Sabtu, 10 Juni 2017

Jejak Pembantaian Anggota Partai Terlarang di Kalteng [2]


Tragedi September Kelabu
Perburuan Partai Terlarang di Huma Betang

30 September 1965 menjadi awal lembaran kelam sejarah perjalanan bangsa. Indonesia mencapai titik nadir dan memilukan setelah peristiwa pembunuhan Dewan Jendral kala itu. Sebuah operasi penumpasan terhadap Partai Komunis Indonesia dimulai. Jutaan anak negeri dikejar dan dikubur dalam perut Bumi Pertiwi. Sebagian lainnya hidup dalam ketakutan hingga kini.


Laporan Gunawan

Suatu hari, sekitar 1960-an, Herman (nama samaran) didatangi seseorang. Orang yang mengaku anggota dari partai tertentu ini kemudian menawari Herman untuk bergabung. Herman mendapat penjelasan mengenai keuntungan yang akan diperolehnya apabila menjadi bagian dari partai itu.

Tawaran itu ternyata menggugah Herman. Hatinya tergerak ikut bergabung. Ia kemudian banting stir menggeluti dunia politik. Kehidupan Herman seketika berubah. Ia menjadi lebih mapan.

Pekerjaannya sebagai mantri kesehatan perlahan ditinggalkan. Ia menjadi lebih fokus menjalankan program-program partai dan menarik orang lain untuk ikut bergabung.

Tidak sulit bagi Herman membawa orang bergabung, mengingat saat itu ia cukup dipandang di Sampit, Kotawaringin Timur (Kotim). Merasa hidupnya sudah mapan, Herman kemudian meminta istrinya melepaskan pekerjaannya yang saat itu sebagai tenaga kesehatan. Menjadi anggota partai, seolah membawa berkah melimpah bagi Herman dan istrinya yang dikaruniai empat anak.

Masa keemasan Herman ternyata hanya berlangsung beberapa tahun. Pecahnya peristiwa 30 September 1965 merupakan awal petaka bagi kehidupan Herman. Pembunuhan enam Dewan Jenderal di Jakarta, berlanjut dengan penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI dan organisasi yang berafiliasi ke partai itu dituding menjadi otaknya.

Mereka juga disebut ingin menggulingkan negara dan mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Perintah penangkapan itu juga berlaku untuk Herman. Suatu malam, di tahun 1966, kediaman Herman kedatangan “tamu” bersenjata. Tanpa banyak bicara, orang-orang yang diyakini sebagai militer itu langsung membawa Herman. Istri dan anaknya pun tak kuasa melawan.

Mereka hanya bisa menangis pasrah. Ratapan mereka tak didengar meski tulang punggung keluarga itu dibawa pergi tanpa penjelasan pasti.

“Setelah ditangkap, Herman dibawa ke Palangka Raya menggunakan truk. Dalam truk itu juga banyak orang lain yang ditangkap. Mereka kemudian dibawa ke sebuah lokasi di sekitar Tangkiling,” kata Lina (60, nama samaran), mengenang kembali kisah Herman, kerabatnya yang menjadi korban dalam operasi penumpasan PKI.

Di lokasi yang jauh dari permukiman warga itu, ada truk lain yang juga membawa tahanan, hasil penangkapan dari berbagai daerah di Kalteng. Mereka dikumpulkan di satu tempat untuk eksekusi.
”Tahanan dalam truk itu dimasukkan dalam lubang. Mereka kemudian ditembak dan dikubur,” tutur Lina.

Herman yang saat itu masih menunggu giliran hanya bisa pasrah sembari berdoa. Bayang-bayang kematian terus terlintas dalam pikirannya, seirama dengan desingan peluru yang menghabisi nyawa orangorang yang lebih dulu dieksekusi. Teriakan dan pekikan kematian menggema memecah kesunyian dan menciptakan kengerian. Saat menanti ajal itulah, sebuah keajaiban terjadi. Eksekusi terhadap para tawanan itu dihentikan.

Kabarnya, penghentian eksekusi itu atas permintaan Tjilik Riwut, Gubernur Kalteng saat itu. Tjilik Riwut meminta mereka tidak dieksekusi mati dan diganti dengan hukuman penjara. Nyawa Herman terselamatkan, meski akhirnya ia harus mendekam dalam penjara di sebuah tempat. Hari-hari Herman dilalui dalam penjara itu bersama tahanan lainnya.

“Sekitar sembilan tahun dia dipenjara. Anehnya, setelah bebas, badannya jadi gemuk. Tapi, sifatnya berubah drastis, menjadi seperti orang linglung,” kata Lina. Dalam ingatan Lina, Herman dan tahanan lain dipenjara di sekitar wilayah Kabupaten Katingan yang dulunya masih jadi satu dengan Kotim.

