba yang diminta mengikuti Konfrensi Asia-Afrika-Amerika Latin, pada 1 Januari 1966, dirinya tidak bisa menerima angka itu. Dia lalu mengusulkan angka 78.000 jiwa.
"Kasihkan saja jumlah 78.000 orang akibat Gestapu," kata Hanafi, dalam bukunya, halaman 113. Usul Hanafi itu langsung disetujui Presiden Soekarno, yang dilanjutkan dengan perintah segera disebar ke media.
"Silakan Menteri Oei temui wartawan-wartawan itu dan berikan jumlah 78.000 itu saja. Bilang juga, Presiden tidak bisa menjumpai wartawan, karena sibuk sekali," sambung Soekarno, masih di halaman yang sama.
Berdasarkan kesepakatan politis itu lah, hingga kini total korban tewas
dalam peristiwa pembunuhan massal tercatat 78.000 jiwa. Padahal, jumlah
korban yang sebenarnya mencapai satu juta jiwa lebih.
Setelah tiga bulan penelitian itu, aksi pembunuhan massal terhadap anggota, dan simpatisan PKI masih terus dilakukan di daerah. Bahkan tak terkendali lagi. Korban tewas pun semakin banyak berjatuhan.
Dalam pidatonya, pada 18 Desember 1966, dengan getir Soekarno menggambarkan kekejaman pembunuhan massal tersebut.
"Jenazah-jenazah Pemuda Rakyat, BTI, dan orang-orang PKI, atau para simpatisan PKI yang disembelih, dibiarkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon, dan dihancurkan. Tidak ada yang mengurusnya," katanya.
Operasi pembunuhan massal, pertama dilakukan di Jawa Tengah, yang saat itu menjadi basis massa PKI. Menyusul kemudian Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya.
Pembunuhan oleh tentara di Jawa Tengah, tertulis dalam "Memorandum Intelijen CIA, Indonesian Army Attitudes Toward Cummunism". Dalam dokumen itu disebut, tentara menembaki anggota, dan simpatisan PKI.
"Anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan dan ditawan oleh tentara. Di Jawa Tengah, pengikut PKI dilaporkan ditembak di tempat. Tentara sangat mempertaruhkan prestise dan masa depan politiknya," tulisnya.
Selain melakukan pembunuhan-pembunuhan secara langsung, tentara juga menggerakan, dan mengkoordinir kelompok sipil untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI.
Namun, keterlibatan tentara secara langsung dalam tragedi itu dibantah oleh Soeharto. Dalam pidatonya tahun 1971, Soeharto mengatakan, aksi pembunuhan massal itu dilakukan massa rakyat secara sporadis.
"Ribuan rakyat jatuh di daerah-daerah, karena rakyat bertindak sendiri-sendiri. Juga karena prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktik politik yang sempit," jelasnya.
Sebaliknya, John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto menyatakan, rakyat yang melakukan pembunuhan massal tersebut sudah dilatih tentara.
"Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan, apakah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan daerah lainnya, pada umumnya anggota milisi yang sudah dilatih oleh militer," ungkapnya, pada halaman 37.
Para rakyat ini, mendapatkan senjata, kendaraan, dan jaminan kebal terhadap hukum. Dengan demikian, orang-orang sipil itu bukan sekedar orang-orang biasa yang bertindak sendiri, seperti kata Soeharto.
Dalam kasus Indonesia, pola demikian bukan hal baru. Jauh setelah itu, pola ini kembali dilakukan terhadap Timor Leste tahun 1999. Milisi-milisi tentara bergerak, melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang.
Aksi jagal-jagal terhadap anggota, dan simpatisan PKI mulai mereda saat akan dilangsungkannya Pemilihan Umum (Pemilu) 1971. Setelah pemilu usai, pemerintah Orde Baru melakukan kontrol yang ketat.
Berbagai penulisan dan penelitian tentang Gestapu, mulai dilarang. Pengendalian wacana secara kolektif pun mulai dilakukan. Baru setelah Reformasi 1998, wacana peristiwa nahas itu kembali dibuka.
Setelah tiga bulan penelitian itu, aksi pembunuhan massal terhadap anggota, dan simpatisan PKI masih terus dilakukan di daerah. Bahkan tak terkendali lagi. Korban tewas pun semakin banyak berjatuhan.
Dalam pidatonya, pada 18 Desember 1966, dengan getir Soekarno menggambarkan kekejaman pembunuhan massal tersebut.
"Jenazah-jenazah Pemuda Rakyat, BTI, dan orang-orang PKI, atau para simpatisan PKI yang disembelih, dibiarkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon, dan dihancurkan. Tidak ada yang mengurusnya," katanya.
Operasi pembunuhan massal, pertama dilakukan di Jawa Tengah, yang saat itu menjadi basis massa PKI. Menyusul kemudian Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya.
Pembunuhan oleh tentara di Jawa Tengah, tertulis dalam "Memorandum Intelijen CIA, Indonesian Army Attitudes Toward Cummunism". Dalam dokumen itu disebut, tentara menembaki anggota, dan simpatisan PKI.
"Anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan dan ditawan oleh tentara. Di Jawa Tengah, pengikut PKI dilaporkan ditembak di tempat. Tentara sangat mempertaruhkan prestise dan masa depan politiknya," tulisnya.
Selain melakukan pembunuhan-pembunuhan secara langsung, tentara juga menggerakan, dan mengkoordinir kelompok sipil untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI.
Namun, keterlibatan tentara secara langsung dalam tragedi itu dibantah oleh Soeharto. Dalam pidatonya tahun 1971, Soeharto mengatakan, aksi pembunuhan massal itu dilakukan massa rakyat secara sporadis.
"Ribuan rakyat jatuh di daerah-daerah, karena rakyat bertindak sendiri-sendiri. Juga karena prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktik politik yang sempit," jelasnya.
Sebaliknya, John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto menyatakan, rakyat yang melakukan pembunuhan massal tersebut sudah dilatih tentara.
"Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan, apakah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan daerah lainnya, pada umumnya anggota milisi yang sudah dilatih oleh militer," ungkapnya, pada halaman 37.
Para rakyat ini, mendapatkan senjata, kendaraan, dan jaminan kebal terhadap hukum. Dengan demikian, orang-orang sipil itu bukan sekedar orang-orang biasa yang bertindak sendiri, seperti kata Soeharto.
Dalam kasus Indonesia, pola demikian bukan hal baru. Jauh setelah itu, pola ini kembali dilakukan terhadap Timor Leste tahun 1999. Milisi-milisi tentara bergerak, melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang.
Aksi jagal-jagal terhadap anggota, dan simpatisan PKI mulai mereda saat akan dilangsungkannya Pemilihan Umum (Pemilu) 1971. Setelah pemilu usai, pemerintah Orde Baru melakukan kontrol yang ketat.
Berbagai penulisan dan penelitian tentang Gestapu, mulai dilarang. Pengendalian wacana secara kolektif pun mulai dilakukan. Baru setelah Reformasi 1998, wacana peristiwa nahas itu kembali dibuka.
0 komentar:
Posting Komentar