April 27th, 2015
Ratna Hapsari
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang mau menggali sejarahnya. Dan bangsa yang mampu membangun peradaban yang gemilang adalah bangsa yang mau belajar dari sejarahnya.
Sayangnya, pernyataan ini tampaknya bagai pepesan kosong di Indonesia. Sejarah dianggap sebagai ilmu pinggiran yang tidak bergengsi. Ilmu sejarah bahkan jarang digunakan untuk menyelesaikan persoalan bangsa, seperti pada kasus 1965.
Bagi Ratna Hapsari, mantan ketua Assosiasi Guru Sejarah Indonesia, pelajaran sejarah di Indonesia harus digunakan untuk menyelesaikan stigma ‘PKI”. Pendidikan sejarah yang baik dapat menghentikan segala dendam, namun sebaliknya pengajaran sejarah yang menekankan pada kepentingan kelompok, dapat menimbulkan kebencian kolektif sebagaimana yang terjadi pada pendidikan sejarah di masa Orde Baru.
Bagaimana peristiwa 65 dalam kurikulum sejarah sejak masa reformasi?
Kalau pada masa Soeharto, tragedi PKI itu dalam satu materi tersendiri. Sekarang ini menjadi bagian dari materi upaya disintegrasi bangsa, jadi tidak hanya PKI, tapi ada DI/TII, PRRI-Permesta.
Dulu, sejarah adalah made in Soeharto. Kita tidak boleh bercerita di luar versi resmi pemerintah, dimana peristiwa 65 diceritakan sebagai gerakan kudeta yang idenya dari PKI. Cerita ini selalu didengung-dengungkan. Murid sekolah bahkan diwajibkan mengunjungi Lubang Buaya. Dalam sejarah versi mereka, tempat tersebut merupakan lokasi pembunuhan keji 7 Jendral Revolusi oleh PKI. Tidak sampai disitu, tiap tahunnya film G30S/PKI yang berisi sejarah 65 versi Orde Baru diputar di TV.
Setelah Reformasi, informasi mulai terbuka. Buku-buku yang menggugat sejarah versi pemerintah mulai bermunculan. Sistem pengajaran sejarah jadi berbeda dengan era sebelumnya. Saya meminta anak-anak mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, internet dan lain lain, kemudian mereka diminta membuat analisis dalam diskusi-diskusi terbuka di kelas. Di saat itulah anak-anak bertanya, “ Mengapa terjadi pembunuhan massal hingga ke desa-desa? ”, “Mengapa yang dibunuh itu perwira-perwira senior Angkatan Darat, bukan Angkatan Laut atau Angkatan Udara? “. Jadi anak-anak diajak berfikir dan bertanya secara kritis. Masalah PKI tidak se-sensitif 25 tahun yang lalu.
Apakah metode pengajaran sejarah yang ibu lakukan merupakan metode standar para guru sejarah di tingkat SMA?
Tidak. Itu masih tergantung kemampuan personal tiap guru, tapi sudah jauh lebih terbuka dibandingkan masa Soeharto.
Dari himpunan guru sejarah Indonesia sendiri, apakah pernah melakukan pelatihan-peatihan cara mengajar sejarah?
Tidak ada karena terbentur dana. Asosiasi ini di luar sistem. Dari pemerintah sendiri tidak ada karena mereka berkepentingan sekali dengan pengajaran sejarah. Asosiasi pernah membuat semacam majalah yang dananya dari Hivos untuk meningkatkan kemampuan guru, tapi sekarang tidak ada lagi.
Jika pengajaran sejarah sudah terbuka, mengapa stigma PKI versi Orde Baru masih kuat di masyarakat?