Herman bebas sekitar tahun 1976. Lina mengaku tak ingat alasan apa yang membuat Herman dibebaskan. Selama Herman dipenjara, sang istri yang berusaha membesarkan anaknya, kembali menekuni pekerjaan sebagai tenaga kesehatan.

“Sekarang anak-anaknya sudah besar semua, ada yang sudah jadi PNS (pegawai negeri sipil). Tapi, untuk menjadi PNS, mereka harus berganti nama. Nama ayahnya tak digunakan lagi,” tuturnya.

Herman tak pernah tahu bahwa partai yang membuat hidupnya mapan itu ternyata berafiliasi ke PKI. Dari ingatan Lina yang samar-samar, partai itu adalah Partai Indonesia atau Partindo. Akses informasi saat itu memang sangat terbatas. Tak ada televisi, koran, atau bahkan internet seperti sekarang, sehingga informasi mengenai segala sesuatu sulit digali lebih dalam.

Selain Herman, anggota Partindo lainnya juga disinyalir banyak yang ditangkap. Di Palangka Raya, Ketua Partindo, Yanti Saconk, yang menjabat wali kota pertama tak luput dari penangkapan. Sejumlah sumber menyebut ia dibunuh dan tak diketahui keberadaannya hingga sekarang.

Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto yang bertahan selama 32 tahun, mampu menanamkan teror berkepanjangan bagi orang-orang yang terlibat PKI maupun berafiliasi ke partai berlambang palu dan arit itu. Rasa takut dan malu, membuat mereka berusaha mengubur dalam-dalam kisah pahit dan menyakitkan, meski sesungguhnya tak adil bagi mereka, sebagai rakyat kecil.


Tentara Salah Paham

Sambil membawa sebuah buku tentang Gerakan 30 September terbitan militer dan selembar kertas putih, Walman Narang (86) bersusah payah berjalan menuju ruang tamu.

Selangkah demi selangkah Walman tampak kepayahan berjalan. Perlu sekitar setengah menit bagi Walman untuk berjalan dari ruang keluarga yang hanya berjarak sekitar lima meter dari ruang tamu. Sambil berhati-hati Walman duduk di sofa ruang tamu setelah bersalaman dengan Radar Sampit, Kamis (18/9) pagi.

Sebelum perbincangan dimulai, ia menyerahkan selembar kertas yang dibawanya, berisi biodata singkat mengenai dirinya. “Itu biodata saya, silakan disimpan untuk bahan,” katanya mengawali pembicaraan.

Tangannya terlihat agak gemetaran saat menyerahkan biodata itu. Usia yang senja tampaknya menggerogoti kekuatan tubuhnya. Walman mengaku pernah menjadi mantan Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) di Palangka Raya sekitar tahun 1970-an.

Sebelumnya, pria yang menggunakan setelan batik ini menjabat sebagai Komandan Kodim di Kuala Kapuas. Saat itu, penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat PKI tengah berkecamuk di seluruh Kalteng. Orang-orang yang ditahan semua dikumpulkan di Palangka Raya.

Salah satu basis PKI di Kalteng adalah di Kabupaten Barito Timur (Bartim). Di wilayah itu, partai yang akhirnya dilarang berdiri ini sempat eksis. Sampai akhirnya keluar maklumat penumpasan, orang-orang yang terlibat PKI di wilayah itu disebut-sebut paling banyak ditangkap. Operasi penangkapan terjadi di seluruh wilayah.

”Dulu, waktu 1965 (dan peristiwa setelahnya), aparat negara banyak salah mengerti, baik dari tentara maupun polisi. Di Kalteng ini sampai beribu-ribu yang ditangkap. Aparat salah mengerti bahwa yang ditangkap itu sebagian besar berasal dari organisasi Pemuda Kristen Indonesia.
Mereka menyangka itu juga PKI, karena singkatannya yang sama.

Padahal, PKI itu singkatan dari Pemuda Kristen Indonesia,” tutur Walman yang kini menjabat Ketua Umum Dewan Harian Daerah Badan Penerus Pembudayaan Kejuangan-45 Provinsi Kalteng.

Korban salah tangkap itu sempat mengajukan protes. “Kami bukan PKI. PKI (yang kami ikuti) itu (singkatan dari) Pemuda Kristen Indonesia,organisasi yang lain,” ujar Walman menirukan ucapan orang-orang yang protes saat itu.

Protes mereka tidak digubris aparat. Militer tidak percaya. Mereka tetap ditahan. Penangkapan yang membabi buta itu membuat suasana di Kalteng, terutama Palangka Raya, menjadi panas dan tegang.

