Kamis, 07 Januari 2016

Li Ta-Chao dan Kelompok Belajar Marxis



6 January 2016 | Dicky Ermandara | Logika

MEMPELAJARI Marxisme di awal abad-21 sebenarnya memiliki banyak keuntungan. Dibanding generasi para Marxis pertama misalnya, kita punya hampir semua karya Marx-Engels yang bebas dan gratis diperoleh dari internet. Lenin-Yang-Agung saja belum mengenal Grundrissesampai akhir hayatnya. Ditimbang dari generasi Aidit dan Njoto, kita sekarang punya terjemahan Das Kapital dan karya-karya Marx lain dalam bahasa Indonesia. Ini berarti jika dibanding generasi Marxis terdahulu, kita jauh lebih kaya secara tekstual untuk mempelajari Marxisme.
Namun, kekayaan kita berhenti sampai di situ. Perbedaannya dengan mudah teridentifikasi ketika pertanyaan tentang ruang belajar tatap muka tempat gagasan-gagasan yang telah diperoleh dari teks diartikulasikan dan dibincangkan bersama diajukan; ‘belajar Marxisme? sama siapa?—Ketemuannya di mana?’ Jangankan membayangkan memiliki pusat pendidikan, penelitian, dan pusat arsip mewah seperti Institut Marx-Engels pimpinan Riazanov di awal berdirinya Uni Soviet dulu. Akademi Ilmu Sosial Aliarcham yang pernah gagah berdiri saja tak lagi ada. Mempelajari Marxisme di Indonesia awal abad-21, akhirnya jadi pekerjaan yang menuntut banyak inisiatif. Apalagi kalau sudah menginsafi bahwa kampus-kampus atau acara-acara ‘diskusi’ tak banyak membantu. Harapan terakhir mungkin terletak pada organisasi Kiri. Tapi saya sendiri tak punya pengalaman belajar di sana, sehingga tak bisa bicara banyak.
Dalam tulisan ini karenanya saya mau berbagi satu kisah saja dari negeri China soal pengalaman belajar Marxisme. Kisahnya berasal agak jauh dari awal abad-20. Kebetulan tokohnya bukan dari jenis aktivis, tapi dari seorang pustakawan bernama Li Ta-Chao.[1]
China awal abad-20 sekilas mirip Indonesia sekarang. Ide-ide revolusioner Marxisme soal kritik atas kapitalisme dan kemungkinan pelampauannya, jamak dikenal dan diterima kaum terpelajar yang punya akses pengetahuan lebih. Penerimaan ini, bagaimanapun, sifatnya instingtif. Maksudnya, kesimpulan-kesimpulan khas Marxis soal emansipasi kelas pekerja diterima sebelum metode dan argumentasi yang menghantar kepada kesimpulan tersebut benar dimengerti. Hanya ada potongan teks Manifesto Komunis yang diterjemahkan eksil-eksil China di Jepang tahun 1910. Kondisi ini berlainan, misalnya, dari kaum revolusioner Eropa dan Rusia di era yang sama yang sudah mewarisi tradisi sosial-demokratik di negerinya dan umumnya menghabiskan waktu pendidikan bertahun-tahun sebelum berkomitmen pada ide emansipasi Marxisme.
Li Ta-Chao muda adalah anak zaman ini. Ia tumbuh di zaman revolusioner ketika Dinasti Qing yang sudah berkuasa lebih dari duaribu tahun akhirnya runtuh berganti Republik China. Zaman ketika cara produksi kapitalis berhasil mendobrak sekat isolasi ekonomi feodal. Masa yang sama ketika pemikiran Modern mulai diterima luas sebagai respon kritis pada nilai-nilai konfusianisme yang dianggap sebagai pondasi ideologis tatanan lama. Ragam jenis pemikiran Modern dari Demokrasi sampai Sosialisme, mulai sering didiskusikan oleh muda-mudi di kedai-kedai minuman. Li yang seorang anak petani desa dan dididik dengan nilai-nilai Konfusian di rumah, ikut aktif dalam suasana baru ini. Sejak sekolah menengah, ia aktif dalam jurnal seperti Masyarakat Kajian Politik dan Hukum Peiyang, yang rutin menerbitkan tulisan-tulisan tentang masalah sosio-politik rakyat. Gabungan dua tradisi berpikir yang ia terima di rumah dan di sekolah ini yang kemudian hari dikenang Li banyak membentuk jatidiri politiknya; daripada melihat sebagai sebuah jalur karir, Li cenderung memandang politik sebagai jalan pengabdian dan pelayanan atas rakyat yang mesti dijalani tanpa pamrih.