Karena pendidikan sejarahnya masih tergantung kemampuan guru. Kadang-kadang saya mengajak anak-anak ketemu Gerwani, yang mendapat stigma sebagai perempuan tidak bermoral. Ketika bertemu dengan tokoh – tokoh Gerwani, mereka sering berkata “ Masa mereka Gerwani bu, kan mereka lembut banget ”. Lalu, saya katakan bahwa peristiwa tersebut jangan sampai terulang. Itu pelanggaran HAM berat. Itu yang penting sebetulnya. Persoalannya memang tidak semua guru bisa mengembangkan hal tersebut.
Selain itu, anak-anak seringkali mendapat pengaruh dari organisasi di luar sekolah yang mereka ikuti, misalnya kelompok diskusi Islam yang fundamental. Kadang ketika saya mengajar di kelas, mereka suka bilang “bukan seperti itu yang kami dengar”. Artinya pengaruh dari luar lebih kuat karena anak-anak di usia tersebut masih mudah dipengaruhi karena gampang terkesan pada hal-hal yang dianggap heroik.
Kalau pandangan guru-guru sejarah sendiri bagaimana dengan stigma PKI versi Rezim Orde Baru?
Masih banyak yang memberikan stigma, bahkan dosen. Biasanya guru-guru yang keluarganya meninggal dan dianggap sebagai ulah PKI. Banyaknya di Jawa Timur. Disana, pesantren-pesantren juga masih kuat dengan stigma terhadap PKI. Biasanya guru-guru tersebut tidak mau mendengarkan versi lain.
Perlukah metode khusus dalam pengajaran sejarah di daerah-daerah tersebut?
Perlu. Harus disamarkan dan tidak bisa menjadi pengajaran peristiwa 65 sendiri. Kita pernah membuatPanduan Ajar Berwawasan HAM yang di dalamnya terdapat peristiwa 65. Kita sampai minta tandatangan Menteri Kehakiman agar tidak dipermasalahkan dan dilarang. Kalau dibuat secara mandiri dan langsung disebarkan ke anak-anak, tidak mungkin. Harus diprovokasi seperti itu atau seperti yang dilakukan IKOHI dengan Youth Camp, tapi inipun masih sulit, terutama sekolah negeri karena masih banyak yang alergi, termasuk di Jakarta.
Pernahkah menggunakan film-film misalnya Jagal atau Senyap sebagai salah satu metode alternatif dalam pengajaran sejarah?
Kami belum berani menjadikan film Jagal dan Senyap sebagai alat pembelajaran. Saya sempat diskusi dengan Oppeheimer. Dia bertanya mengapa saya tidak berani memutar film-filmnya di depan siswa SMA, kemudian ia bercerita kalau orang tuanya adalah korban karena Yahudi. Dia bisa menerima. Ya saya katakan bahwa pendidikan sejarah disana sudah diajarkan untuk menganalisis sejak kecil. Disini tidak seperti itu, sehingga ketika melihat kekejaman, yang berbicara adalah emosi. Emosi ini melahirkan dendam. Kalau di tingkat mahasiswa dijadikan alat pembelajaran tidak apa-apa.
Jadi seharusnya seperti apa tahapan pengajaran sejarah sejak SD, SMP, SMA ?
Mereka harus diajarkan melakukan analisis untuk hal-hal yang sederhana. Contoh cucu saya kelas 2 SD di Singapura, setelah selesai liburan harus mempresentasikan liburannya di depan kelas dan membawa 3 media terkait cerita. Cucu saya yang kelas 2 SD bercerita wayang itu sejenis boneka, yang setiap tokohnya mewakili satu karakter manusia yang beda-beda. Sementara kelas 2 SD di Indonesia tidak seperti itu. Analisis-analisis kecil seperti itu tidak ada dan dianggap njelimet. Jadi harus berubah dulu konsep pendidikan kita agar menekankan analisis, baru saya berani bawa film-film Joshua di kelas. Ini PR besar dalam keseluruhan sistem pendidikan kita.
Saya melihat masih ada yang belum sinkron. Pelajaran sejarah mulai terbuka, tapi masih banyak yang alergi pada pemutaran film Jagal dan Senyap?
