Selasa, 17 September 2013

Arianto Sangaji: Pilihannya Sederhana, Sosialisme atau Barbarisme



PADA masa krisis kapitalisme global, Bloomberg, sebuah media korporat besar yang memfokuskan  pada isu-isu ekonomi, sempat mengeluarkan sebuah artikel pada 2011 yang berjudul, ‘Give Karl Marx a Chance to Save Global Economy’ (Berikan Karl Marx Kesempatan untuk Menyelamatkan Ekonomi Global). Inti argumen dari artikel tersebut sangat sederhana, pandangan Marx mengenai kapitalisme sangat relevan dalam kondisi krisis kapitalisme sekarang. Bahkan secara implisit artikel tersebut hendak mengatakan kepada kita, alih-alih meninggalkan Marx karena prediksinya yang gagal mengenai kemunculan komunisme, kita harus kembali ke proyek awal Marx mengenai kritik ekonomi politik kapitalisme itu sendiri. Suatu hal yang setidaknya harus diajukan kembali dalam problem pengetahuan kita sekarang ini.


Kritik ekonomi politik kapitalisme Marx adalah apa yang juga menjadi perhatian utama dari Arianto Sangaji, seorang akademisi-cum aktivis dalam masalah-masalah pertambangan dan pertanahan di Indonesia. Perhatian Anto, demikian panggilan akrabnya, terhadap isu ini tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa memang masih banyak warga Negara Indonesia yang mendasarkan  aktivitas hidupnya pada sektor yang mengandalkan ketersediaan sumberdaya alam. Hal ini membuat penting untuk memahami dinamika sosial masyarakat Indonesia yang hidup dalam kungkungan kapitalisme dan hubungannya dengan kritik ekonomi politik yang sudah dilakukan Marx. Kritik ini menjadi sangat krusial, bukan hanya pada upaya memahami situasi tapi juga membuka kemungkinan untuk praktik-praktik transformatif guna keluar dari kungkungan kapitalisme itu sendiri.
Dalam narasi sedemikian, Muhammad Ridha dari Left Book Review (LBR) berkesempatan untuk berbincang dengan Arianto Sangaji, kandidat doktor geografi dari York University, Toronto, Kanada,  mengenai kritik ekonomi politik Marx dan kemungkinan solusi alternatif sosialisme dalam konfigurasi kapitalisme sekarang ini. Berikut petikannya:

Mengapa kritik ekonomi politik Marx menjadi sangat relevan sekarang? Bukankah Marx melihat fenomena kapitalisme dalam batas-batas dinamika kapitalisme di masa lalu?

Menurut saya, adalah naif kalau menganggap Marx melihat batas-batas dinamika kapitalisme di masa lalu, dan karenanya tidak relevan untuk menjelaskan kapitalisme dewasa ini. Sebagian kalangan akademisi, bahkan aktivis yang mengklaim dirinya Marxis, memiliki pandangan keliru semacam itu. Problemnya, mereka memisahkan aspek logika historis (atau sebaliknya) dari teori. Katakanlah, ketika Marx berbicara tentang kapitalisme,   maka menurut mereka yang dimaksud adalah kapitalisme abad ke-19, di mana penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbelakang dalam proses produksi. Juga, sirkulasi uang belum berlangsung hanya dengan sekali ‘klik’ di depan komputer, seperti hari ini. Begitu juga, perpindahan barang (komoditi)  antar benua dalam jumlah besar belum berlangsung dalam hitungan  jam, seperti saat ini.

Padahal,  ketika melihat teorinya, baik logik maupun historis tentang kapitalisme – yakni, proses kerja (labour process) sebagai lokasi dari perampasan nilai lebih dari kelas pekerja, organisasi produksi, perubahan-perubahan bentuk subordinasi terhadap kelas pekerja, perjuangan kelas, dan kemajuan tenaga-tenaga produktif –  kita dengan sangat mudah menangkap relevansi kritik Marx terhadap kapitalisme saat ini, karena beberapa alasan. Pertama, kita harus mengerti bagaimana Marx mengonseptualisasi kapitalisme sebagai sebuah corak produksi (mode of production). Baginya, kapitalisme, pertama-tama dan paling utama, harus dipahami sebagai hubungan kelas, yakni antara kelas kapitalis dan kelas pekerja di dalam proses kerja. Tidak ada kapitalisme tanpa kedua kelas itu. Keduanya tidak bisa dilihat secara dualistis, tetapi ibarat dua sisi dari satu keping mata uang: dua aspek berbeda dari satu totalitas. Yang membuat kapitalisme eksis adalah hubungan eksploitasi, yakni kelas kapitalis menghisap kelas pekerja. Hubungan eksploitasi ini sebagai sifat dasar kapitalisme yang tidak pernah lenyap semenjak era Marx hingga saat ini. Kesimpulannya, hubungan eksploitasi itu merupakan suatu keniscayaan dalam kapitalisme: tidak ada kapitalisme tanpa eksploitasi kelas.

Kedua, hubungan eksploitasi kapitalisme memang berbeda-beda dari suatu tempat dan waktu ke tempat dan waktu lain. Adalah keliru mengatakan teori Marx tentang kapitalisme sudah usang dan tidak relevan, hanya karena di zaman sekarang kita berada dalam era serba teknologi maju, sesuatu yang belum begitu berkembang di zaman Marx hidup. Bagi yang membaca karya-karya Marx dengan sungguh-sungguh, bukan hanya sekedar menyandarkan diri dari sumber-sumber bacaan sekunder, akan dengan mudah menemukan di mana letak relevansi teori Marx tentang kapitalisme untuk zaman  ini, ketika dia berbicara tentang kemajuan teknologi atau tenaga-tenaga produktif. Coba tengok, bagaimana Marx merumuskan teori tentang tingkat perkembangan kapitalisme yang berbeda-beda dalam fase sejarah tertentu, ketika dia berbicara tentang ‘formal subsumption of labour’ dan ‘real subsumption of labour.’