Politik juga yang membawa Li melanjutkan sekolah ke Jepang tahun 1913. Sebenarnya dibanding sebagai mahasiswa, Li lebih melihat dirinya sebagai seorang eksil. Di sana ia mengorganisir kelompok Masyarakat Kajian China (Shen-chou hsϋeh-hui), yang selain menjadi pusat berkumpulnya para intelektual eksil China di Jepang, juga merupakan pusat mobilisasi perlawanan terhadap kediktatoran Yϋan Shih-k’ai. Di Jepang pula Li mulai mengenal dan mempelajari teori ekonomi-politik marxis secara serius. Ia terutama terpengaruh tulisan-tulisan ekonom Marxis Kawakami Hajime yang amat populer, terutama tentang imperialisme yang, menurut Li, paling tepat membaca keadaan negerinya.
Bekal pengetahuan tentang Marxisme ini membawa Li kembali ke China tahun 1916 tanpa menyelesaikan kuliahnya. Ia diundang oleh kenalannya sewaktu kuliah di Jepang, Chen Tu-Hsiu (Chen Duxiu), untuk menjabat sebagai profesor ekonomika dan ilmu sejarah di Universitas Peking. Selain menjabat profesor, Li juga ditugaskan mengepalai perpustakaan Universitas. Di ruang kelas sebagai seorang pengajar Li dikenal bukan hanya sebagai seorang guru dan mentor politik. Ia juga sering jadi tempat berkeluh-kesah para muridnya, dari masalah pribadi sampai masalah keuangan. Saking ringan tangannya dalam soal yang terakhir ini, istri Li konon sampai perlu mendatangi petinggi kampus untuk mengeluh keadaan rumahtangganya yang kekurangan uang hanya karena Li terlalu sering memberi pinjaman bagi para muridnya.
Namun kegiatan Li yang paling menarik bukan terjadi dalam ruang-ruang kelas, tapi di perpustakaan yang ia kepalai. Di ruang-ruang perpustakaan inilah Li bersama beberapa mahasiswanya memulai Masyarakat Kajian Marxis (Ma-k’-e-shih chu-i yen-chiu-hui), sebuah kelompok belajar yang mengkhususkan diri mempelajari karya-karya Marx. Kelas-kelas kelompok ini biasa dimulai sore hari dalam selang-seling antara suasana sunyi ketika pembacaan teks dimulai, lalu riuh ketika perdebatan kecil yang mengiringi tafsir atas teks terjadi. Pertemuan pertama kelompok ini diawali sebuah presentasi Li tentang Das Kapital. Li berperan sebagi mentor, namun ia sengaja membatasi perannya dengan hanya duduk di pojok ruangan sambil sesekali memberi komentar. Layaknya para pemikir pencerahan, Li memang sengaja mendorong para muridnya untuk biasa berpikir mandiri. Ia jarang memberi monolog penuh jawaban dan lebih sering mengajukan pertanyaan yang mengajak muridnya berdialog. Kegiatan Li ini kadang mendapat tentangan dari beberapa petinggi Universitas. Apalagi setelah rangkaian artikelnya tentang dasar-dasar Marxisme dan Revolusi Bolshevik di majalah politik populer Pemuda Baru (Hsin ch’ing-nien) direspon baik pembaca luas. Beruntung, Li terus dibela oleh murid-muridnya yang sudah muak dengan para pengajar-birokrat dan ruang-ruang kelas formal yang hampa. Kelompok belajarnya bertahan, bahkan terus menarik murid-murid baru yang mendengarnya dari telinga ke telinga.
Salah seorang pegiat kelompok belajar Li yang paling rajin saat itu adalah pemuda bernama Mao Tse-Tung. Pemuda satu ini baru saja pindah dari kampungnya di Hunan dan memerlukan pekerjaan yang selain bisa menghidupi dirinya di kota besar, juga memberinya ruang untuk terus membaca dan menulis. Oleh guru sekolahnya, Yang Changji, Mao direkomendasikan melamar pekerjaan sebagai asisten pustakawan membantu Li. Kerja Mao adalah mencatat nama pengunjung perpustakaan yang membaca suratkabar dengan gaji 8$ sebulan. Sebagai pemuda resah, Mao mulanya lebih tertarik pada varian pemikiran sosialisme lain seperti anarkisme. Ia kebetulan