Senin, 30 September 2013

Perempuan Yang Tak Pernah Menyerah Tak Pernah Mencampakkan Mimpi[1]


September 30, 2013 | Hairus Salim HS

Seorang perempuan tua meninggal pada dini hari, 10 Oktober 2002. Harian Kompas, memuat beritanya, 10 Oktober 2002, dalam sebuah kolom kecil di halaman 10: 
“Sulami Djoyoprawiro Meninggal Dunia.” 
Dikatakan dalam berita itu bahwa Ny. Sulami, tokoh pergerakan perempuan Indonesia, meninggal dalam usia 76 tahun, karena serangan stroke, menyusul berbagai komplikasi lainnya. Siapakah Sulami?

Tokoh Sulami, sejak zaman Belanda, aktif di pergerakan perempuan. Saat Agresi II, ia membantu TNI melawan Belanda. Pada tahun 1958, Sulami menjadi wakil Indonesia dalam Kongres Perempuan sedunia di Wina. Sulami menjadi buron setelah peristiwa G30S. Ia ditangkap setelah 15 bulan berpindah-pindah tempat di Jakarta, dan kemudian diinterogasi di markas tentara Bukit Duri Jakarta.

Sulami baru diadili tahun 1975. Ia dipenjara selama 20 tahun potong masa tahanan di rumah tahanan perempuan di Tangerang. Sulami bebas bersyarat tahun 1984. Dia menolak grasi karena merasa tak bersalah. Sekeluar dari penjara, Ny. Sulami aktif sebagai Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 1965-1966).

Itulah secuil berita kematian seorang yang oleh Kompas disebut sebagai “tokoh pergerakan perempuan Indonesia”. J. J. Kusni, penyair yang kini eksil di Prancis, menulis sebuah puisi “Selamat Jalan” yang penuh dengan nada kehilangan dan penghormatan untuk Ny. Sulami:

SELAMAT JALAN, SULAMI! 

Matahari itupun tumbang di baratjatuh ke sungai ditelan barisan bukit-bukit ajaldan esok ia akan kembali tiba menebar cahayabagi yang melanjutkan pertarungan tak kenal usaikematian apalagi kelaliman yang bertangan hitamtak pernah tuntas melibas nyala jiwa pejuang
sambil membuka topi melambaimu menempuh perjalanan tak pulangkukatup bibir mengenang sekian nama yang berjatuhan tanpa sesalmembayangkan deraan demi deraan meninggalkan tanda di badanhari inipun, begitu balik belakangtak sempat lagi memikirkan rasa dukayang tertinggal
 kembali seperti sediakala
berhitung untuk jangan lagi kalah perempuan atau lelakisiapapun merekabisa dan seringkalahdemikian pun aku dan juga kau, sulamitapi yang pasti kau tak pernah menyerahsampai detik penghabisanketika dari jauh kuucapkan selamat jalanperempuan yang tak pernah menyerahtak pernah mencampakkan mimpisulami! kaulah ituselamat jalan, sulami duka pertarungan telah menguras seluruh airmatasiapa lagi di antara kita yang bisa menangis? siapa?maka di detik perpisahan begini yang sadar kulakukanhanya mengangkat kepalan kiri setinggi telingasetangkai mawar merahpun tak bisa kulempar ke makammuaku masih di jalan kembara, panjang, di luar ukuran kilometerrisiko perjalanan yang dipilih dan siapapun patut memilih makna dan sia-sia
 (Perjalanan 2002)

Sulami, dalam puisi di atas, dilukiskan sebagai perempuan yang tak pernah menyerah, yang tak pernah mencampakkan mimpi dan cita-citanya. Sepanjang hidupnya, Sulami terus berjuang dan melakukan perlawanan. Betapapun, perlawanan itu penuh dengan kesunyian yang menyayat dan ancaman menganga, serta (mungkin) akhirnya sia-sia. Penyair melukiskannya sebagai matahari, yang selalu setia dan tegar menyinari.  

Lukisan ini mungkin tidak berlebihan. Sulami adalah anggota Lasykar Wanita yang turut berjuang dalam kemerdekaan. Paska perang ia aktif di Gerwis, yang kemudian berubah menjadi Gerwani. Puncak karirnya adalah sebagai Wakil Sekretaris II DPP. Gerwani. Keterlibatannya dalam Gerwani menyeretnya ke dalam penjara sebagai tapol selama kurang lebih 20 tahun. Setelah pelepasannya, ia aktif di YPKP yang berjuang untuk kajian, advokasi, dan pemulihan hak korban pembunuhan 1965-1966.

Sebagaimana telah dipermaklumkan, Gerwani adalah organisasi yang dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka, seperti juga organisasi-organisasi onderbow atau yang dekat dengan PKI di segala lini, Gerwani juga dihancurkan dan dilarang beriring dengan penghancuran dan pelarangan PKI. Para aktivisnya ditangkap dan dipenjarakan, termasuk dalam hal ini Ny. Sulami.