Marx menyebut ‘formal subsumption of labour’ guna menggambarkan bentuk atau tahapan perkembangan kapitalisme paling awal. Dalam tahapan ini kapitalisme dicirikan dengan kelas kapitalis mengeksploitasi kelas pekerja melalui apropriasi nilai lebih absolut (absolute surplus-value). Pada dasarnya, apropriasi  nilai lebih absolut  tidak ditandai dengan penggunaan teknik produksi yang maju. Cara yang ditempuh kelas kapitalis  adalah melalui peningkatan waktu kerja (surplus waktu kerja), di mana kelas pekerja bekerja lebih lama.  Atau, dengan memacu kelas pekerja untuk bekerja  secara intensif dalam waktu tertentu. Misalnya, jam kerja dalam sehari (working day) adalah 10 jam. Sementara waktu yang diniscayakan untuk bekerja (necessary labour time) untuk menghasilkan nilai (value) sebuah komoditi adalah 5 jam. Maka 5 jam sisa yang digunakan oleh kelas pekerja untuk bekerja adalah kerja lebih (surplus labour) yang secara gratis dinikmati oleh kelas kapitalis. Di sini, tingkat eksploitasi (rate of exploitation) dirumuskan sebagai rasio kerja lebih (surplus labour) terhadap waktu kerja yang diniscayakan (neceesary labour time). Yakni, 5 jam dibagi dengan 5 jam, menjadi 1 (100 persen).  
Tidak cukup dengan mengeruk 5 jam surplus labour, kelas kapitalis berusaha menambah kerja lebih melalui dua cara. Pertama,  jam kerja diperpanjang dari 10  menjadi 11 jam, tanpa perubahan upah dan ongkos produksi lain (alat produksi). Dengan begitu, tingkat eksploitasi (rate of exploitation) meningkat menjadi 6/5. Total surplus kerja yang dinikmati kelas kapitalis menjadi 6 jam, yakni 5 jam kelebihan waktu kerja ditambah dengan 1 jam kelebihan kerja absolut.  Kedua, kelas kapitalis tidak menambah jam kerja, dari 10 jam menjadi 11 jam, tetapi ia memaksa kelas pekerja untuk bekerja lebih intensif dalam 10 jam. Misalnya, dengan memperpendek waktu istirahat dengan beban pekerja yang berlipat.

Yang membuat kapitalisme eksis adalah hubungan eksploitasi, yakni kelas kapitalis menghisap kelas pekerja. Hubungan eksploitasi ini sebagai sifat dasar kapitalisme yang tidak pernah lenyap semenjak era Marx hingga saat ini. Kesimpulannya, hubungan eksploitasi itu merupakan suatu keniscayaan dalam kapitalisme: tidak ada kapitalisme tanpa eksploitasi kelas.’
Kalau ‘real subsumption of labour?’

Nah berbeda dari  ‘formal subsumption of labour’ yang dicirikan dengan perampasan nilai lebih absolut, Marx memperkenalkan konsep ‘real subsumption of labour,’ yakni eksploitasi kelas kapitalis terhadap kelas pekerja melalui apropriasi nilai lebih relatif (relative surplus-value). Apropriasi nilai lebih relatif merupakan cara paling menonjol untuk meningkatkan eksploitasi terhadap kelas pekerja dalam tahapan sejarah perkembangan kapitalisme yang lebih maju. Apropriasi ini ditempuh dengan mengurangi nilai (value) dari tenaga kerja melalui pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi maju di dalam proses produksi. Hasilnya, kelas kapitalis meraup keuntungan karena produktivitas dalam produksi meningkat. Marx menyebut nilai dari tenaga kerja sebagai ‘variable capital’ dan teknologi sebagai ‘constant capital.’ Sebagai ilustrasi, dalam apropriasi nilai lebih relatif, jam kerja tetap sama, yakni 10 jam. Tetapi, melalui perbaikan atau perubahan teknik produksi yang menghasilkan peningkatan produktivitas, maka nilai dari tenaga kerja merosot, dari 5 menjadi 4 jam. Dengan demikian, kelas kapitalis mengapropriasi nilai lebih dari 6 jam kerja. Kelas kapitalis menggunakan beberapa cara untuk meraup nilai lebih ini, di antaranya dengan memperbaiki kerjasama dan pembagian kerja dalam proses produksi, penggunaan mesin-mesin baru yang lebih canggih, dan inovasi-inovasi pengetahuan dan teknologi.

Kata kunci ‘real subsumption’ adalah karena didorong kompetisi sebagai hukum gerak kapitalisme, maka kelas kapitalis memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maju untuk digunakan dalam produksi, karenanya mengurangi waktu kerja yang diperlukan, tetapi meningkatkan produktivitas secara besar-besaran. Itu sebabnya Marx menyebut ‘real subsumption of labour’ sebagai manifestasi dari kapitalisme yang sejati. Dia bilang, pada tahapan ‘real subsumption,’ tenaga-tenaga produksi secara sosial (social forces of production) sudah mengalami perkembangan sedemikian maju yang ditandai dengan kehadiran produksi berskala besar yang memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam tahap ini, ‘produksi kapitalis,’ tulis Marx dalam Capital  volume I, ‘membentuk dirinya sebagai sebuah corak produksi yang unik.’

Perhatian khusus mesti diberikan kepada kecenderungan kelas kapitalis, karena didorong oleh kompetisi, untuk selalu menggunakan teknologi terbaru guna meningkatkan produktivitas. Secara teknis, penggunaan teknologi terbaru menghasilkan produktivitas yang tinggi, karena jumlah material yang lebih besar atau banyak, misalnya, dapat dikeruk dari perut bumi. Dalam industri pertambangan, misalnya, firma-firma kapitalis berlomba memajukan tenaga-tenaga produktif (teknologi, ilmu pengetahuan dan keahlian) sebagai suatu keniscayaan, agar supaya minyak, gas, batubara, biji nikel dan sebagainya bisa dikeruk secara lebih cepat dan lebih banyak dari perut bumi. Turunannya, material-material itu dapat diproses untuk menghasilkan bahan-bahan baku   dalam jumlah lebih besar pula. Tetapi, penggunaan mesin dalam konteks produksi yang kapitalistik bukan saja meningkatkan produktivitas kerja, tetapi dalam waktu yang sama juga mengubah dinamika hubungan kelas.  Semenjak penggunaan teknologi menghemat tenaga kerja (labour-saving technology), maka implikasinya kapitalisme menciptakan tenaga kerja cadangan (reserve army of labour) yang melimpah ruah, sehingga memungkinkan kelas kapitalis dapat mengontrol kelas pekerja secara efektif.  Dengan demikian, dalam produksi kapitalistik, inovasi teknologi karenanya tidak bersifat eksternal melainkan internal ke dalam sistem ini.


