Sabtu, 17 November 2018

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad'


Sabtu, 17 Nov 2018 17:21 WIB  ·   Tia Agnes

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Jakarta - Menonton untuk ketiga kalinya pementasan 'Bunga Penutup Abad' tak akan membuat penonton mati kebosanan. Akhir pekan ini, Titimangsa Foundation kembali menggelar pertunjukan 'Bunga Penutup Abad' yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer.

Durasi sepanjang 3 jam lamanya menghadirkan alur maju-mundur dari tiga karakter rekaan dalam novel Tetralogi Pulau Buru. Ada Nyai Ontosoroh (Marsha Timothy) yang dicap sebagai gundik namun memiliki pemikiran terbuka tentang kekuasaan dan isu perempuan.

Ada Minke (Reza Rahadian) sosok pribumi yang cerdas dan jatuh cinta pada perempuan Jawa-Belanda bernama Annelies Mellema (Chelsea Islan). Di kehidupan mereka, ada Jean Marais (Lukman Sardi), sahabat Minke yang memiliki seorang putri tunggal May Marais (Sabia Arifin).

Surat demi surat berdatangan ke rumah Nyai Ontosoroh di Surabaya sejak kepergiaan Annelies ke Belanda. Panji Darma yang rajin menuliskannya, Minke dan Nyai pun mendengarkan cerita perjalanan orang terkasihnya tersebut meski dalam hati keduanya merasa sedih atas ketidakadilan ini.

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics
"Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," ujar Nyai Ontosoroh kepada Minke usai membacakan sepucuk surat. 
Satu minggu berlalu sejak kepergian Annelies, rumah besar Nyai tampak sepi dan redup. 
 "Seminggu sudah jadi tahanan rumah. Pergilah jalan-jalan, nak. Mencari angin, terlalu lama tersekap membuat kau tampak muram," ucap Nyai pada Minke. 
Cerita pun mundur pada pertemuaan awal Minke di rumah Annelies. Setiap hari Minke kerap memandangi potret dari Ratu Belanda yang cantik. Tapi seorang sahabatnya mengatakan, ada dewi yang kecantikannya mengalahkan perempuan manapun di Hindia Belanda.

Awal perjumpaan yang berbekas membuat Minke bekerja di perusahaan milik Tuan Mellema yang dipimpin oleh Nyai Ontosoroh. Satu per satu rahasia keluarga Mellema dan kebobrokan Eropa terkuak. Selama ini pula Minke selalu membela Eropa, mengagung-agungkannya, dan kerap menulis dalam Bahasa Belanda. 


Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Keahlian menulis Minke dipuji oleh Nyai Ontosoroh. Di salah satu adegan, Nyai Ontosoroh mengaku menyayangi Minke bukan sebagai menantunya saja tapi anaknya sendiri. 
"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari," ujar Nyai Ontosoroh. 
Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Di tengah kepergian Annelies yang membuat Minke sedih, Jean Marais melukis sebuah potret tentang sosok pujaan Minke. Kisah hidup Nyai Ontosoroh dan Annelies membuka fakta menyedihkan tentang ketidakadilan.

Dalam setiap surat, kalimat, dan kata-kata yang memuat perjalanan Annelies dan Panji Darma, Minke dan Nyai Ontosoroh selalu mempertanyakan di mana letak keadilan.
 "Kekuatan yang kita miliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti: Tuhan tahu bahwa kita telah berusaha melawannya."
Energi Baru Nyai Ontosoroh

Hadirnya Marsha Timothy menjadi sosok Nyai Ontosoroh menggantikan Happy Salma sukses memberikan warna dan energi baru. Nyai Ontosoroh tak lagi dimiliki Happy Salma maupun Sita Nursanti semata. Namun Marsha membawakannya secara totalitas. Tanpa jeda satu kesalahan sekalipun, tanpa salah dialog, maupun penghayatan yang terasa hambar. 


Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Proses latihan Marsha selama 4 bulan lamanya berbuah manis. Penonton dapat merasakan getirnya hidup Nyai Ontosoroh dalam kata-kata yang diucapkan Marsha, tentang keadilan yang tak bisa diraihnya, kasih sayang kepada Annelies yang tak pernah memandang sebelah mata terhadap pribumi maupun lingkungan di Pulau Jawa, Hindia Belanda.

Nyai Ontosoroh bertransformasi dalam setiap gerak-gerik Marsha di atas panggung. Pengunjung tak lagi memandang Marsha sebagai seorang Ida Nasution (Perempuan Perempuan Chairil) dan Marlina (Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak).

Perpaduan Marsha bersama Reza Rahadian pun ibarat kopi hitam yang dicampur dengan gula, pas rasanya. Tak manis, tak juga terlalu pahit. Lukman Sardi memainkan Jean Marais pun bak seorang seorang pria yang sudah tinggal lama di Prancis.

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Di antara 'tanpa cela' tersebut, ada beberapa penggambaran akting Chelsea Islan yang terlihat terlalu berlebihan sebagai Annelies. Dari bangku penonton, terdengar celetukan dan tawa ketika Annelies bersikap 'terlalu manja'. Meski begitu, di akhir kehadiran Annelies penonton terenyuh dengan kesedihan yang dialami.

Dengan setting sederhana dan empat ruang yang dibagi, 'Bunga Penutup Abad' menjadi salah satu pertunjukan teater yang menghibur di penghujung tahun. Dipenuhi unsur multimedia, masih ada salah teknis dan perpindahan adegan yang terkesan 'kasar' tapi hal tersebut bisa tertutup serta diampuni sementara waktu.

Dipentaskannya 'Bunga Penutup Abad' membuka kembali kenangan akan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Seperti kata produser Happy Salma,   
"Mengadaptasi karya sastra ke atas panggung teater butuh usaha dan jerih payah yang tak henti."

0 komentar:

Posting Komentar