Senin, 24 Februari 2020

Zaman Peralihan


Andreas JW – 24 Februari 2020


Meski sangat singkat, hanya tiga bulan, tapi Muso sempat mewujudkan beberapa langkah strategis buat partainya. Ia kembali ke Tanah Air medio Juli 1948, dan gugur akhir Oktober 1948. Diawali dengan mengeluarkan otokritik Resolusi Jalan Baru, rencana selanjutnya, berlandaskan resolusi ini akan diadakan kongres fusi tiga parpol, yakni PKI, Partai Sosialis, dan PBI; menjadi satu partai ML bernama PKI.

Sebenarnya, sebelum kehadiran Muso, PKI dan FDR sudah mengadakan otokritik, menyusul jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin. Tapi isi otokritik tidak cukup mendalam. Meski begitu, beberapa materi kemudian menjadi bahan masukan Resolusi Jalan Baru.
"Dugaan saya, Alimin dianggap kurang berhasil. Sehingga Kominform memutuskan agar Muso segera pulang," kata Siswoyo.
Sebelum pulang, kabarnya, Muso terlebih dahulu berdiskusi dengan pimpinan Kominform (sebelumnya Komintern) untuk mengoreksi garis politik kanan PKI, yang dinilai melemahkan perjuangan nasional Revolusi Agustus 1945. Dalam diskusi tersebut, yang bertempat di Praha, hadir Sekjen CPN Paul de Grost dan Ketua PK Cekoslovakia Clement Goswald.

Diskusi menyimpulkan bahwa PKI maupun CPN akan berjuang membatalkan Perjanjian Linggarjati. Karena, tercapainya Perjanjian Linggarjati, telah menempatkan RI dan Kerajaan Belanda dalam ikatan Unie Verband, di bawah kekuasaan Raja Belanda. Sebab itu, harus dibatalkan.

Dalam sidang Pimpinan Pusat FDR, Muso, Drs. Maruto Darusman, Tan Ling Djie, dan Ngadiman Harjosubroto, masuk dalam formasi Sekretariat Umum (CC sementara), yang membawahi beberapa departemen.

Adapun Kepala Departemen Pertahanan dipegang Amir Sjarifuddin, dengan anggota terdiri Mayjen. Ir. Sakirman (Laskar Rakyat/Partai Buruh), Mayjen. Djokosujono (Kepala Biro Perjuangan RI, Pesindo), Ruslan Widjajasastra (Ketua Pesindo). Departemen Tani, dikepalai dr. Cokronegoro (Partai Sosialis), dengan anggota Asmu dan D.N. Aidit. Departemen Buruh terdiri dari Drs. Setiajid, Djoko Sujono, Achmad Sumadi, serta Harjono. Departemen Agitprop terdiri dari M.H. Lukman, Alimin, dan Sarjono.

Sedangkan Wikana (Pesindo) menangani Departemen Pemuda. Departemen Organisasi, dipegang Sudisman. Departemen Luar Negeri, dipercayakan pada Suripno. Nyoto menangani Departemen Perwakilan. Adapun Departemen Keuangan/Bendahara, dipercayakan pada Ruskak.

Siapa Maruto Darusman? Ia adalah kader CPN, yang lama bermukim di Negeri Belanda, dan baru kembali ke Indonesia kira-kira pada awal Agresi I, sekitar tahun 1947. Sebelum kedatangan Muso, ia berfungsi sebagai Wakil Ketua, di bawah Ketua CC PKI Sarjono.
Sementara Tan Ling Djie berasal dari Partai Sosialis. Tidak banyak informasi mengenai sejarah perjuangannya, termasuk bagaimana ia bisa begitu cepat menjadi tokoh Partai Sosialis dan FDR.