Salah satu hal ‘lama’ yang kemudian muncul dalam analisa Marx adalah pengajuan masalah mengenai ‘akumulasi primitif.’ Bagaimana Anda memahami signifikansi kategori Marxian seperti ‘akumulasi primitif,’ dalam  membantu kita untuk memahami dinamika kapitalisme sekarang?

Di sini saya temukan banyak orang keliru menganggap akumulasi primitif sebagai sesuatu yang semata terjadi di masa lalu, ketika terjadi transisi dari feudalisme ke kapitalisme.  Benar Marx cerita bahwa momen akumulasi primitif itu terjadi pada masa transisi dari feodalisme ke kapitalisme di Eropa, tetapi jika kita menangkap esensi pengertian ‘akumulasi primitif’ seperti ditulisnya di Capital volume I: (1) rampas alat produksi petani (non-kapitalis) dan karena itu (2) mereka, kemudian, tidak punya lain pilihan, kecuali menjual tenaga kerjanya secara bebas, maka kita akan begitu mudah melihat bahwa momen itu kini terjadi sekarang di mana-mana.
 Coba perhatikan ekspansi kapital ke wilayah-wilayah dengan hubungan-hubungan produksi non-kapitalis sekarang, semua berlangsung melalui praktik akumulasi primitif itu.  Jalan Cina melakukan transisi menuju kapitalisme merupakan contoh terang-benderang bagaimana akumulatif primitif modern bekerja. Di bawah proyek kontrarevolusi Deng Xiaoping, kita menyaksikan ratusan juta penduduk di wilayah pedesaan disiapkan untuk dieksploitasi oleh firma-firma kapitalis transnasional dan domestik di negeri itu. Langkahnya dimulai dengan mereformasi ekonomi pedesaan yang menghancurkan komune-komune rakyat dan privatisasi  usaha-usaha pertanian. Jadi, akumulasi primitif, pada saat ini berhubungan dengan ekspansi kapital ke wilayah-wilayah atau ruang-ruang di mana hubungan-hubungan produksi yang non-kapitalis masih eksis.

Praktik akumulasi primitif juga dengan begitu mudah kita lihat di Indonesia, melalui kasus-kasus perampasan tanah dalam belasan tahun terakhir. Di seantero pelosok nusantara, beriringan dengan ekspansi kapital, khususnya di sektor-sektor berbasis sumber daya alam, seperti perkebunan besar dan pertambangan, praktik itu terjadi secara meluas. Saya tidak perlu mengulanginya di sini, tetapi secara singkat modusnya terutama dilakukan melalui dua cara yang saling melengkapi: regulasi melalui parlemen dan kekerasan oleh aparat bersenjata.


Menarik Anda mengajukan Indonesia sebagai problem yang dapat diperiksa dalam kritik ekonomi politik Marx. Salah satu proyeksi ekonomi politik gigantik yang dimiliki kapitalisme Indonesia adalah MP3EI.  Bagaimana analisa Anda terhadap proyek  MP3EI ini?

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, telah dicanangkan pemerintahan SBY sejak Mei 2011. Mega proyek ini merupakan hasil studi tentang ekonomi koridor yang dikerjakan Boston Consulting Group. Ada tiga pilar MP3EI, yakni ekonomi koridor, pengembangan konektivitas, dan pengembangan sumber daya manusia. Melalui MP3EI, diharapkan pada tahun 2025, Indonesia dapat naik peringkat menjadi sebuah negara maju dengan pendapatan perkapita berkisar antara USD 14250 – USD 15500 dengan total PDB USD 4 – 4,5 trilyun.

Kalau melihat sisi kewilayahan dalam perkembangan kapitalisme di Indonesia, saya mau bilang bahwa dari sudut pandang ‘historical geographical materialism,’ ada satu  hal yang perlu digaris-bawahi:  perkembangan kapitalisme di Indonesia berlangsung tidak merata (uneven development). Di Jawa, corak produksi kapitalis – dalam pengertian penggunaan buruh upahan bebas – sudah berkembang semenjak zaman kolonial, terutama pada awal-awal abad yang lalu. Di luar Jawa, khususnya di belahan Timur Indonesia, kendati masyarakat di wilayah itu sudah terintegrasi dalam jaringan perdagangan global selama berabad-abad lamanya, tetapi ekspansi kapital dalam pengertian hubungan produksi kapitalis berlangsung lebih lambat, katakanlah setelah kemerdekaan. Sampai hari ini, petani-petani kakao di Sulawesi adalah petani-petani independen yang mengelola kebun kakao mereka tidak di bawah hubungan-hubungan produksi kapitalis, sementara biji kakao yang mereka jual,  diolah menjadi bubuk kakao di bawah hubungan produksi kapitalis di pabrik-pabrik pengolahan kakao, entah di pulau Jawa atau di luar negeri. Itulah contoh uneven development.

Perkembangan kapitalisme yang tidak merata antar wilayah juga bisa dilihat – atau  setidak-tidaknya bisa dijadikan sebagai indikator awal –  dari persentase penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja dengan status pekerjaan utama adalah pekerja dengan upah/gaji. Badan Pusat Statistik (2013) menggambarkan di Jakarta, penduduk dengan status semacam ini mencapai 69,99 persen, Sulawesi Selatan 30,90 persen, Sumatera Utara 32,60 persen, Kalimantan Selatan 34,11 persen, dan Papua 16,95 persen. Kita juga bisa menengok ketidak-merataan dengan menengok dinamika kewilayahan dari ekspansi kapital global di Indonesia, umpamanya dengan melihat realisasi penanaman modal asing. Tahun 2012, misalnya, dari total realisasi penanaman modal asing (PMA) senilai USD 24,5 miliar, pulau Jawa masih merupakan tuan rumah yang utama, dengan kontribusinya mencapai 55,72 persen, kemudian Sumatera (15,18 persen), Bali dan Nusa Tenggara (4,58 persen), Kalimantan (13,05 persen), Sulawesi (6,13 persen), dan Papua dan Maluku (5,42 persen).  Kita bisa saja memperpanjang daftar panjang ketidak-merataan antara wilayah dengan, misalnya, menengok soal infrastruktur dan sebagainya.

