Sabtu, 10 Juni 2017

Jejak Pembantaian Anggota Partai Terlarang di Kalteng [4]

Luka dan Nestapa Berkepanjangan
Oleh: Gunawan

Menulis kembali peristiwa sejarah melalui cerita lisan bukan pekerjaan mudah. Perlu kecermatan dan kehati-hatian mengingat kejadiannya sudah berlangsung puluhan tahun.

Selain saksi hidup peristiwa itu yang rata-rata sudah berusia senja dan tak ingat persis kejadian puluhan tahun silam, akses informasi yang sangat terbatas pada masa itu juga menjadi hambatan menghasilkan kisah masa lalu yang seratus persen akurat.

Merekonstruksi sejarah tak semudah membalik telapak tangan, apalagi ketika peristiwa itu berhubungan dengan sebuah tragedi kemanusiaan yang puluhan tahun berusaha disembunyikan dan dikubur dalam-dalam.

Perburuan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasinya setelah 30 September 1965 atau disebut Gestapu adalah bagian dari sejarah yang selama puluhan tahun berusaha disembunyikan itu.

Orang-orang yang hidup dan besar di zaman Orde Baru, pasti hapal betul, bahwa setiap tahun, setiap 30 September diputar film mengenai pemberontakan PKI yang disebut sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau disingkat G30S/PKI. Begitu pemerintah yang berkuasa saat itu menyebutnya.

Saya sendiri masih ingat persis bagian-bagian penting dari film berdurasi empat jam lebih itu. Rasa-rasanya, hampir setiap tahun film itu tak pernah saya lewatkan melalui televisi hitam putih ukuran 14 inchi, yang listriknya masih disuplai tenaga accu. Saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), kerap geregetan dengan tindakan dan kekejaman PKI yang dilakoni para aktor dan aktris itu.

Sejarah mengenai peristiwa 30 September 1965 juga saya terima di bangku sekolah. Guru saya, mulai dari SD hingga sekolah menengah atas (SMA), menyampaikan latar belakang dan sepak terjang PKI di Indonesia sampai akhirnya PKI dilarang berdiri dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dihukum dan dipenjara.

Itulah sejarah versi pemerintah saat itu. Selama beberapa tahun saya hidup dalam sejarah yang disampaikan secara sepihak oleh pemerintah Orde Baru. Sampai akhirnya, setelah gerakan reformasi meletus pada 1998, sedikit demi sedikit, tabir gelap sejarah itu mulai terkuak. Orang-orang yang tadinya takut menyampaikan peristiwa itu, mulai berani tampil.

Sejumlah pakar sejarah dan saksi hidup, dalam berbagai komentar di media massa atau buku, sepakat bahwa kejadian setelah Gestapu merupakan peristiwa sejarah yang harus diungkap, tidak dikubur dan dibiarkan berlalu begitu saja. Generasi penerus bangsa ini harus mengetahui lembaran kelam itu sebagai bagian dari sejarah bangsa, meski teramat menyakitkan.

***

Sekitar sebulan lalu, dalam sebuah perbincangan kecil dengan Pemimpin Redaksi Surat Kabar Harian Radar Sampit, Duito Susanto, kami membahas mengenai rencana liputan yang akan digarap. Salah satu liputan yang menarik yang bisa digarap adalah mengenai peristiwa setelah 30 September di Kalteng.

Ini menjadi tantangan bagi tim redaksi mengingat peristiwa itu cukup sensitif dan berisiko. Saya kemudian mulai mencari referensi. Meski peristiwa setelah Gestapu sudah pernah saya baca, referensi lain dari berbagai sumber perlu saya dapatkan.

Beruntung, kita sekarang hidup di zaman internet yang mudah diakses. Hanya dengan mengetikkan sebuah kata kunci, kita tinggal memilih artikel atau tulisan mana yang bisa dijadikan acuan.

Cukup culit menemukan referensi tulisan mengenai perburuan anggota PKI di Kalteng. Kalau pun ada, informasinya terbatas dan ceritanya sepotongsepotong, misalnya, mengenai Janti Saconk, Wali kota Palangka Raya pertama yang hanya 30 hari menjabat, atau para buruh beberapa proyek pembangunan yang menyembunyikan diri pada masa itu. Selebihnya, tak ada sama sekali.

Bisa dimaklumi, mengingat peristiwa itu merupakan sejarah kelam Orde Baru yang ingin dikubur selamanya dari ingatan orang-orang. Akhirnya saya banyak mengambil referensi tulisan peristiwa setelah Gestapu yang terjadi di daerah lain.

Awalnya, liputan disepakati hanya difokuskan pada situasi saat itu dengan mewawancarai sejumlah tokoh yang menjadi saksi hidup. Dalam sebuah rapat redaksi, seorang redaktur senior mewanti-wanti agar memahami betul latar belakang liputan ini, mengingat isunya sangat sensitif. Jangan sampai ketika berita diturunkan, justru menuai masalah.

