Selasa, 06 Juni 2017

Menghidupkan Bunyi Ingatan Kekerasan Dalam Narasi Gandrung

6 Juni 2017

“Kakek saya hilang menjadi korban tragedi 65” ungkap Yennu Ariendra membuka pertunjukan. Dari atas panggung, seniman kelahiran Banyuwangi itu tampak memiliki keberanian penuh dalam mengisahkan narasi personal dan domestik. Pada 1968, kakeknya yang diisukan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dijemput 2 orang tentara dan tidak pernah kembali lagi. Peristiwa sejarah kelam dan penghilangan paksa ini, dahulunya “tabu” untuk dibicarakan apalagi kembali diperistiwakan. “Keluarga tertutup dan sensitif. Tapi itu justru membuat saya penasaran,” tuturnya.
Kisah Yennu di atas menjadi penanda awal peristiwa panggung sekaligus gagasan pijakan pertunjukan. Sejak tahun 2008, ia menggali tema sejarah kelam Indonesia ini sebagai di dalam proyek musik kontemporer. Baru kali ini ia berani menguak dan menghidupkan ingatan-ingatan kelam tersebut.
Dimulai dari penggalian narasi personal, lalu menjadi tema sosial melalui simbol budaya Gandrung-Banyuwangi, dan masyarakat Osing sebagai irisan sejarah kelam Indonesia. Seluruh narasi ini menjadi saling menumpuk serupa menara untuk mewujudkan pertunjukan teater musik (Muziktheater) “Menara Ingatan” produksi Teater Garasi/Garasi Performance Institute, dipentaskan (24-25 Mei 2017) di Teater Kecil-Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Foto oleh Amin Mohamad

Gandrung: Musik Yang Hybrid
Usai Yennu mengisahkan secara lisan, giliran bunyi-bunyian yang dinamis  menyusup ke telinga. Sintren gandrung di pertunjukan ini (Silir Pujiwati) muncul dengan tenang di balik pintu, menyenandungkan “Ulan Andung-Andung,” lagu populer dari Banyuwangi. Mengingatkan akan  bulan dan kerinduan dari “kang mas” kekasih yang tak pernah kembali.
Tidak lama kemudian, screen panggung memunculkan teks judul “Podho Nonton”. Atmosfer peristiwa panggung menjadi lebih dramatik dan rasa Gandrung terasa semakin kental. Silir memasangkan topi capingnya, ia duduk dan membenamkan perlahan kakinya di sebuah kotak—gesturenya menyerupai aksi tubuh perlawanan ibu-ibu petani Kendeng dengan mngubur kakiknya di semen.
“Ting…ting…ting…” suara bunyi segitiga besi muncul dari laki-laki bercaping (Gunawan Maryanto). “Kebencian yang tumbuh di lorong-lorong… Semua mengeras hari ini…” teks-teks yang dilontarkan itu mengiringi Silir yang menyenandungkan gending Podho Nonton. Kekerasan, ketidakadilan dan perlawanan yang lalu dan kini serupa saling berkelindan.
Foto oleh Amin Mohamad
Dramaturgi dalam pertunjukan ini meminjam struktur pemanggungan Gandrung Banyuwangi sebagai kesenian yang menjadi pemersatu rakyat Blambangan, terbagi dalam tiga babak: yakni “jejer” (sendiri/berkelompok), “paju” (maju) dan “seblang subuh” sebagai penutup di mana pada pertunjukan asli Gandrung, gerakan penari akan melambat diiringi gending yang bertema kesedihan. Sedangkan Gandrung sebagai irama musik dijelaskan Yennu sebagai sejarah dan identitas yang kompleks, disertai dengan penawaran musik yang lain seperti hip hop, dangdut dan musik-musik perlawanan.
Sebagai komposer yang tumbuh di Banyuwangi sebagai tradisi pesisir timur Jawa, ia menyebut Gandrung sebagai musik yang “hybrid”. Dari semangat tradisi itulah, musiknya menampilkan pertunjukan yang kontemporer dari instrument, lirik, dan tema sosial. Sebanyak 10 komposisi musik dibawakan Yennu berkolaborasi bersama Andi Meinl, Asa Rahmana, Nadya Hatta, dan Silir Pujianti. Komposisi musik digital dan instrumen-instrumen modern seperti keyboard, drum, gitar listrik hingga sebilah lempengan besi yang digesek. Terlihat pula beberapa alat musik tradisi serta alat-alat kerja dan pertukangan seperti palu dan pacul. Beberapa eksperimen bunyi yang dipukul berkali-kali menghasilkan bunyi besi yang mengandung pesan “simbol kekerasan”. Mengimajinasikan korban-korban yang “dihilangkan” oleh besi-besi yang berdentang itu.