Yang penting bukan saja penghancuran dan pelarangan Gerwani, tetapi juga –sebagaimana ditransmisikan dalam sejarah resmi, dalam buku-buku pelajaran, dan juga relief-relief Pancasila Sakti di Lubang Buaya–, para aktivis Gerwani digambarkan melakukan tindakan-tindakan dan pesta-pesta seks yang amoral dan menjijikkan sambil merayakan pembunuhan terhadap 7 jenderal. Gerwani telah mapan dipahami selama ini sebagai sekelompok perempuan yang permisif, bejat, dan rusak moralnya, yang melanggar batas-batas kesopanan dan kepatuhan seorang perempuan timur dan beragama.[2]

Seorang perempuan, seorang tua, dan seorang tapol (mantan) Gerwani, meninggal. Maka, siapa di sini memang yang sudi dan mau peduli?

Otobiografi Sulami

Mereka yang disebut sebagai tokoh PKI –dan juga yang dekat dengannya— memang telah mengalami depersonalisasi. Sejarah mereka dikubur dan ‘dijungkirbalikkan’ sedemikian rupa. Mereka sendiri, demi keamanan dan atau karena traumatik, banyak yang sengaja menutupi dan mengubur masa lalunya. Hanya sedikit orang yang (mau) kenal mereka. Lebih sedikit lagi yang mengingatnya. Jejak mereka seperti hilang ditelan bumi, dan hanya samar dalam sejarah Indonesia. Informasi mengenai mereka mungkin hanya sebatas catatan-catatan atau sebentuk daftar kronologis yang singkat.

Sulami adalah satu dari sekian tapol yang sempat meninggalkan sebuah otobiografii, Perempuan – Kebenaran, dan Penjara, yang diterbitkan oleh Penerbit Cipta Lestari, 1999. Otobiografi ini menarik untuk ditelusuri, karena dari sisi penulisnya, Sulami mungkin satu dari sedikit tapol perempuan yang menuliskan riwayat hidupnya, di antara berbagai otobiografi mantan tapol PKI laki-laki yang terbit beruntun sesudah tumbangnya rezim Soeharto.[3] Memang dalam populasi, laki-laki jauh lebih banyak yang ditangkap dan dipenjarakan dalam kaitan peristiwa 1965-1966 ini. Selain itu, secara teknis juga mungkin banyak dari para tapol laki-laki ini merupakan jurnalis, sastrawan, atau pengajar, yang nota-bene memiliki kemampuan menulis, lebih dari sekadar kemampuan melek-huruf.

Tapi ini bukan alasan yang mendasar. Pada kenyataannya, para tapol laki-laki memang memiliki jauh lebih banyak akses untuk menggemakan suara dan menampilkan diri mereka. Selain itu, rupanya sudut pandang laki-laki juga lebih dipentingkan daripada sudut pandang perempuan. Otobiografi Sulami penting dipandang pada titik ini: suatu sudut pandang perempuan terhadap peristiwa 1965-1966.

Menurut Budiawan (2003), pembelaan diri (self-defense), dalam arti pembelaan terhadap pemikiran dan aksi-aksi politik mereka sebelum tahun 1965 itu, dan terutama penolakan terhadap tuduhan dan stigmatisasi bahwa mereka terlibat di dalam pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965, menjadi unsur utama dalam kebanyakan isi otobiografi para mantan tapol PKI. Sebaliknya, mereka menuduh Soeharto sendiri sebagai pelaku, atau setidaknya mengambil keuntungan politik dari, pembunuhan itu. Termasuk –menurut Budiawan– dalam contoh pembelaan diri ini adalah otobiografi Sulami di atas.[4]

Membaca otobiografi Sulami memang cukup terasa nada pembelaan diri ini. Kendati demikian, dibandingkan dengan banyak oto/biografi mantan tapol PKI pria, otobiografi Sulami membawakan suara yang berbeda, sudut pandang seorang perempuan, sekaligus dengan itu subyek yang banyak diabaikan, namun sangat penting, yaitu mengenai kedudukan Gerwani dan kaitannya dengan “pembunuhan karakter” seluruh anggota PKI secara struktural dan kultural. Dengan memunculkan subjek itu, Sulami mencoba melawan pelukisan yang buruk dan jahat mengenai Gerwani selama ini. Katakanlah otobiografi ini semacam upaya pemulihan atau rehabilitasi nama Gerwani. Dengan demikian, tentu otobiografi ini bukan lagi semata pembelaan diri, dalam arti diri Sulami semata.