Liputan yang sebelumnya disepakati hanya fokus pada situasi setelah Gestapu, tak menyentuh peristiwa penangkapan dan pembunuhannya, ternyata tak sesuai rencana. Peristiwa setelah Gestapu tak bisa dilepaskan dari penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh terlibat PKI. Sejumlah sumber yang saya temui memastikan hal itu.

Sabran Achmad, misalnya, tokoh yang juga ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng. Kemudian Walman Narang, mantan Komandan Kodim di Palangka Raya sekitar tahun 1970-an. Dua minggu sebelum laporan ini diturunkan, saya berangkat ke Palangka Raya.

Sejumlah sumber yang akan diwawancarai sudah dipetakan. Awalnya, saya mengira akan mudah menemui dan menggali keterangan dari narasumber itu. Ternyata cukup sulit, apalagi usia mereka yang sudah uzur. Misalnya, saya harus dua kali mendatangi kediaman Sabran Achmad di Jalan Piere Tendean.

Di hari pertama, Sabran tak bisa ditemui karena sedang istirahat setelah mengikuti rapat di kantor Gubernur Kalteng. Saat itu sekitar pukul 16.00 WIB. Sebelumnya, pagi sekitar pukul 09.00 WIB saya juga sempat menyambangi rumahnya, namun gagal karena tak ada seorang pun yang membukakan pintu meski sudah saya ketok berulang kali. Baru dua hari setelahnya saya bisa berjumpa Sabran.

Demikian pula dengan Walman Narang. Saya harus dua kali mendatangi pria berusia 86 tahun ini. Di hari pertama, Walman sedang istirahat karena baru pulang dari Kantor Gubernur Kalteng untuk menghadiri rapat juga. Hanya sang anak, Ros Narang yang saya
temui.

”Bapak sedang tidur, kamarnya dikunci. Kayaknya kecapekan setelah pulang dari kantor Gubernur. Kalau mau besok saja, tapi telepon saya dulu untuk memastikan apakah Bapak siap diwawancara atau tidak,” katanya.

Beruntung keesokan harinya ternyata Walman siap diwawancara. Dari dua narasumber itu, hanya Etnan Daniel, yang mudah ditemui, meski awalnya saat saya mengutarakan tema wawancara mengenai peristiwa seputar Gestapu, ia tak yakin bakal bisa menjawab semua pertanyaan karena tak terlalu ingat persis kejadian saat itu. Namun, samar-samar peristiwa itu masih melekat dalam ingatannya, meski hanya sebagian kecil.

Sumber lainnya yang cukup penting, namun gagal saya temui adalah TT Suan. Sayang, mantan jurnalis ini tak bisa saya mintai keterangannya karena mengaku tak ingat lagi peristiwa itu.

”Sudah lama sekali kejadiannya, saya sudah tak ingat. Kepala saya juga agak pusing, wawancara dengan (narasumber) yang lain saja,” katanya.
Narasumber lain yang berhasil saya gali keterangannya, meminta nama mereka disamarkan. Melalui kesepakatan itu, mereka bersedia keterangan dimuat. Ada dua narasumber yang namanya disamarkan.

Sumber pertama adalah orang yang berkaitan dengan peristiwa itu dan sumber kedua adalah salah seorang keluarga jauh mantan tahanan politik yang sempat dipenjara beberapa tahun dan nyaris dibunuh.

Meski bahan liputan sudah diperoleh, tak bisa langsung ditulis begitu saja. Liputan mengenai peristiwa sejarah lisan berbeda dengan liputan biasa. Keterangan sejumlah sumber tadi perlu diverifikasi lagi dengan sejarah dan dokumen saat itu. Selain itu, keterangan berbagai sumber itu juga harus dicari benang merahnya yang saling berkaitan.

Laporan khusus mengenai perburuan anggota PKI setelah peristiwa Gestapu ini hanya menyingkap sebagian kecil dari peristiwa besar saat itu. Saya yakin, ada kisah dan sejarah lainnya dari sudut pandang yang berbeda. Namun, setidaknya, dari keterangan sumber yang mau berkomentar, sudah membuka sedikit tabir tragedi kelam itu. Kita patut berterima kasih pada mereka.

***

Peristiwa setelah Gestapu sangat tabu dibahas pada masa Orde Baru. Tak seorang pun yang berani membuka lembaran catatan hitam itu. Dalam ingatan sebagian besar orang sebelum jatuhnya orde baru pada 1998, jika ditanya soal Gerakan 30 September 1965, pasti sepakat menyebut Gestapu sebagai peristiwa pemberontakan PKI yang ingin menggulingkan negara.

Dalam konteks Kalteng, cerita mengenai tahanan politik dan orang-orang yang dituduh PKI dan dibunuh, hanya beredar dari mulut ke mulut. Kisah orang-orang yang pernah ditahan atau ada keluarganya yang hilang, hanya turun temurun diceritakan dalam lingkungan keluarga, untuk anak cucu. Tak ada yang berani berbicara dan tampil ke publik secara terang-terangan.