“Gara-gara penangkapan PKI itu, banyak orang kita, suku Dayak, terutama yang ditangkap, pemuda, guru, dan lainnya, melakukan protes. Surat protes dikirim ke Banjarmasin (Kalimantan Selatan), ditujukan kepada Jenderal Panggabean di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang membawahi komando Kalimantan saat itu,” kata anggota DPD Legiun Veteran RI Kalteng ini.

Dalam protes itu disebutkan, banyak orang di Kalteng yang tersiksa karena aparat, ditangkap, dan ditahan. Padahal mereka bukan PKI.

“Masyarakat saat itu merasa aparat tidak mengayomi mereka, malah justru menyiksa,” kata Walman. Melihat kondisi terus memanas, Jenderal Panggabean membuat keputusan menugaskan Walman untuk mendinginkan suasana.

“Jenderal Panggabean berpikir, bagaimana cara mengatasi (ketegangan saat itu). Saya sebenarnya saat itu mau dikirim ke Bandung, dipindahkan ke Markas Besar Pertahanan Keamanan, tapi karena suasana tegang dan saya sebagai orang Kalteng, akhirnya saya batal ke Bandung dan dikirim ke Palangka Raya,” katanya.

Walman yang sebelumnya bertugas di Kuala Kapuas itu dipindahkan ke Palangka Raya sekitar tahun 1970 bergabung dengan Kodam XI Tambun Bungai. Saat Walman menjabat Dandim itu, suasana tegang agak mereda. Saat itu, orang-orang yang disebut terlibat PKI ditahan di sebuah gedung bioskop milik seorang pejabat militer. Jumlahnya sekitar 200-an orang.

Semua tahanan kemudian dipindahkan ke sebuah bangunan mirip barak di kilometer 7 ruas Palangka Raya-Tangkiling. Walman yang saat itu masih berpangkat letnan kolonel, diminta membina para tahanan.

”Jadi, (berdasarkan) petunjuk dari Kodam (XI Tambun Bungai), supaya mereka dibina. Saya kemudian berpikir, bagaimana nasib keluarga mereka setelah ditangkap,” katanya.

Walman kemudian menyampaikan keresahan hatinya pada atasannya. ”Bagaimana kalau tahanan ini diberi kebebasan? Pagi bisa keluar, tapi malam datang lagi. Jadi, mereka bisa mencari kehidupan, bisa mencari uang untuk membantu keluarganya,” katanya.

Permintaan Walman ternyata disetujui sampai akhirnya ada keputusan tahanan PKI dibebaskan. Pembebasan itu bukan tanpa syarat. Mereka diwajibkan membuat surat keterangan kepada polisi dan berjanji untuk tidak berbuat hal-hal yang melanggar ketentuan. Walman menjamin langsung pembebasan mereka.

“Mereka harus membuat surat keterangan ke polisi, saya berpesan pada mereka, jangan macam-macam, sebab yang menjamin kalian saya,” ujarnya. Para tahanan tersebut kemudian kembali ke desanya masing-masing.

Walman mengaku tidak mengetahui secara persis nasib tahanan lain sebelum ia menjabat sebagai Dandim. Semua penangkapan saat itu dilakukan di bawah komando CPM. Saat ia menjabat Dandim di Kapuas, ia mengaku tidak ada tahanan yang dibunuh, hanya ditahan, jumlahnya pun tak banyak. Namun, ia tak ingat persisnya.

Tahanan tersebut kemudian dikirim lagi ke Palangka Raya. Mereka yang ditahan bukan hanya dari kalangan sipil, polisi dan tentara yang diduga terlibat PKI pun ditangkap.

”Ada yang dibunuh, tapi mereka dibawa ke hutan. Saya pun tak tahu dimana lokasinya. Sampai hari ini, tak diketahui berapa yang mati, karena mereka dibunuh dan disembunyikan, dibawa ke hutan,” tuturnya dengan mimik wajah serius.


Teror dan Ketakutan

Peristiwa kelam 49 tahun silam itu masih segar dalam ingatan Sabran Achmad (83). Meski usianya merangkak mendekati satu abad dan berjalan dibantu tongkat, memorinya masih sanggup mengingat sebagian cerita saat itu.

Suasana Kalteng yang relatif damai dan masih tertatih karena baru berdiri sebagai provinsi pada 1957 atau delapan tahun sebelum peristiwa 30 September 1965, berubah mencekam, penuh teror, dan ketakutan.
”Seluruh masyarakat Kalteng tak ada yang tahu (mengenai penangkapan orang-orang yang terlibat PKI dan alasannya), kita sama sekali tak tahu,” kata Sabran mengawali cerita.

