Rabu, 12 Februari 2020

Catatan Testimoni Penerjemahan Petani dan Seni Bertani

12 Februari pukul 11.09 | Ciptaning Larastiti 



Sebuah kebanggaan bagi saya ikut terlibat dalam penerjemahan Seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria. Proses penerjemahannya sendiri berlangsung selama 4-5 bulan. Namun, butuh waktu hampir empat tahun untuk memastikan buku ini nyaman dibaca dan layak diterbitkan.
Di dalamnya ada kerja keras banyak pihak, terutama penyunting ahli: Pak Ben dan Mba Laksmi dan tim editor INSISTPress ada Udin, Bang Hadi, Bang Marsen.

Bagi saya, penerjemahan Buku Petani dan Seni Bertani merupakan proses belajar yang berharga. Mau tidak mau, saya dituntut memperhatikan detail kata per kata, sembari memahami konsep yang dinarasikan Van der Ploeg. Pada proses ini, saya dibantu pengalaman penelitian sebelumnya. Saat menerangkan konsep “aliran nilai”, Van der Ploeg menggunakan ilustrasi tentang lumbung Orang Balanta. Di saat bersamaan, ingatan saya seperti ditarik kembali pada leuit Kasepuhan Sinar Resmi Sukabumi.

Dari sini saya belajar, wawasan terhadap topik yang relevan menjadi syarat penting dalam menerjemahkan buku, terutama buku sosial humaniora. Jika tidak, kita bisa kesulitan mendalami materi teks aslinya.
Sepanjang proses ini, saya merefleksikan dua tantangan penerjemahan. Pertama adalah, “menjaga agar gaya bahasa penulis sesuai teks asli” sekaligus “menyampaikan gagasan penulis secara lengkap ke dalam bahasa indonesia.” Kerja ini butuh pemindaian yang berulang-ulang, tujuannya untuk meminimalisir pengaruh dari gaya bahasa saya sendiri.

Di dalam teks aslinya, Van der Ploeg sering menggunakan kalimat panjang, sementara saya lebih nyaman menggunakan kalimat pendek. Kondisi ini memang menyulitkan di awal, meski kemudian bisa diatasi.
Kedua adalah mencari padanan yang tepat untuk konsep-konsep penting. Proses ini tidak hanya melibatkan saya sebagai penerjemah, tetapi juga penyunting ahli dan tim editor INSIST Press. Konsep drudgery misalnya, setelah diskusi beberapa kali disepakati lah jerih payah sebagai padanan kata yang tepat. Buku ini memang tidak mengkhianati prosesnya yang panjang. Muatan kata per kata-nya, saya harap bisa sedekat mungkin dengan teks aslinya.

Hal menarik yang perlu saya promosikan tentang buku ini adalah optimismenya terhadap pertanian petani. Di tengah pembahasan ekonomi politik agraria yang membuat kita pesimis, buku ini menawarkan nuansa berbeda. Di dalam konteks Indonesia, buku ini membuka mata saya, “perjuangan keadilan agraria melalui UU Pokok Agraria dan Perjanjian Bagi Hasil 1960 berakar dari tradisi Chayanovian.”

Kedua perundangan ini secara khusus melindungi pertanian petani keluarga: (a) mengusahakan struktur penguasaan tanah yang adil dengan membagi tanah guntai kepada penggarap, (b) dan, mengatur usaha tani agar terhindar dari sistem ijon. Menurut Selo Soemardjan, idealnya, penggarap menerima separuh sampai dua per tiga dari hasil panen.

Hari ini, kita seperti mundur terlalu jauh. Pada 1952, Muchamad Tauchid pernah menulis, “di masa kolonial, 0,5% penduduk Eropa menguasai 60% dari total lahan Hindia Belanda.” Dan hari ini, angka itu tidak jauh berubah. Berdasarkan indeks ketimpangan lahan Sensus Pertanian 2013, 1% dari total populasi Indonesia menguasai 68% sumber daya lahan.

 Penguasaan lahan skala besar ini tidak dimaksudkan untuk memberi makan makhluk hidup di dunia, tetapi untuk memenuhi demand pasar komoditas ekspor seperti industri kelapa sawit. Padahal, resiko perusakan ekologisnya sangat besar dan mampu menghilangkan kemungkinan petani melakukan reproduksi pertanian, sebagaimana diidealkan Van der Ploeg dalam repeasantisasi.

Di tengah ketimpangan ini, puluhan tahun pasca Tragedi 1965, gerakan petani mengalami depolitisasi. Mereka dipaksa jinak untuk menerima modernisasi pertanian, maupun perampasan lahan pertanian produktif atas nama pembangunan. Sementara, perjuangan petani merebut kembali otonominya selalu disikapi dengan kekerasan aparat dan milisi sipil dengan beragam terror seperti tuduhan komunis. Lantas, sejauh mana kita mampu merawat optimisme seperti isi dari buku Van der Ploeg ini? Mari kita diskusikan hari ini. Terimakasih, selamat berdiskusi.

0 komentar:

Posting Komentar