Ada problem dalam pendidikan sejarah kita, jika dibandingkan dengan sistem pengajaran sejarah di luar negeri. Disana, yang pertama kali diajarkan sejak kelas 1 SMA adalah filsafat sejarahnya dulu, sedangkan di Indonesia langsung diajarkan peristiwanya. Akibatnya anak-anak seringkali tidak tahu bahwa peristiwa tersebut adalah interpretasi orang, sehingga bisa tidak sama analisanya. Kalau diajarkan filsafat sejarahnya dulu, tidak perlu timbul stigma. Sejak awal, murid diajarkan untuk menganalisis dan membandingkan. Jadi kita sudah salah kaprah. Seharusnya bukan sekadar menghafal situasi, kemudian asal dapat nilai bagus. Makanya saya kalau membuat soal tidak pernah yang recall (hafalan), tetapi apa tujuan dari Perang Diponegoro. Namun metode ini sering dianggap bertele-tele dan merepotkan. Jadi, pemahaman untuk intepretasi dari gurunya yang harus dirombak. Ini berkaitan dengan pendidikan guru.
Berhasil sekali yah Orde Baru membangun narasi peristiwa 65?
Sangat berhasil, tapi sebenarnya sekarang ini Lubang Buaya tidak laku lagi. Tidak ada orang yang mau ke sana lagi.
Ini menarik. Di satu sisi orang sudah tidak menganggap lagi simbol-simbol seperti Lubang Buaya tapi di sisi lain masih terjadi peristiwa penyerangan di Bukit Tinggi. Berarti walau simbolnya tidak laku lagi, tapi imajinasi di anak mudanya masih kuat ?
Masih sangat kuat, saya pernah membuat workshop untuk guru-guru sejarah dengan mengundang saksi dari Talangsari, Tanjung Priok, Peristiwa 65 dan sebagainya. Belum sampai kami melakukan seminar, hotel kita diserbu oleh orang-orang dari ormas Islam supaya tidak dilanjutkan. Begitu pula waktu di Malang. Akhirnya kami putuskan kalau seminarnya sensitif kami lakukan di kampus karena aman. Anehnya, beritanya juga cepat menyebar dan selalu dikatakan “kelompok PKI baru”. Seperti kejadian Bukit Tinggi aneh sekali. Yang datang kan kakek-kakek dan nenek-nenek tapi masih ditakuti. Saya pikir pasti ada provokator. Karena ada kepentingan.
Isu peristiwa 65 seringkali dibenturkan sebagai komunis yang Atheis atau tidak beragama. Apakah sering muncul di kelas pernyataan tersebut karena mereka atheis, maka tidak masalah mereka dibunuh?
Yang terjadi memang seperti itu. Karena pada masa Orde Baru, kita tidak boleh membicarakan komunis itu apa, bahkan untuk bicara Tan Malaka di kelas, padahal Tan Malaka memiliki pemikiran positif dalam kemerdekaan yaitu harus merdeka dengan kekuatan kita sendiri karena tidak mungkin kapitalisme menargetkan kemerdekaan. Akibatnya anak-anak tidak mengenal macam-macam ideologi. Saya selalu menjelaskan komunis itu ideologi, tetapi orangnya sendiri belum tentu atheis. Saya katakan bahwa di Rusia banyak loh mesjid, banyak gereja. Malah kadang-kadang orang yang atheis tidak komunis. Tapi apakah komunis selalu identik dengan atheis? Ada buku pak Putu tentang penyintas, dia katolik tapi secara ideologi dia komunis. Karena komunis memperjuangkan kelas bawah. Urusan ideologi dan iman beda. Makanya seharusnya belajar sejarah itu harus belajar filsafat sejarah terlebih dulu. Lagi-lagi ini pe-er besar.
Source: IPT 1965
0 komentar:
Posting Komentar