Akan halnya Ngadiman Harjosubroto. Ia Angkatan 1926, dan pernah dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah. Dari Australia, ia pulang ke Indonesia akhir 1946, bersama dengan Sarjono, Winanta, Dita Wilasta, dan Suratno. Pada Kongres IV PKI tahun 1947, di Solo, Ngadiman terpilih sebagai Sekretaris Umum.
"Saya tidak ikut dalam sidang PP FDR. Karena saya hanya salah seorang pimpinan PKI/FDR Karesidenan Surakarta." Meski begitu, lanjut Siswoyo salah seorang pimpinan FDR Pusat pernah memberikan kepadanya notulen lengkap hasil pertemuan tersebut.
Notulen berupa tulisan mesin ketik di atas kertas doorslag berwarna kuning. Dari notulen ini diketahui ada sejumlah tokoh FDR yang tidak sepenuhnya menyetujui garis Resolusi Jalan Baru.

Seperti seorang tokoh wanita SK Trimurti dari PBI, ia justru mengecam PKI tidak mampu memimpin revolusi. Sebaliknya ia cenderung memuji Tan Malaka. Begitu pun Sumarsono dari Pesindo, mendesak Muso segera memimpin kudeta guna melancarkan perjuangan. Tapi Muso menolak semua itu, dan dengan tegas mengatakan bahwa kudeta bukan jalan kaum revolusioner.

Sejarah mencatat, gagalnya penyelenggaraan Kongres Fusi, merupakan akibat tidak langsung dari terjadinya Peristiwa Madiun, yang memunculkan sejumlah masalah yang cukup rumit dalam kehidupan organisasi partai.

Misalnya, secara yuridis formal Resolusi Jalan Baru belum sah. Sementara itu, menyusul gugurnya Muso dan Maruto Darusman, otomatis Tan Ling Djie menjadi orang pertama dalam CC Sementara. Padahal dia bukan dari unsur PKI, tapi dari unsur Partai Sosialis. Ditambah lagi Partai Sosialis pimpinan Tan Ling Djie belum mengadakan kongres istimewa untuk menghadapi kongres fusi. Dan Tan Ling Djie sendiri tidak setuju dengan Resolusi Jalan Baru, dengan alasan belum disahkan oleh Kongres Fusi.

Lalu muncul ide dari Tan Ling Djie bahwa Partai Sosialis perlu dibangun kembali untuk selanjutnya menyelenggarakan kongres istimewa. Buktinya, pada medio 1950, seorang utusan PP Partai Sosialis menemui Bung Istijab, ketua Partai Sosialis Cabang Klaten. Ia diinstruksikan untuk menghidupkan kembali Partai Sosialis. Dengan tegas Bung Istijab menolak, karena Partai Sosialis Klaten sudah bubar, dan meleburkan diri ke dalam PKI.

Ide Tan Ling Djie juga ditolak sebagian besar anggota CC Sementara. Begitu pula sejumlah anggota Partai Sosialis yang berada di Yogyakarta, di markas PP Partai Sosialis, seperti Oloan Hutapea, Kadaruzaman, Munir, Hartoyo, dan Yusuf Adjitorop, tidak mendukung ide tersebut.


Sebelumnya, pada akhir 1949 datang utusan CC Sementara, Djoko Sujono dan Ruslan Wijayasastra, menemui pimpinan SC Surakarta. Dalam beberapa kali kesempatan diskusi, keduanya tidak pernah mempermasalahkan Resolusi Jalan Baru. Keduanya tahu, jika dipersoalkan pasti akan ditentang keras. Keduanya tahu SC yang sependirian dengan SC Surakarta cukup banyak jumlahnya. Selanjutnya Djoko Sujono menjadi petugas penghubung CC Sementara dengan SC Surakarta.

Ketika itu partai secara resmi tidak dilarang pemerintah. Tapi demi keamanan, dilakukan sistem “open office”. Dengan pengertian, ada kantor resmi SC, tapi yang bekerja sehari-hari bukan pimpinan partai. Sedangkan kantor yang sesungguhnya berada di tempat lain, dan sifatnya tertutup. Open office SC Surakarta semula ada di Tipes, lalu pindah ke Jalan Honggowongso. Sehari-hari dipimpin Pak Suratno, seorang kader Angkatan 26.

Karena sering bertemu, "Hubungan saya dengan Djoko Sujono menjadi akrab. Dia respek dengan SC Surakarta, terutama karena punya banyak kader, punya akar di kalangan massa, punya pasukan bersenjata (PSR), dan banyak simpatisannya berada di TNI. Saya tahu, sebenarnya Djoko Sujono sependapat dengan pendirian SC Surakarta, daripada dengan Tan Ling Djie," papar Siswoyo.

