Jumat, 23 November 2018

Kennedy Dibunuh, Soekarno Lengser, Freeport pun Deal

Penulis: Erik Hariansah - Jumat, 23 November 2018

“Kennedy berpikiran progresif. Ketika aku membicarakan masalah bantuan kami, dia mengerti. Dia setuju. Seandainya Presiden Kennedy masih hidup, tentu kedua negara tak akan berseberangan sejauh ini,” itulah kata-kata Soekarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams mengenang kematian John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-35 yang tewas ditembak pada 22 November 1963.
John F. Kennedy memang salah satu sahabat dekat Soekarno. Kedua pemimpin ini cocok bergaul. Lantaran itu pula hubungan Indonesia dan Amerika Serikat membaik setelah sempat renggang pada masa Presiden Eisenhower.

Saat Soekarno datang ke Amerika Serikat, John F. Kennedy

menyambutnya dengan hangat dan memberinya helikopter sebagai kenang-kenangan. John F. Kennedy pun berjanji akan mengunjungi Indonesia pada 1964. Merespon itu, Soekarno bahkan membangun sebuah paviliun khusus di Istana Negara untuk menjadi tempat John F. Kennedy menginap saat di Jakarta. Namun sayang, John F. Kennedy tidak pernah menempati bangunan itu, karena keburu ditembak.

Sebagian pihak menilai pembunuhan John F. Kennedy penuh nuansa politis. Apakah pembunuhan terhadap John F. Kennedy ini ada hubungannya dengan politik penggalian emas PT. Freeport?

Lisa Pease membeberkan dalam artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” di Majalah Probe 1996. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC.

Freeport ternyata sudah lama mengincar Papua. 
Tahun 1959, Perusahaan Freeport Sulphur nyaris bangkrut karena tambang mereka di Kuba dinasionalisasi oleh Fidel Castro. Dalam artikel itu, disebut berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.

Di tengah kondisi perusahaan yang terancam hancur itu pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur menemui Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

John F. Kennedy bersama Soekarno. Foto: matamatapolitik.com

Gruisen bercerita dirinya menemukan laporan penelitian di Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Disebutkan tembaga di gunung ini tak perlu susah-susah digali, tinggal meraup, karena berada di atas tanah.

Wilson tertarik dan mulai mengadakan survei ke Papua. Dia setengah gila kegirangan karena menemukan gunung itu tak hanya berisi tembaga tapi juga emas. Ya, Wilson menemukan gunung emas di Papua.

Tahun 1960, suasana di Papua menjadi tegang. Soekarno berusaha merebut Papua dari Belanda lewat operasi militer yang diberi nama Trikora. Freeport yang mau menjalin kerjasama dengan Belanda lewat East Borneo Company pun belingsatan. Kalau Papua jatuh ke Indonesia bisa runyam urusannya. Mereka jelas tak mau kehilangan gunung emas itu.

Wilson disebutkan berusaha meminta bantuan John F. Kennedy. Tapi, tentu Presiden Amerika Serikat itu malah kelihatan mendukung Soekarno. John F. Kennedy pula yang mengirimkan adiknya Bob Kennedy untuk menekan pemerintah Belanda agar tak mempertahankan Papua. John F. Kennedy juga yang mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa menurut.

Kontrak Freeport pun buyar. Apalagi Soekarno selalu menolak perusahaan asing menancapkan kaki mereka di Papua. Pada perusahaan minyak asing yang sudah kadung beroperasi di Riau, Soekarno meminta jatah 60 persen untuk rakyat Indonesia.

Kekesalan mereka bertambah, John F. Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta Dollar Amerika Serikat dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia.

Sebutir peluru menghentikan langkah John F. Kennedy. Kebijakan presiden Amerika Serikat pengganti John F. Kennedy yang dijabat oleh Lyndon Baines Johnson langsung bertolak belakang. Indonesia pun makin jauh dari Amerika Serikat dan Indonesia semakin mesra dengan Uni Soviet di Blok Timur yang bernuansa Komunis.

Tragedi Gerakan 30 September 1965 menghancurkan Soekarno. Dia yang keras menolak modal asing, digantikan oleh Soeharto.

Setelah dilantik, Soeharto segera meneken pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.

Ironisnya, pemerintah Indonesia hanya dapat jatah 1 persen. Kontras sekali dengan apa yang diperjuangkan Soekarno.

Sumber: sejarahri.com
Attoriolong.Com 

0 komentar:

Posting Komentar