Rasa malu, takut, dan stigma negatif yang ditanamkan pemerintah Orde Baru bertahan hingga sekarang. Jika membaca catatan sejarah dari berbagai versi berbeda, peristiwa seputar Gestapu sendiri masih menjadi misteri dan kontroversi.

Pun demikian dengan berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya, misalnya mengenai keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966, enam bulan setelah peristiwa Gestapu.

Catatan sejarah lainnya juga mengungkap adanya peran PKI yang lebih dulu memanas-manaskan situasi. Namun, semua masih jadi misteri yang terus diperdebatkan. PKI hingga kini masih menjadi partai atau organisasi terlarang di Indonesia. Itu mengacu pada Tap MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang, di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Keputusan tersebut masih berlaku meski pernah diusulkan dicabut di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hermawan Sulistyo, penulis buku ”Palu Arit di Ladang Tebu”, dalam sebuah wawancara dengan wartawan mengatakan, ”Kita tidak bisa melakukan anakronisme sejarah. Tidak bisa menggunakan parameter-parameter ukuran sekarang untuk menilai masa lampau. Soeharto yang jahat sekarang ini, tidak boleh dipakai untuk menilai Soeharto pada tahun 1965-1966. Tidak ada bukti keterlibatan Soeharto pada tahun 1965-1966, dan pada peristiwa G30S-nya itu sendiri. Satu-satunya (bukti) yang dielaborasi, hanya pertemuan antara Soeharto dan Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.”

Menurut Hermawan, dulu semua versi pemerintah menuliskan bahwa PKI adalah dalang dari peristiwa Gestapu. Sebaliknya, dari versi orang-orang PKI, mereka bilang mereka hanya kambing hitam, tentaralah yang punya konflik.

”Bagi saya jelas sekali. Yang diculik tentara, yang menyulik tentara, jadi jelas ada keterlibatan tentara. Artinya, versi tentara itu tidak benar. Tapi omong kosong juga kalau PKI tidak terlibat. Kalau kita baca seluruh teks pleidoi mereka yang diadili, mereka mengatakan, Ya, kami ikut tapi bukan partainya, hanya sebagian orang di Politbiro dan CC PKI,” kata Hermawan.

Meski masih banyak tabir gelap dari sejarah itu, peristiwa yang diyakini terjadi adalah pembunuhan massal yang terjadi setelah Gestapu. Sejumlah ahli sejarah sepakat mengenai peristiwa ini. Pembongkaran kuburan massal yang dilakukan setelah Orde Baru tumbang dilakukan di sejumlah daerah.

Pada tahun 2000, penggalian terhadap kuburan massal eks peristiwa 1965 di hutan Situkup, Desa Kempes, Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, berhasil menemukan 24 kerangka manusia. Kuburan massal eks peristiwa Gestapu juga diyakini ada di Kalteng.

Namun, tak ada catatan atau dokumen sedikit pun mengenai hal itu. Penelitian atau pencarian terhadap kuburan massal tersebut tak pernah dilakukan, sehingga hal itu seolah hanya menjadi sekadar isu karena tak didukung bukti-bukti kuat, hanya berupa sejarah lisan dan dugaan.

Bahkan, di beberapa daerah, adanya kuburan massal eks peristiwa 1965 ditentang keras pemerintah setempat, Aceh misalnya.

***

Laporan khusus yang diberi judul ”Tragedi September Kelabu” ini bukan bermaksud mengorek kembali luka lama, menyinggung pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan peristiwa 49 tahun silam itu. Karya jurnalistik ini hanya sebuah bahan bagi kita untuk merenung kembali, melihat ke belakang, dan tidak melupakan sejarah meskipun pahit.

Sejarah kelam harus tetap dikenang sebagai pelajaran agar tak terulang lagi di masa depan. Mungkin, dari sekitar dua juta lebih rakyat Kalteng saat ini, masih ada eksekutor para tahanan yang masih hidup, yang ingin mengubur dalam-dalam kisahnya dari dunia luar.

Saya atau Anda, bukan orang yang berhak menghakimi mereka. Mungkin juga, masih ada bekas tahanan politik oleh militer pada masa setelah 1965 atau orang yang berhasil melarikan diri dan tak tertangkap karena terlibat atau dicurigai PKI, yang sampai sekarang masih hidup dan menutup rapat-rapat kisah itu. Kita harus memahami itu sebagai kondisi psikologis yang tercipta setelah puluhan tahun hidup dalam ketakutan yang menyiksa.

Catatan hitam setelah Gestapu harus menjadi pelajaran bagi siapa pun, terutama pemimpin-pemimpin negeri ini untuk menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan menghormati rakyatnya sebagai manusia yang derajatnya sama di mata Yang Kuasa.

Jangan lagi rakyat dikorbankan hanya untuk kepentingan para elite. Satu tetes saja darah rakyat yang mengalir akibat pemimpin yang hanya mementingkan harta dan kekuasaan, akan menjadi luka dan nestapa yang berkepanjangan. (gunawan@radarsampit.com)
 Sumber: BlogGunawan 

0 komentar:

Posting Komentar