Masalah itu semakin jelas ketika Djoko Sujono datang ke Solo membawa sejumlah petunjuk kerja dan beberapa instruksi dari CC Sementara. Isinya berbagai macam soal-soal kecil dan bersifat teknis, justru dibahas sangat detil, seperti urusan koperasi, usaha kecil, PMI, UU Peraturan Pemerintah.

Yang mencengangkan, adalah tulisan Tan Ling Djie mengenai idenya tentang Republik Federal Indonesia. Jalan berpikirnya, karena setelah terjadi Peristiwa Madiun, NKRI menjadi sebuah negara yang anti-komunis. Ketika itu Irian Barat belum termasuk wilayah Indonesia. Karena itu PKI perlu mengerahkan gerakannya masuk ke Irian Barat untuk membentuk Republik Demokrasi Rakyat Irian Barat, kemudian membentuk Negara Federal dengan Republik Indonesia. Selanjutnya melalui Republik Federal mengubah NKRI yang anti-komunis menjadi pro-komunis.

Setelah mempelajari isi dokumen itu, SC Surakarta menyimpulkan sepenuhnya menolak; karena isinya ruwet, tidak masuk akal, dan sama sekali tidak realistis. Dan SC Surakarta kembali menegaskan tetap memegang teguh garis Resolusi Jalan Baru.

Sejak itu SC Surakarta tidak lagi berhubungan dengan CC Sementara pimpinan Tan Ling Djie, karena ada perkembangan situasi baru yang lebih penting.

Kira-kira medio 1950 datanglah Bung Aidit dan Lukman dari Jakarta ke Solo. Setibanya di Solo, Aidit dan Lukman segera mencari Siswoyo .dan Bung Suhadi alias Pak Karto, kader tua dan salah seorang pimpinan SC Surakarta. Dalam kesempatan itu Aidit menjelaskan situasi intern CC Sementara. Antara lain ia mengatakan bahwa terdapat perbedaan besar dalam berbagai soal, terutama yang menyangkut sikap mengenai Resolusi Jalan Baru. Baik Aidit maupun Lukman sepenuhnya setuju dengan pendirian SC Surakarta, yang tetap memegang teguh garis Resolusi Jalan Baru. Aidit juga menjelaskan bahwa CC Sementara membentuk open office yang dipimpin Sudisman. Dan disepakati hanya berhubungan dengan open office saja.

Belakangan baru diketahui bahwa sebelum open office dipindah ke Jakarta, sejumlah kader partai sudah terlebih dahulu dikirim kesana. Kader-kader dari Yogyakarta ini merintis jaringan partai di Jakarta. Mereka ialah Munir, Kadaruzaman, Hartoyo, Achmad Sumardi, Iskandar Subekti, dan lain-lainnya.

Pada akhir tahun 1950 berlangsung Sidang Pleno CC Sementara. Selain mempertegas berlakunya Resolusi Jalan Baru, juga terjadi perubahan anggota Politbiro. Komposisinya terdiri dari Ketua D.N. Aidit; Wakil Ketua M.H. Lukman; Wakil Ketua Nyoto; Sekretaris Sudisman, Alimin, Asmu, Ruslan Wijayasastra, dan Sakirman. Juga dipromosikan sejumlah kader untuk mengisi posisi Komisaris CC, yakni Oloan Hutapea untuk Jawa Timur, Suhadi untuk Jawa Tengah dan DIY, Peris Pardede untuk Jawa Barat dan Ibukota Jakarta, Zaelani untuk Sumatera Selatan, Bachtarudin untuk Sumatera Tengah, dan Jusuf Ajitorop untuk Sumatera Utara. Mereka sekaligus dipromosikan sebagai anggota CC. Sidang Pleno juga memutuskan untuk mendegradasi Tan Ling Djie dan Ngadiman dari keanggotaan CC.

Tetapi keduanya tetap sebagai anggota partai.

1 komentar:

  1. ada 9 permainan poker menarik di AJOQQ :D
    ayo segera bergabung dan dapatkan bonusnya :D
    WA : +855969190856

    BalasHapus