Kalau melihat sisi kewilayahan dalam perkembangan kapitalisme di Indonesia, saya mau bilang bahwa dari sudut pandang ‘historical geographical materialism,’ ada satu  hal yang perlu digaris-bawahi:  perkembangan kapitalisme di Indonesia berlangsung tidak merata (uneven development).

Penjelasan yang menarik. Bisa dijelaskan lebih lanjut?
Apa yang ingin saya katakan, MP3EI merupakan strategi spasial  dengan mengintegrasikan secara cepat semua permukaan nusantara ke dalam pusaran hubungan produksi yang kapitalistik berbasis kepada kekhasan setiap wilayah. Skema koridor MP3EI, tak lebih dan tak kurang menggambarkan apa yang oleh ahli geografi Marxis, David Harvey sebut sebagai ‘production of geographical difference.’ Sulawesi, misalnya, dikoridorisasi sebagai sentral industri nikel, karena dalam logika ‘production of geographical difference’ selalu, di antaranya, bersandar kepada keunggulan sumber daya alam tertentu, guna reproduksi kapitalisme. Pabrik-pabrik modern dengan mempekerjakan kelas pekerja upahan akan dibangun untuk memproses komoditi olahan berbasis kekayaan sumber daya alam setempat, bukan mengekspor secara langsung komoditi tertentu tanpa nilai tambah.
Salah satu kata kunci MP3EI adalah kompetisi, yang dalam dokumen MP3EI menyebut secara berulang ‘Indonesia’s competitiveness.’ Kita tahu, kompetisi atau tepatnya keharusan untuk berkompetisi adalah salah satu hukum gerak (law of motion) kapitalisme. Pusaran utama kompetisi dari sistem ini adalah kompetisi antara kelas kapitalis dan kelas pekerja dalam produksi komoditi, di mana kelas kapitalis selalu berusaha mengeksploitasi buruh murah untuk menghasilkan komoditi yang laku di pasaran. Hanya kelas kapitalis yang memenangkan kompetisi menghadapi kelas pekerja yang kemudian memenangkan kompetisi dengan sesama kelas kapitalis. Tetapi, di luar itu, ada yang disebut dengan kompetisi antar teritori (interterritorial competition), yang merupakan hal yang tak bisa dielakkan dalam perkembangan kapitalisme. Kompetisi semacam ini berlangsung dalam berbagai skala – antar blok-blok kekuasaan (Eropa, Amerika Utara, Asia Timur, Asia Tenggara), antar negara-negara di dalam suatu wilayah (ASEAN, misalnya), dan antar wilayah dalam suatu negara (misalnya, Sulawesi versus Kalimantan, Sumatera Barat versus Lampung, atau Bekasi versus Tangerang). 
Masing-masing teritori berlomba menciptakan kondisi yang mendukung pergerakan arus kapital ke dalam batas-batas teritorinya. Oleh karena itu, membuat suatu wilayah atau negara supaya kompetitif di tengah perkembangan kapitalisme global menjadi keharusan bagi proses pembuatan kebijakan publik di manapun di setiap level pemerintahan. Dan sentral dari ‘interterritorial competition,’ dalam kontek MP3EI, adalah keharusan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk membuka wilayah Indonesia (dan daerah-daerah) seluas-luasnya dan secepat-cepatnya, agar sirkulasi kapital produktif (productive capital), kapital uang (finance capital) dan kapital dagang (commercial capital) berlangsung mulus, tanpa hambatan, dengan menciptakan ‘geographical difference’ berbasis keunikan dan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia.

Salah satu syarat pokok yang memungkinkan gerak kapital secara leluasa adalah pembangunan infrastruktur, seperti jaringan listrik, telekomunikasi, jalan raya, rel kerata api, pelabuhan udara, pelabuhan laut dan sebagainya. Dokumen MP3EI menyebut proyek-proyek infrastruktur yang akan dibangun di 6 koridor (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua Maluku) bernilai 925 trilyun rupiah. Sebagai ilustrasi, tersedianya jaringan listrik yang besar memungkinkan kapital produktif yang rakus energi dapat melakukan ekspansi. Sekarang, misalnya, ketika pemerintah memaksa perusahaan-perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan kontrak karya (KK) membangun smelter, maka salah satu keluhan  menonjol dari para pengusaha adalah tidak tersedianya listrik. Sebagian di antara mereka meminta pemerintah yang harus menyediakannya. Intinya, dengan tersedia infrastruktur yang baik, maka sirkulasi kapital dapat berlangsung dengan cepat dan murah.

Kita tahu, sirkulasi kapital harus dilakukan dalam batasan waktu tertentu agar profit dapat diciptakan. Sirkulasi  kapital memiliki dua waktu. Pertama, waktu yang diperlukan untuk menghasilkan komoditi, yakni waktu produksi dan; kedua, waktu yang dihabiskan dalam sirkulasi komoditi, yakni waktu sirkulasi. Kompetisi antara kapital (melalui aplikasi teknologi dan penyesuaian organisasi kapital) memicu tekanan ke arah pengurangan kedua komponen waktu. Artinya, bukan hanya waktu produksi akan dipersingkat, tetapi waktu sirkulasi akan diperpendek. 
Bahan-bahan baku, produk-produk akhir dan uang harus bergerak dari suatu tempat ke tempat lain dan dalam waktu cepat. Sirkulasi kapital adalah soal geografi: ruang (space) dan waktu (time). Dalam karyanya Grundrisse, Marx bilang, kapital mesti berjuang untuk menaklukkan setiap hambatan spasial  dengan kecepatan waktu: ‘capital…strives to annihilate space by time’ (kapital… hendak menghilangkan ruang melalui waktu, red). MP3EI mesti dipahami di bawah logika semacam ini.

Salah satu fitur penting dari kapitalisme sekarang adalah pergerakan kapital yang begitu leluasa menembus batas-batas teritorial Negara. Bagaimana Anda memahami kondisi tersebut?