Pintu Kekerasan yang Gelap dan Samar
Tiga pintu di atas panggung sebagai pilihan artistik utama, menyiratkan pula pesan yang kuat. Para aktor berkaos putih lusuh, bercelana hitam, muncul dan tenggelam di antara pintu. Mereka mengetuk pelan dengan kepala tertunduk, masuk keluar, mengintip, saling menaiki hingga menghadirkan rekonstruksi kekerasan melalui kain putih yang terbentang dan bayang-bayang kekerasan di balik layar pintu “jangan berhenti sebelum aku mati”.
“Keluarga korban 65 mencari anggota keluarganya yang dibawa pergi aparat. Mereka mencari dari penjara ke penjara, dari pintu ke pintu kantor aparat,” ungkap Dendi Madiya, salah satu performer.
Usai Orde Baru runtuh meski tak sepenuhnya dan keran reformasi dibuka, pintu sejarah kelam yang tertutup rapat ini mulai satu persatu menunjukkan kebenaran. Pengolahan isu dalam pertunjukan ini yang diwakili Banyuwangi tak hanya soal 1965. Ada pula peristiwa dari 1980 hingga akhir 1990-an. Dari korban petrus, dukun santet, isu ninja, hingga melompat pada kerajaan Blambangan sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Raja Minak Jingga yang menjadi musuh besar Majapahit, suku Osing yang bermakna “tidak” dan berani melawan, kekuatan dan kekuasaan VOC, hingga Mataram Islam. Mitos dan realitas seperti begitu gelap dan samar-samar.
Selain pintu, topeng kepala-kepala anjing yang digunakan oleh empat aktor mengiringi “Koplo/Dump: Sewulan Maning” dalam goyangan di dalam suasana begitu riuh seperti diskotik. Topeng ini juga digunakan sebagian penonton, menjadi simbol atas mitos dari raja Osing Minak Jingga yang digambarkan dengan kepala anjing, berkaki pincang hingga simbol aparat.

Foto oleh Amin Mohamad
Menyaksikan pertunjukan teater musik Menara Ingatan berdurasi kurang lebih 1 jam ini terasa panggung yang begitu riuh, kaya akan penawaran bunyi dan simbol-simbol yang sebenarnya cukup mudah untuk ditafsirkan. Perlawanan yang disuguhkan terlihat sangat kentara dengan pasar teks seperti dalam musik “NO – TIDAK – OSING” ketika hampir seluruh pemain dan musisi membawa teks perlawanan.
Dengan atmosfer keriuhan yang lebih besar dalam karya kolektif dan kolaboratif lintas disiplin seni ini, pertunjukan terasa kurang memberikan ruang kontemplatif yang lebih mendalam dan imajinatif menyoal sejarah kelam. Padahal, merenungkan ingatan dan luka membutuhkan jeda-jeda ruang keheningan.
Keheningan ini muncul di akhir pertunjukan terutama dalam Seblang Lokento dan Sabuk Mangir (Javanese old spell for love) ketika beberapa gulungan tikar yang di dalamnya serupa berisikan mayat korban jatuh berdebam di atas panggung. Tak lama kemudian, penari Seblang (Sri Qadariatin) bergerak dengan limbung. Dua keris digenggamnya dan saling bergesekan. Seblang sendiri merupakan tradisi ruwatan dan kesenian sakral menolak bala di Banyuwangi. Penari seblang itu mengacungkan kedua keris, serupa Osing yang berkata “tidak”, menolak untuk kalah dan tak berhenti melawan.
*** 
Ratu Selvi Agnesia, Pengamat Teater dan Penulis Seni Budaya
Sumber: Indonesian Dance Festival 

0 komentar:

Posting Komentar