Kamis, 08 November 2018

Laut


1

Saduran adaptasi novel "The Old Man and the Sea" karya Ernest Hemingway



Cahaya fajar merambat di antara celah kabut subuh yang mulai transparan. Si Nelayan tua dengan nafas yang melenguh. Terus mendaki ketinggian dataran di atas pantai berpasir yang melandai.

Di kejauhan tersandar perahunya, sehabis bertarung dengan deru arung ombak yang berdebur berkesinambungan. Sejenak ia menatap jauh kesana. Sampai kesebalik ujung batas garis cakrawala. Di atas permukaan laut yang samar melangut.

Ia telah melampawi suatu fase dalam salah satu pengalamannya. Selaku daya juang manusia yang tangguh.. Bukan hanya melalui pertarungan yang keras dan sengit melawan alam. Dengan gelombang ombak yang menerjang tanpa ampun. Tapi juga terutama bergulat menghadapi mahluk-2 buas yang ganas merajai lautan.

Ketika, di tengah lautan hampir sepanjang hari. Umpan di mata kailnya lama tak tersentuh. Tiba-2 tersambar dan direnggut dengan kencang oleh seekor ikan Todak yang besar.

Nah, dari sanalah dimulai pertarungan di antara dua mahluk yang berbeda. Sepercik darah muncrat dari mulut ikan tangkapan yang terluka oleh mata kail. Telah mengundang sebagai pemicu. Segerombolan ikan hiu ganas memburu sang korban dalam pesta pembantaian yang dahsyat. Di antara mereka, selaku mahluk sejenis.

Mau tak mau si nelayan tua terpaksa turun tangan untuk bergabung dalam pertarungan segi tiga. Dengan mengandalkan sebilah dayung yang tergenggam di tangan kekarnya. Untuk menggempur ikan-2 hiu lapar yang semakin lama kian mengganas memangsa sang korban.

Kini, setibanya di ketinggian pantai. Matahari terbit yang berkelindan di antara arakan kabut subuh yang kian menipis. Nafas si nelayan tua yang terengah berdengus perlahan. Sambil berjalan menghela tarikan tali dibahunya. Yang terhubungkan kemoncong seekor ikan laut yang tinggal kerangka.

Seiring dengan sinar matahari pagi yang memancar terang benderang. Si Nelayan tua, bagaikan sosok manusia perkasa, berdiri di pantai. Tegak menjulang menggapai langit cerah.

Hatinya jauh dari rasa kesal dan kecewa. Betapapun ikan tangkapannya hanya tinggal kerangka tulang-belulang. Tak apa! Untuk santapan menu sarapan pagi bersama keluarganya yang menunggu di rumah. Telah menjadi masa lalu.

Ia kini tinggal sebatang kara. Karena ketika ia sedang melaut, semua keluarga termasuk bini dan anak-2nya. Telah menjadi korban tenggelam dalam lumpur dari peristiwa gempa dan tsunami di Palu dan Donggala.

Bahkan kini ia disebalik kebanggaan berpikirnya. Bahwa ia sadar, manusia sebagai mahluk alam species terting gi yang telah ditakdirkan. Mau tak mau senantiasa hidup diuji terus menerus secara simultan. Melawan berbagai tantangan apapun, di manapun dan kapanpun.
Untuk menjadi mahluk pemenang yang tak terkalahkan....

2


Ia menitikkan air matanya sambil tersedu. Dihadapannya duduk serombongan keluarga korban peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di perairan Tanjung Karawang. Banyak di antara tamu lainnya ikut berkaca-kaca sepasang matanya. Terbenam dalam suasana duka-cita yang lirih.

"Kami bertekad bulat terus mencari! Sedaya upaya dan kemampuan kami yang ada terhadap korban tersisa lainnya", sambil menghapus airmatanya, ia berkata terbata-bata. Para tamu yang banyak, membiarkan saja ia terhenti berbicara. Lama terdiam. Bahkan sampai beranjak diri pergi meninggalkan ruangan.

Dia adalah Kepala Basarnas Marsdya, Muhammad Syaugi. Telah memimpin Tim Gabungan dalam pencarian para jenazah korban. Di antara reruntuhan pesawat yang pecah berkeping-keping. Remuk tercerai berai di area sekitar radius 500 meter. Di perairan laut Tanjung Karawang Jawa Barat.

Pesawat jatuh dalam keadaan kecepatan tinggi. Menukik tercebur di atas permukaan laut. Sehingga menurut para pakar, kehancuran pesawat justru pada saat itu. Ketika terbentur air laut yang menjadi keras. Jadi bukan karena meledak diudara.