Saya kira sejak awal, seperti tertuang dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels sudah mengingatkan kita bahwa kapitalisme itu bukan fenomena lokal atau nasional. Semenjak lahirnya, kapitalisme telah bersifat global. Dewasa ini, kita sangat bersahabat dengan kosakata Globalisasi. Kalangan teoritisi Marxis mendefinisikannya sebagai proses penyebaran (hubungan) produksi kapitalis di seluruh permukaan bumi  dan  penghancuran seluruh hubungan-hubungan produksi non-kapitalis. Manifestasi globalisasi dalam pengertian ini adalah kegiatan produksi global dengan motor utamanya kapital transnasional, yang mengambil bentuk perusahaan-perusahaan transnasional raksasa. Perusahaan-perusahaan semacam ini mengkoordinasikan apa yang disebut dengan ‘global chain production/rantai produksi global,’ dengan menyertakan fraksi kapital yang beragam. Apa yang kita lihat dari globalisasi adalah peran dominan dari kapital transnasional terhadap fraksi-fraksi kapital lain dalam skala global. Peningkatan dominasi kapital transnasional ini bisa dilihat pada arus keluar investasi asing langsung (foreign direct investment, FDI) khususnya dalam 40 tahun terakhir. 
Pada tahun 1970, nilai total arus keluar FDI secara global adalah USD 13,3 milyar, kemudian melonjak tajam menjadi USD 1,35 trilyun pada tahun 2012. Indonesia, misalnya, sebagai penerima arus masuk FDI, juga melonjak tajam dari USD 145 juta menjadi USD 24,5 milyar pada tahun 2012.

Salah satu motor dibalik arus FDI global adalah merger dan akuisisi lintas batas negara antar perusahaan-perusahaan. Dari proses itu terjadi peningkatan konsentrasi kapital secara global, yakni segelintir kelas kapitalis transnasional mengontrol aset, penjualan, dan tenaga kerja secara global. Sebagai ilustrasi, beberapa tahun terakhir, tampak terjadi peningkatan signifikan dalam kasus merger dan akuisisi lintas negara dalam industri pertambangan, yakni dari sebanyak  234 dengan nilai USD 23,3 milyar di tahun 2003 menjadi 338 dengan nilai USD 63 milyar pada tahun 2011. Salah satu peristiwa merger lintas batas penting adalah antara British Petroleum (UK) dengan Amoco (USA), tahun 1998, dengan nilai USD 48 milyar. Konsolidasi ini menghasilkan nama baru BP-Amoco, yang kemudian sejak tahun 2001 mengubah nama kembali menjadi BP Plc. Salah satu hasilnya, pada tahun 2007, aset milik BP Plc di luar negeri berada di urutan ke-4 di antara 100 perusahaan transnasional terbesar dunia di luar perusahaan-perusahaan keuangan. Contoh lain  adalah akuisisi Inco Limited oleh Vale (CVRD), tahun 2006, dengan nilai USD 17,3 milyar, yang segera diikuti  ‘Valeisasi’ semua ‘brand’ Inco di seluruh pelosok bumi, termasuk penggantian nama PT Inco Indonesia Tbk menjadi PT Vale Indonesia Tbk.

Globalisasi produksi kapitalis yang kian meningkat tajam tersebut memberikan indikasi bahwa sirkulasi kapital lintas batas (cross-border) negara kian mudah. Tidak berarti bahwa kini negara dalam skala nasional (national state) sama sekali tidak berfungsi atau lenyap. Tetapi, apa yang kita saksikan adalah munculnya apa yang oleh Sosiolog Marxis William Robinson sebut sebagai negara transnasional (transnational state), yakni sebuah jaringan yang mengintegrasikan negara-negara nasional  secara global, bersama-sama dengan institusi-institusi ekonomi dan politik supranasional seperti Bank Dunia, WTO, IMF, G7, G20, EU, APEC, ASEAN dan sebagainya. Tugas pokoknya adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan kemudahan sirkulasi kapital secara global. Salah satu di antaranya adalah upaya negara-negara nasional untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan investasi secara liberal. Kendati menunjukkan kecenderungan yang menurun, tetapi kebijakan pro liberalisasi investasi secara global masih sangat tinggi dibanding kebijakan-kebijakan yang menghambat. Seperti dilaporkan UNCTAD tahun 2012, persentase kebijakan-kebijakan nasional yang pro liberalisasi mencapai 75 persen, turun dari 94 persen pada tahun 2000. Sementara kebijakan-kebijakan yang menghambat investasi meningkat dari 6 persen di tahun 2000 menjadi 25 persen di tahun 2012.

Implikasi yang ditimbulkan dari globalisasi sangat bervariasi dari suatu negeri ke negri lain, tergantung tingkat perkembangan masyarakatnya. Pada negeri-negeri di mana hubungan-hubungan produksi kapitalis tidak dominan atau belum berkembang, maka globalisasi (kapital produktif) kerap berkaitan dengan proses akumulasi primitif, di mana terjadi perampasan-perampasan tanah-tanah pertanian milik petani independen dan penciptaan kelas pekerja. Ekspor kapital dagang, terutama ke negeri-negeri yang tingkat perkembangan kapitalismenya masih terkebelakang, kerap juga berimplikasi pada proses penghancuran terhadap usaha-usaha perdagangan berskala kecil atau menengah. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa semenjak serbuan supermarket/hipermarket dan minimarket di sudut-sudut kota yang umumnya dikuasai perusahaan-perusahaan dagang transnasional, kabarnya pada tahun 2012 lalu, terdapat sekitar 10.000 warung atau toko kelontong di Indonesia gulung tikar alias bangkrut, seperti dilaporkan tabloid mingguan Kontan,  4 – 10 Maret, 2013.

Di bawah neoliberalisme, melalui strategi alihdaya (outsourcing), kita menyaksikan tumbuhnya tenaga kerja cadangan mengambang berdasarkan skema ‘tenaga kerja kontrak’ yang bersifat temporer atau ‘tidak permanen’ yakni, mereka yang dipekerjakan oleh kelas kapitalis dalam kurun waktu tertentu untuk pekerjaan tertentu.

Salah satu wacana akademik sekaligus praktis dalam memahami dinamika kapitalisme kini adalah pembubuhan kata ‘neoliberal’ dalam penamaannya. Menurut Anda, bagaimana pembubuhan ini memiliki signifikansi, khususnya dalam perjuangan politik rakyat pekerja Indonesia sekarang?

