Jumat, 14 Februari 2020

Demi Kebenaran, Keadilan dan Keterbukaan


·         Masalah Mahid-eksil di luar negeri

Kitir: 
MD Kartaprawira 


Dewasa ini telah berviral status-status tentang mahid yang tidak bisa pulang kembali ke tanah air, karena dicabut paspornya oleh rejim orba/Suharto berkaitan kasus 1965.

Status-status tersebut menyatakan bahwa sudah 50 tahun kasus mahid tidak dikutak-kutik (tidak ditangani) oleh Negara. Hal tersebut tidak benar dan tidak tepat, justru menyesatkan. Kita harus obyektif terhadap fakta yang ada, yang putih harus dikatakan putih, yang hitam harus dikatakan hitam.

Seperti kita ketahui, bahwa sebagai akibat perjuangan para mahid-eksil di luar negeri dan para peduli HAM di tanah air pada era reformasi, pemerintah terpaksa mengeluarkan UU Kewarganegaraan Indonesia /2006. Maka sejak itu sesuai Pasal 42 telah terbuka “lobang” kesempatan bagi para mahid-eksil untuk mendapatkan Kewarganegaraannya kembali dalam jangka waktu 3 tahun (sampai 01 Agustus 2009). Itulah politik pemerintah (SBY) yang oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin diformulasikan: “Tolak penyelesaian politik, tetapi setuju pemberian paspor/kewarganegaraan kembali kepada mahid-eksil” (bahkan juga kepada mereka yang bukan mahid-eksil).

Maka di Jerman, Belanda dan Kuba sebagian mahid-eksil telah berhasil mendapatkan kembali kewarganegaraannya. Bahkan saya pribadi pernah membantu/mendampingi seorang kawan ke KBRI Den Haag untuk mengurus masalah tersebut.

Tetapi ada banyak mahid-eksil yang menolak kebijakan berdasar UU Kewarganegaraan tersebut di atas. Alasannya a.l.:

1. Esensi kaidah kebenaran dan keadilan dalam kaitannya kasus 1965 tidak nampak dan tidak ada bau-baunya dalam UU tersebut, meskipun dalam considerannya banyak pasal-pasal HAM yang disebutkan. Bagi kami pengembalian kewarganegaraan/paspor hanyalah suatu buntut dari akibat penyelesaian masalah politik yang selalu diingkari oleh penguasa.

2. Bahkan berdasarkan Pasal 42 para mahid-eksil dimasukkan dalam satu ombyokan atau satu kotak dengan: a). orang-orang yang kehilangan kewargegarannya karena sesuatu hal selama 5 tahun atau lebih tidak melapor ke KBRI; b). Para pemberontak GAM, OPM dan lain-lainnya.
Pada hal para mahid-eksil teguh setia kepada NKRI, tidak pernah berontak, tapi dengan semena-mena dicabut paspornya oleh rejim Suhato. Dan para mahid-eksil tidak melarikan diri ke luar negeri, tapi dikirim untuk tugas belajar oleh Pemerintah sah Soekarno.

3. Dalam UU Kewarganegaraan/2006, para mahid-eksil diharuskan juga menyatakan sumpah setia kepada Negara RI. Nah ini suatu penghinaan yang menyedihkan dan memalukan. Sebab para mahid-eksil tidak pernah berontak kepada NKRI. Kami bukan anggota GAM dan OPM. Justru Suharto sendiri yang melakukan pemberontakan kepada Pemerintah sah RI melalui kudeta merangkaknya.

Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65) di Belanda tidak bisa menghalang-halangi anggotanya yang ingin memfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kewarganegaraan kembali. Sebab hal tersebut adalah hak asasinya untuk menentukan kelanjutan kehidupan dirinya.
LPK65 sebagai satu-satunya lembaga legal di luar negeri tetap berjuang demi menegakkan kebenaran dan keadilan bagi para korban 1965.

Khusus untuk mahid-eksil LPK65 melakukan usaha-usaha terobosan atas UU Kewarganegaraan RI/2006 dengan segala cara dan jalan.

LPK65 telah berusaha untuk menyiarkan UU Kewarganegaraan/2006 beserta komentar-kritiknya melalui: website LPK65, milis-milis Nasional-list, HKSIS, Wahana dll, wawancara media-cetak dan radio, diskusi, dialog dengan pejabat dan privat. Saya sendiri telah berdiskusi dengan Bp. Hamid Awaludin (architek UU Kewarganegaraan/2006) di KBRI Moskwa ketika beliau menjabat sebagai dubesnya. Di samping itu telah saya siarkan artikel bersama kritiknya (3 seri) untuk menanggapi sosialisasi UU Kewarganegaraan/2006 yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata di Den Haag. Jadi sangat disayangkan sekali sudah hampir 14 tahun orang tidak tahu hal-hal tersebut di atas (terutama mereka yang menamakan dirinya Mahid dan mereka yang sedikit banyak pernah bersinggungan dengan ilmu hukum).

Saya ( sebagai Ketum LPK65) telah berusaha keras untuk bertemu dan berdialog mengenai masalah eksil/mahid-eksil dengan Presiden Jokowi ketika tahun 2015 berkunjung ke Negeri Belanda. Tapi tidak berhasil mendapatkan undangan dalam salah satu pertemuan-pertemuan dengan masyarakat Indonesia, meski saya telah mengemis-ngemis melalui WAKAPRI KBRI Den Haag. Semoga pemerintah Jokowi bisa menyempatkan perhatiannya kepada masalah-masalah tersebut diatas. Bagaimana pun kami/mahid-eksil adalah Bangsa Indonesia.

Kalau mengenai masalah kepulangan para ex-WNI-ISIS jelas sikap saya dan mahid-eksil lainnya: TOLAK MEREKA!!! Presiden harus tegas. Mereka ini akan menyebabkan malapetaka yang lebih dahsyat kepada Negara dan bangsa - karena menyebarkan virus terorisme.

Sekian terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat, terutama bagi penegakan kebenaran dan keadilan berkaitan sejarah tragedi nasional 1965. Salam.

Den Haag, 14 Februari 2020
  •   Tembusan/CC kepada:
Presiden Jokowi
Menteri POLHUKAM
KOMNASHAM
Para Peduli HAM
Semua fesbuker



0 komentar:

Posting Komentar