Dengan mengorbankan 189 nyawa manusia. Terdiri dari para penumpang dan crew pesawat. Tanpa segelintir orangpun yang hidup selamat. Suatu tragedi kecelakaan pesawat yang paling mengenaskan. Di antara sekian peristiwa musibah semacam itu yang pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.

Terasa di bawah pemerintahan Jokowi, perhatian dan kepedulian atas musibah kecelakaan pesawat ini sedemikian besar. Medsos, media cetak dan elektronik, seperti TV. Meliput dan menayangkan breking-news secara reguler di waktu yang panjang. Di setiap hari selama berminggu'minggu.

Drama kemanusiaan yang krusial justru berkelindan merasuki ranah lingkungan mereka yang masih hidup. Ketimbang dengan nasib para korban 189 nyawa yang telah mati tersebut, bebannya menjadi nol total. Kecuali pencarian identifikasi nama-2 mereka untuk diketahui dan didaftarkan bagi keluarganya.

Seperti yang menimpa dan mendera nasib seorang aparat birokrasi pemerintahan bernama Syaugi. Yang menangis tersedu, ketika dibebani tugas dan tanggung jawab memimpin tim SAR gabungan. Untuk mencari 189 jenazah korban yang telah hancur terpencar dalam keadaan relatif tak utuh lagi. Berada terpendam di bawah lumpur dikedalaman dasar laut sekitar 35 hingga 40 meter.

Selaku aparat negara dengan perangkat mekanisme yang teratur secara reguler. Koordinasi tim pelaksanaan kerja yang terbantu oleh tehnologi relatif berkwalitas tinggi dan canggih. Ia mungkin laksana mesin robot yang dapat bergerak cepat secara dinamis tanpa banyak kendala. Dalam menghadapi tantangan tehnis di lapangan. Betaoa rumitnya sekalipun.

Namun, sebagai pribadi manusia yang punya kepekaan perasaan kemanusiaan. Iapun rentan meneteskan airmata tersentuh kesedihan. Tentu perasaan pak Syaugi tak hanya terharu oleh para keluarga korban yang berduka karena rasa kehilangan yang dalam. Namun terutama juga ketika beliau menyaksikan dan mengkhayati secara langsung di saat-2 berada di lokasi lapangan. Apa yang terjadi?

Bayangkan! Setiap hari di siang dan malam, mereka menerjuni dan menyelam dikedalaman laut yang penuh misteri. Menelusuri dan mengais sosok jenazah yang sudah terkeping-keping. Menjadi daging bangkai yang terpotong-potong secara terpencar dan terpisah. Di antara timbunan lumpur dan puing-2 serpihan rongsokan pesawat yang rusak dan hancur lebur.

Terpaksa mereka mengumpulkan potongan-2 tubuh manusia yang terserak kedalam kantong-2 plastik. Untuk kemudian diidentifikasi melalui prosesi secara khusus yang tentu saja lebih rumit.

Sehingga dengan demikian secara manusiawi adalah wajar. Jika kandungan airmata Pak Syaugi juga digenangi oleh suatu rasa depresi kelelahan psikis yang berat, tak terhindarkan. Bahwa rutinitas tanggungjawab kerja memimpin tim SAR gabungan yang kompleks semacam itu. Ternyata bukan berarti dapat menghilangkan rasa trauma kemanusiaan yang menyentuh.

Inilah yang mungkin dirasakan oleh seorang humanis Syaugi. Yang kebetulan membidangi Tim SAR kelautan. Selaku pimpinan elit birokrat pemerintahan demokratis Jokowi.

Pertanyaan akhir kita. Dimanakah berada rasa moral kemanusiaan seperti yang dimiliki pak Syaugi. Terhadap para jenderal AD, di bawah rezim otoriter Orde Baru. Ketika mereka terlibat dalam pembantaian massal (genosida) di peristiwa '65 ?

Konteks latar belakang sikonnya memang berbeda. Tapi dapat dipastikan. Jikapun ada jenderal yang berjiwa semacam pak Syaugi. Berada di bawah naungan sistem kekuasaan rezim fasis yang reaksioner. Maka ia akan menjadi jenderal yang tiarap, munafik, dipindah 4tugaskan atau menjadi korban pemecatan tidak hormat. Itu sudah lazim diberlakukan. Tapi yang terjadi dalam sejarah. Ada yang menonjol, malah adalah sebaliknya.....

Sumber: Misbach Tamrin 

0 komentar:

Posting Komentar