Saya kira wacana akademik itu adalah produk historis dari perkembangan kapitalisme mutakhir yang kian progresif, setelah kebangkrutan kapitalisme di bawah kendali negara (state regulated capitalism). Sebagai fase paling mutakhir dari perkembangan kapitalisme, neoliberalisme bukan sebuah corak produksi melainkan sebuah organ khusus dalam kapitalisme pada fase sejarah tertentu, yang berusaha melindungi kapital bekerja dan mengurangi kekuasaan buruh. 
Dengan kata lain, neoliberalisme pertama-tama dan paling utama, adalah strategi kelas kapitalis untuk melemahkan kelas pekerja. Sentral dari ide neoliberalisme adalah bahwa campur tangan negara dalam ekonomi, seperti yang dilakukan Negara merkantilis yang dibayangkan Adam Smith, tidak bisa diterima. Biar saja pasar bekerja menurut logikanya sendiri, tanpa campur tangan negara.

Padahal, gambaran paling mendasar dari neoliberalisme adalah bukan pengurangan peran negara dalam kaitannya dengan pasar atau sirkulasi kapital. Sebaliknya, bagaimana kekuasaan negara dimanfaatkan atau dimanipulasi untuk memuluskan pasar bekerja atau melancarkan sirkulasi kapital, dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Secara lebih konkrit, negara melindungi kelas kapitalis dalam proses penciptaan nilai secara terus menerus (valorisasi) dan melindungi mereka dalam proses perjuangan kelas. Justru di bawah neoliberalisme, tesis Marx dan Engels  menjadi relevan  ketika mereka menyatakan bahwa ‘Negara adalah sebuah komite/panitia yang mengatur kepentingan-kepentingan bersama keseluruhan kelas kapitalis.’

Sifat dari kapitalisme neoliberal yang bertautan langsung dengan kepentingan kelas pekerja adalah apa yang lazim dikenal sebagai pasar tenaga kerja fleksibel. Sebaiknya, kita meletakkan pengertian tenaga kerja fleksibel sebagai suatu bentuk kontradiksi dalam kapitalisme. Titik tolaknya, akumulasi kapital, yakni reproduksi kapital berdasarkan skala yang kian meluas – melalui investasi ulang (reinvestasi) nilai lebih (profit) – selalu memiliki sifat kontradiksi. Di satu sisi, akumulasi meningkatkan kapital dan melipat-gandakan kebutuhan ketersediaan tenaga kerja.
 Dengan kata lain, akumulasi kapital kian memperbanyak kelas kapitalis dan memperbanyak kelas pekerja. Sebaliknya, akumulasi kapital menciptakan pengangguran. Karena, kompetisi untuk meningkatkan produktivitas, kapitalisme memiliki kecenderungan jangka panjang untuk melakukan akumulasi  intensif  dengan merevolusionerkan teknologi dan organisasi produksi yang menghemat tenaga kerja. Buntutnya, jika tanpa ada pengaturan kembali jam kerja yang sudah dikurangi, maka pengangguran akan meningkat. Pengangguran, oleh karena itu, bagian dari penduduk lebih relatif, yang berjalan seiring dengan akumulasi kapital. Pendek kata, watak kontradiksi kapitalisme adalah menciptakan surplus penduduk dan mempekerjakannya kembali.

Identifikasi Marx terhadap tenaga kerja cadangan mengambang yang berada di jantung produksi kapitalisme modern, kini dengan mudah kita dapat saksikan di bawah rezim neoliberal berbasis akumulasi yang lentur (flexible regime of accumulation), lazim disebut paska-fordisme. Sebelumnya, di bawah rezim akumulasi fordis (fordist regime of accumulation) – negara  melakukan regulasi dalam produksi dan konsumsi massal –  kelas pekerja, dalam jumlah besar dan terorganisasi secara mudah di pusat-pusat produksi yang tersentralisasi, berstatus buruh tetap, dan terlibat dalam proses produksi yang terstandarisasi. 
Semua tahapan aktivitas produksi dari sebuah perusahaan kapitalis terintegrasi secara vertikal dan berlangsung di dalam perusahaan itu sendiri. Dalam rezim baru, banyak di antara tahapan produksi terdesentralisasi melalui kontrak kepada perusahaan-perusahaan lain yang memiliki spesialisasi tertentu. Perusahaan-perusahaan kontraktor juga dapat mensubkontrakkan pekerjaan-pekerjaan tertentu kepada perusahaan-perusahaan berikutnya. Rezim akumulasi baru menciptakan sebuah hubungan baru antara kapital dan kerja: kelas pekerja, secara global, diperlakukan sebagai sebuah komponen subkontraktor, bukan pekerja tetap seperti pada rezim sebelumnya. Di dalam rezim baru ini, regulasi negara yang melindungi kepentingan kelas pekerja digantikan dengan sebuah hubungan sosial baru dalam produksi, di mana kelas kapitalis mengendalikan produksi dengan mendisiplinkan kelas pekerja secara efektif. Bukan berarti, negara telah lenyap, tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, di mana tugas pokoknya adalah menciptakan pasar tenaga kerja yang lentur. Kelenturan berarti kebebasan luas bagi kelas kapitalis untuk mengangkat dan menendang kelas pekerja sebagai tanggapan terhadap siklus akumulasi. Rezim baru, dengan demikian, menciptakan lautan kelas pekerja yang tergolong ke dalam tenaga kerja cadangan mengambang.

Di bawah neoliberalisme, melalui strategi alihdaya (outsourcing), kita menyaksikan tumbuhnya tenaga kerja cadangan mengambang berdasarkan skema ‘tenaga kerja kontrak’ yang bersifat temporer atau ‘tidak permanen’ yakni, mereka yang dipekerjakan oleh kelas kapitalis dalam kurun waktu tertentu untuk pekerjaan tertentu.  Di Indonesia, misalnya, semenjak Badan Pusat Statistik (BPS) tidak menyediakan data status permanen dan non-permanen, maka kita mesti  hati-hati dengan jumlah tenaga kerja di atas 15 tahun yang tergolong sebagai kelas pekerja (buruh/karyawan), yang pada Februari 2013 mencapai 41,56 juta. Di balik angka-angka yang tergolong tenaga kerja aktif itu, tersedia penduduk lebih relatif yang mengambang. Mereka yang tergolong ke dalam tenaga kerja cadangan mengambang, juga adalah tenaga kerja musiman (seasonal workers) yang bekerja di sektor-sektor tertentu, khususnya pertanian atau perkebunan. Para pekerja ini dikerahkan untuk bekerja pada musim-musim tertentu, misalnya, pada musim panen, musim tanam, di pertanian atau perkebunan yang dikelola secara kapitalis. Tenaga kerja cadangan mengambang, dengan demikian, mencakup mereka yang hari ini tengah dieksploitasi tenaga kerjanya oleh kelas kapitalis, tanpa kepastian untuk dieksploitasi kembali esok hari.