Operasi penangkapan orang-orang yang disebut terlibat PKI dikendalikan langsung oleh militer. Sabran yang kala itu masih berusia sekitar 30 tahun, sempat bingung dan heran ketika banyak tentara turun ke jalan. Tentara juga masuk ke rumah orang-orang tertentu dan membawa membawa mereka pergi.

Para tahanan itu kemudian dikumpulkan di gedung-gedung, saking banyaknya. Meski rasa ingin tahunya besar, Sabran yang saat itu menjabat Kepala Kantor Statistik Kodya Palangka Raya tak berani bertanya langsung pada tentara. Ia khawatir disangka menghalang-halangi aparat.

Situasi yang sama juga dialami warga lainnya yang heran dan bingung, serta ketakutan. Tujuan operasi militer itu baru diketahui Sabran beberapa hari kemudian, setelah mendengar melalui siaran radio.

”Beberapa hari kemudian (setelah operasi militer berlangsung), ada berita di radio mengenai penangkapan itu. Ceritanya, bahwa PKI mengadakan pemberontakan dan orang yang ditangkap adalah anggota PKI,” kenang Sabran.

Selain melalui siaran radio, operasi saat itu juga dijelaskan langsung oleh pemerintah melalui bagian penerangan. Militer saat itu benar-benar menguasai keadaan. Tentara siang malam berjaga. Pos-pos penting seluruhnya dikendalikan langsung oleh tentara bersenjata. Situasinya mirip perang. Orang-orang yang mencurigakan langsung diinterogasi.

”Masyarakat takut, karena semua (dikendalikan) militer. Jaga malam saja militer yang mengawasi. Untuk jaga malam, ronda malam, militer yang awasi. Jadi, kalau jalan malam, ya sudah ditanya. Siang saja, kadang-kadang kalau mereka curiga disuruh berhenti, ditanya, lalu kalau salah menjawab ditahan. Mereka mencari anggota PKI itu. Sangat sedih kita melihat kondisi itu, karena kita masyarakat biasa tak tahu,” kata Sabran.

Kuatnya pengaruh militer saat itu membuat warga berusaha sebisa mungkin tak terlibat dan tidak terlihat mencurigakan. Warga juga tak bisa membela tetangga, teman, dan kerabatnya yang ditangkap.

”Kita sulit bertanya, karena kalau mau tanya ada indikasi (terlibat). Kita manut, kita tak ingin ikut campur. Membela mereka yang ditangkap sama sekali tak bisa. Jadi, kita berusaha supaya tak terlibat,” tutur Sabran.

Situasi mencekam dan penuh ketakutan itu berlangsung selama beberapa tahun. Sabran mengingatnya sampai sekitar tahun 1970-an. Selama rentang waktu itu, penangkapan terus berlangsung.

Warga biasa yang tak tahu menahu, hanya bisa menyaksikan dan mendengar adanya penangkapan. Tak ada yang tahu pasti jumlah orang yang ditangkap atau bahkan dibunuh.


Menyisir Desa

Kisah tentara yang memburu anggota PKI juga masih melekat sebagian dalam ingatan Etnan Daniel secara samar-samar. Saat itu ia tinggal di Kuala Kurun, menjadi ajudan seorang pejabat di wilayah itu.

”Hampir semua desa saat itu didatangi tentara. Mereka mencari anggota PKI,” kata Etnan.
Etnan juga pernah menyaksikan langsung sebuah drama penangkapan.

Saat itu, sekitar tahun 1966, ia baru sampai di Palangka Raya melalui sungai menggunakan kelotok. Ia kemudian diajak bermalam oleh kawannya, sopir seorang pejabat di Pemerintah Kodya Palangka Raya, di sebuah rumah. Saat ia melepas lelah, tentara datang.

Etnan tak tahu ada berapa tentara yang saat itu. Mereka langsung membawa sejumlah orang dalam rumah tersebut. ”Yang tersisa di rumah itu cuma saya dan kawan saya itu,” ujar Etnan.

Etnan dan sopirnya hanya bisa bengong dan suasana berubah lengang setelah sejumlah orang dibawa pergi. Keesokan harinya, Etnan langsung buru-buru kembali ke kampungnya di Kuala Kurun.

Etnan tak tahu persis berapa banyak orang yang ditangkap di masa itu. Meski demikian, memori Etnan masih merekam suasana ketegangan saat itu. Masyarakat diliputi rasa takut karena aparat bersenjata terus berkeliaran menyisir anggota PKI. Cerita penangkapan demi penangkapan terus berlangsung. Kedamaian di “Huma Betang” terkoyak selama beberapa tahun. (***/dwi)

Sumber: BlogGunawan 

0 komentar:

Posting Komentar