berbagi ketertarikan yang sama dengan Li pada pemikiran Peter Kropotkin. Tapi kelas-kelas belajar Li, buku Perjuangan Kelas-nya Kautsky, dan terutama kemenangan Bolshevik di Rusia tahun 1917 diingat Mao sebagai hal-hal yang membawanya pada Marxisme. Sejak saat itu Mao bersama beberapa kawannya, seperti Teng Ching-hsia, Chang Kuo-t’ao, Lo Chang-lung, Ho Meng-hsiung, dan Liu Jen-ch’ing mulai menginisiasi kelompok-kelompok belajar baru di luar perpustakaan merah Li. Mao membangun kelompok pegiat literasi bernama Masyarakat Kajian Rakyat Baru (Hsin-min Hsueh-hui), yang selain mengorganisir kelompok belajar Marxis juga melakukan pengajaran, membuka tokobuku, serta perpustakaan keliling. Di luar kelompok Mao ini, ada kelompok Masyarakat Kesejahteraan Sosial, Korps Suara Edukasi Massa, Korps Komunis Muda, Korps Pemuda Sosialis, Kebangkitan Masyarakat, serta puluhan kelompok lain yang mulai terbentuk, berjejaring, dan saling berkomunikasi lewat tulisan-tulisan yang dimuat di majalah Pemuda Baru yang didirikan Chen Tu-Hsiu. Jaringan mereka merentang dari Wuhan, Changsa, Chinan, Hangchow, sampai kota-kota lain di China yang segera bertransformasi menjadi pusat pegiat-pegiat literasi komunis. Kelompok-kelompok ini juga yang kemudian jadi simpul dalam Gerakan Empat Mei yang kemudian berhasil menggulingkan para birokrat fasis Republik China.
Dari perian biografi Li Ta-Chao oleh sejarawan China seperti Meisner, setidaknya ada beberapa hal penting yang menarik dari inisiatif kelompok belajar yang dimulai Li Ta-Chao. Pertama, kelompok-kelompok belajar Li adalah ruang paling awal tempat para muda-mudi terpelajar di China membaca dan mempelajari secara langsung karya-karya Marx. Dengan kata lain, perpustakaan merah Li adalah situs lahirnya generasi pertama kaum Marxis di China yang akan banyak berperan besar dalam sejarah China modern. Kedua, kelompok belajar Li adalah katalis bagi menjamurnya puluhan kelompok belajar sejenis yang tumbuh di berbagai kota, basis sosial dari lahirnya Partai Komunis China kemudian. China masa itu, yang tidak memiliki tradisi sosial-demokratik sebelumnya, berhasil membangun Partai Komunis dengan bersandar pada jejaring informal kelompok belajar yang dimulai oleh Li dan diperluas oleh muridnya seperti Mao. Bagaimana ini mungkin? Besar kemungkinan karena telah tercipta semacam persatuan epistemik, sebuah “penyatuan metode berpikir tentang kenyataan”, sebuah pandangan-dunia yang sama yang memudahkan para murid Li bersepakat dalam pandangan ekonomi-politik. Ini juga yang dapat menjelaskan mengapa dalam Kongres Pertama di Shanghai tahun 1921, Li Ta-Chao bersama Chen Tu-Hsiu lah yang diangkat oleh para muridnya seperti sebagai duo pendiri Partai Komunis China.
Dari awal abad-21, kita kini bisa memotret kelompok belajar Marxis yang dimulai oleh Li Ta-Chao sebagai pupuk bagi bibit-bibit bentuk relasi sosial baru yang akan mekar di bawah Revolusi Kebudayaan Mao Tse-Tung. Di masa jauh sebelum China menguasai dunia, jauh ketika Partai Komunis dan perang Geriliya berkobar, ada seorang Li Ta-Chao sang pustakawan yang mengorganisir kelompok-kelompok belajar yang melahirkan pemimpin-pemimpin besar seperti Mao. Kalau kembali pada pertanyaan di muka soal ‘belajar Marxisme dari mana?’ saya pikir jalan Li Ta-Chao dan para muridnya—membangun kelompok belajar Marxis mandiri, layak dicoba.***
Yogyakarta, 3 Januari 2016
———–
[1]Materi tulisan ini sebagian besar berasal dari buku Maurice Meisner (1967), Li Ta-Chao and The Origins of Chinese Marxism. Harvard University Press.

http://indoprogress.com/2016/01/li-ta-chao-dan-kelompok-belajar-marxis/?utm_campaign=shareaholic

0 komentar:

Posting Komentar