Khusus terkait dengan wacana akademik mengenai keberadaan intelektual, menurut Anda dimana peran intelektual dalam perjuangan kelas sekarang?

Frasa ‘tanpa teori revolusioner tidak akan ada gerakan revolusioner’ sebenarnya bermakna bahwa teori dan praktik adalah dua aspek dari suatu totalitas yang sama. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Frasa tersebut bisa dielaborasi lebih jauh, tanpa teori tentang perjuangan kelas maka tidak akan ada gerakan yang berorientasi pada perjuangan kelas. Keterlibatan kaum intelektual dalam perjuangan kelas sebenarnya harus dilihat dari hal semacam itu. 
Oleh karena itu, seorang intelektual yang paradigma teoritiknya non-marxist tidak akan mempercayai dan terlibat dengan perjuangan kelas. Dia mungkin saja mengritik kapitalisme, tetapi jalan keluar yang ditawarkannya adalah konservatif, populisme, atau sekalian fundamentalisme agama tanpa menyoal perjuangan kelas sebagai aspek dasar kapitalisme.

Di Indonesia, kaum intelektual menganggap diri mereka bukan kelas tertentu di dalam masyarakat yang kapitalis. Di perguruan tinggi, para dosen tidak menganggap dirinya sebagai pekerja/buruh, misalnya.  Padahal, mereka memperoleh upah dari hasil jerih payah menjual energi intelektual mereka dengan mendidik mahasiswa. Pandangan ini terbentuk, terutama karena mereka tidak mempelajari teori marxisme atau tidak mempelajarinya secara lengkap. Mereka belajar teori ini, teori itu dan mencampuradukkan seperti mengocok adonan kue.  Ini berbeda dengan di negeri-negeri kapitalis maju, banyak dosen dan profesor seperti di universitas-universitas di Amerika Utara, bergabung dan aktif ambil bagian dalam serikat-serikat pekerja di universitas dan aktif dalam gerakan-gerakan kelas pekerja yang luas. Di kelas, mereka mengajar mata kuliah-mata kuliah yang berkaitan dengan Marxisme. Ketika menulis disertasi doktor, mereka menggunakan metode dan pendekatan marxis, dan sepanjang karier akademiknya menulis buku dan artikel di jurnal ilmiah dengan metode dan pendekatan yang sama. Tak mungkin, seorang intelektual dengan seluruh karier akademiknya menggunakan marxisme sebagai pisau analisa, tidak memilih perjuangan kelas sebagai praktik politiknya.

Mengajar Marxisme di universitas secara sungguh-sungguh itu sendiri adalah bagian dari perjuangan kelas. Mendidik mahasiswa untuk mengerti marxisme bukan pekerjaan mudah, karena keseluruhan kehidupannya (termasuk iklim di universitas) didominasi oleh ideologi borjuis dengan  pandangan dominan bahwa semua problem dalam masyarakat selalu direduksi sebagai problem psikologi setiap individu. Di Indonesia, iklimnya tentu jauh lebih sulit, karena  warisan peristiwa 65 masih sangat kuat.

Di Indonesia, kaum intelektual menganggap diri mereka bukan kelas tertentu di dalam masyarakat yang kapitalis. Di perguruan tinggi, para dosen tidak menganggap dirinya sebagai pekerja/buruh, misalnya.  Padahal, mereka memperoleh upah dari hasil jerih payah menjual energi intelektual mereka dengan mendidik mahasiswa.
Bagaimana Anda melihat masa depan perjuangan sosialisme di Indonesia sekarang? Apa saja tantangan-tantangan yang mungkin untuk diatasi dalam waktu dekat ini?

Kita tidak bisa menduga-duga seperti juru ramal mengenai masa depan sosialisme atau perjuangan untuk sosialisme di Indonesia. Kita harus melihat masa depan itu dari dalam struktur masyarakat kapitalis hari ini.  Apa yang khas dari struktur masyarakat kapitalis adalah kontradiksi: eksploitasi terhadap kelas pekerja yang semakin meluas. Berbasis kepada sebuah sistem eksploitasi kelas, maka perjuangan kelas (class struggle) merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari dalam hubungan produksi kapitalis. Kita tahu, neoliberalisme menyediakan ruang yang lentur bagi kapital untuk berpindah dan beroperasi di seluruh sudut permukaan bumi dengan meminimalkan semua hambatan, terutama kendala perjuangan kelas pekerja, khususnya di sentra-sentra produksi kapitalis yang sudah matang. Kerap, strategi kelas kapitalis dalam memenangkan perjuangan kelas adalah relokasi industri secara geografi ke lokasi atau teritori dengan intensitas perjuangan kelas yang rendah, upah buruh murah, dan negeri-negeri dengan pengaturan perburuhan minimal. Strategi ini menciptakan tenaga kerja cadangan mengambang di jantung kapitalisme maju, selain memerosotkan upah dari segi kepentingan kelas pekerja secara keseluruhan, karena kompetisi di antara mereka. Kenyataan ini memaksa perjuangan sosialisme yang dipimpin kelas pekerja mesti berlangsung dalam skala yang berlapis-lapis: lokal, nasional, dan internasional.

Kontradiksi lain adalah soal kerusakan alam. Dewasa ini, krisis lingkungan kerap dipandang sebagai sesuatu yang tidak terkait dengan kapitalisme. Bahkan, seolah kapitalisme punya wajah baik, bersahabat dengan alam: green capitalism.  Kalau ada soal perubahan iklim, misalnya, maka solusinya adalah memperkenalkan program-program karitatif pada masyarakat non-kapitalis yang tinggal di sekitar hutan, agar mereka tidak  mengganggu hutan. Janji-janji atau ilusi dibuat bahwa hutan mereka bernilai miliaran dolar, dan negeri-negeri antah berantah siap menyerahkan ‘zakat’ kepada mereka, karena telah menjaga alam. Inilah contoh paling vulgar, bagaimana kelas kapitalis mencari solusi krisis di dalam diri kapitalisme dengan memindahkan akar masalahnya pada masyarakat non-kapitalis.

Padahal, dengan menggunakan analisa materialisme sejarah (historical materialism), kita bisa dengan mudah melihat akar krisis perubahan iklim terletak pada akumulasi profit berbasis fosilisasi produksi di dalam proses produksi kapitalis. Apa yang disebut dengan ‘energy shift,’ yakni, peralihan dari penggunaan otot-otot manusia dan binatang dalam produksi prakapitalis menuju pemakaian energi fosil yang masif dalam produksi  kapitalistik yang kompetitif adalah akar masalah. Hanya dalam corak produksi kapitalis, karena tanpa berbasis pada perencanaan sosial (social planning), energi fosil digunakan secara anarkis di dalam proses produksi komoditi guna mengejar tingkat keuntungan yang tinggi dan cepat. ‘Energy shift’ juga menjadi keniscayaan, bukan saja dalam produksi, tetapi juga dalam sirkulasi komoditi yang sudah diproduksi. Didorong kompetisi, kecepatan realisasi/penjualan komoditi dengan skala yang meluas menjadi sentral, maka syarat utama sirkulasi adalah tersedianya alat transportasi yang cepat melebihi kecepatan alat transportasi berbasis tenaga binatang atau otot manusia.
 Penggunaan bahan bakar fosil dalam volume yang sangat besar  merupakan keharusan untuk percepatan perpindahan komoditi dalam jumlah besar dari satu titik, kota, pulau, negara, dan benua ke titik, kota, pulau, negara dan benua lain dengan jarak ribuan kilometer. Bagi setiap individu kelas kapitalis, kian cepat sirkulasi, berarti kian cepat perolehan profit. Artinya, kapitalisme mensyaratkan ‘fosilisasi’ sirkulasi.  Krisis iklim global dewasa ini, karena pembakaran fosil, oleh karena itu, berakar di dalam produksi dan sirkulasi komoditi kapitalistik yang anarkis, bukan sesuatu yang bersifat eksternal. Omong kosong kita bicara tentang ‘kapitalisme hijau’ karena watak kapitalisme hanya satu, keserakahan/greed.

Atas dasar itu, maka saya  kira masa depan perjuangan sosialisme, termasuk di Indonesia, semakin relevan di tengah-tengah kontradiksi  kapitalisme. Tentu saja, perubahan ke arah sosialisme bukan merupakan hasil yang terjadi secara otomatis dari kontradiksi-kontradiksi tersebut, tetapi juga mengharuskan intervensi politik secara sadar dari kelas pekerja dalam proses historis, berlandaskan kepada program-program sosialis yang dilengkapi dengan rencana strategis yang terelaborasi secara terang benderang. Mungkin tantangan utama dan mendesak dikerjakan dalam membangun sosialisme di Indonesia, adalah konsolidasi politik kelas pekerja dengan program politik kelas yang eksplisit. Perjuangan sosialisme yang dipimpin kelas pekerja mesti berlangsung dalam skala yang berlapis-lapis: lokal, nasional, dan internasional.

Di masa lalu, ketika hubungan-hubungan produksi kapitalis belum meluas, perjuangan sosialisme luar biasa berkembang, khususnya di zaman kolonial dan pra 1965. Kendati Orde Baru melalui semua instrumen kekuasaan  berhasil menekan sosialisme, tetapi sebagai sebuah pengetahuan ilmiah, sosialisme selalu relevan sebagai alternatif terhadap kapitalisme. Dewasa ini, di tengah-tengah ketidak-puasan terhadap kapitalisme, kita berhadapan dengan sebuah pandangan ‘populisme,’ yakni, suatu ideologi ‘jalan ketiga’ yang apolitik, yang secara berbarengan anti terhadap kapitalisme dan sosialisme. Populisme berorientasi kepada suatu pandangan romantis dan  konservatif tentang kehidupan suatu masyarakat yang organik, kritik terhadap industrialisasi, urbanisasi, dan modernitas, tetapi bersandar kepada cara pandang nostalgia dengan merujuk kepada kehidupan masa lalu yang harmonis sebagai sesuatu yang sama sekali tidak berubah, suatu masyarakat yang alamiah. Kehidupan pedesaan dianggap sebagai lokus dari mitos, legenda, simbol-simbol spirituil dan suci, nilai-nilai non-komersial, dan kesucian tradisi. 
Seperti Marxisme, populisme juga memiliki pesimisme mengenai kehidupan kapitalisme masa sekarang, dan optimisme tentang sebuah masa depan sebagai alternatif. Tetapi berbeda dengan Marxisme, populisme gagal untuk membedakan antara sebuah perjuangan anti-kapitalisme secara progresif dan modern, dan berusaha mencari jalan keluar dari masyarakat borjuis. 
Pandangan ini meromantisir anti-modern kapitalisme yang berbasis kepada nostalgia agraris dan sebuah visi yang reaksioner tentang  masyarakat yang alamiah. Alternatif terhadap kapitalisme juga bukan dengan mencari dalih argumentasi pada ajaran-ajaran agama, apalagi dalam bentuk fundamentalisme agama.

Pilihannya memang sederhana: sosialisme atau barbarisme (baca: kapitalisme). Dengan sosialisme, produksi direncanakan dan diorganisir oleh kelas pekerja secara sosial dengan maksud untuk memuaskan kebutuhan kemanusiaan secara luas, bukan untuk mengejar profit sebagaimana motif kelas kapitalis.  
Dengan tidak mengejar profit, sosialisme juga menghormati alam dengan menggunakan sumber daya alam yang tersedia secara rasional dan efisien. 
Syaratnya, alat-alat produksi yang utama tidak boleh dimonopoli oleh segelintir orang yang dapat memobilisasi penggunaannya untuk keuntungan mereka sendiri, tetapi sebaliknya diorganisir secara bersama-sama di bawah kepemilikan bersama.

0 komentar:

Posting Komentar