Arti penting pemulihan nama Gerwani ini terletak pada bahwa –sebagaimana dicatat dengan terperinci dan mendalam oleh Saskia dalam bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) –, pelukisan sistematis oleh militer akan sikap amoral, mesum, dan tari gila-gilaan, serta penggalakan pelacuran oleh Gerwani, menjadi titik masuk yang krusial dan signifikan dalam penghancuran dan pelarangan PKI dan segala onderbownya. Pelukisan yang intensif dan visual, minggu-minggu menyusul peristiwa 1965-1966 ini, diyakini telah mendorong kebencian yang tinggi di kalangan masyarakat terhadap Gerwani dan anggota PKI umumnya. Proses delegitimasi moral Gerwani ini betul-betul menghancurkan bukan hanya Gerwani saja, tapi juga seluruh gerakan PKI. Perempuan adalah tiang bangsa, jika para perempuan rusak, maka rusak dan hancurlah bangsa. Mungkin inilah logika kampanye penghancuran ini. Kelak nanti akan tampak bahwa penghancuran terhadap Gerwani ini juga telah menjadi awal dari re-konstruksi (gerakan) wanita yang lebih dianggap timur, feminim, santun, tahu diri, dan seterusnya, yang menjadi potret ideal (gerakan) wanita di masa Orde Baru.[5]

Bagaimana upaya rehabilitasi nama Gerwani ini dibangun, inilah yang hendak ditelusuri dari otobiografi Sulami? Dalam upaya membacanya, pertama saya akan membaca buku ini secara tekstual-analitis. Kedua, pembacaan intertekstual, di mana saya akan menghubungkan otobiografi ini dengan karya-karya lain yang mengambil subyek serupa. Dan akhirnya, suatu interpretasi dan “pemaknaan” terhadap otobiografi ini.   

Ringkasan Otobiografi
Otobiografi ini tidak cukup tebal. Hanya 104 + 12 halaman Romawi. Setelah pengantar penerbit, pendahuluan, sebuah puisi penulis yang berjudul “Gugatan Anak Manusia”, dan kemudian disusul dengan isi utama buku yang terdiri dari 14 bagian yang singkat: antara 2 hingga 12 halaman. Selain itu, ada beberapa foto dokumentasi penulis dengan para kameradnya aktivis Gerwani maupun dengan rekannya di penjara, yang tampak sudah sangat buram.

Cover depan buku ini didominasi warna hitam dan merah glossy, dengan sketsa tiga perempuan –dua di antaranya berdiri dan berpakaian ala militer, sedangkan yang di tengah duduk dengan memakai kebaya. Wajah mereka tampak mendongak. Jauh di bagian belakang ada sketsa close up seorang perwira militer yang berukuran besar, seakan menatap ketiga perempuan itu. Di bagian kiri atas tertulis: “kisah nyata – wanita dipenjara 20 tahun, karena tuduhan MAKAR dan SUBVERSI”.

Jadi jelaslah yang hendak disajikan oleh Sulami adalah “kisah”. Namun, ia bukan sekadar “kisah”, semacam karangan, fiksi, sesuatu yang mengada-ada, tapi sebuah “kisah yang nyata”, peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi, suatu “fakta”. Bahwa adalah “fakta” yang dikemukakan buku ini tampak dalam pengantar penerbit. Ditegaskan bahwa selama ini orde baru memblokade media informasi dan penerbitan yang mengungkapkan fakta-fakta sekitar G-30S. Hal ini membuat masyarakat dan bangsa Indonesia menerima (sejarah G-30-S) secara sepihak. Tak ada kebenaran selain yang bersumber dari penguasa Orde Baru. Usaha membeberkan fakta dan kejadian sesungguhnya akan berhadapan dengan penguasa dan akan dipenjara. Namun, menurut pengantar penerbit ini, tak selamanya kebenaran bisa dimonopoli dan dipasung. Sejarah adalah fakta yang selalu tak dapat dipalsu (h. VI).

Bagian awal buku ini bertutur mengenai bagaimana Ny. Sulami hidup sebagai buronan menyusul peristiwa 1965 itu. Lari dari satu rumah ke rumah lain. Dari satu kota ke kota lain. Makan dan tidur tidak terpenuhi dengan baik. Perasaan terus terteror, diliputi ketegangan dan waswas. Sembari menceritakan kisah pelarian ini, Sulami juga mengutarakan berbagai ketidakmengertiannya mengenai apa yang terjadi dan mengapa ia –dan teman-temannya– dikejar dan diburu. Konon, perburuan terhadapnya dilakukan atas perintah Pangdam Jaya waktu itu.

 Akhirnya, setelah kurang lebih 16 bulan sebagai buron, Ny. Sulami tertangkap pada 1967 di Jawa Timur. Ia pun dibawa ke markas tempat tahanan dikumpulkan dan disiksa. Cerita tertangkap, terkurung, dan bagaimana ia menyaksikan dan menjalani penyiksaan sebagai tahanan serta cerita penyiksaan dan atau pembunuhan terhadap mereka yang dituduh anggota PKI menjadi inti bagian kedua dari buku ini. Tentara berbaju loreng disebutkan menjadi pelaku utama penyiksaan. Sedangkan yang paling ditakuti dari para pemeriksa/penyiksa ini adalah Komandan ‘Operasi Kalong’.

Penyiksaan tampaknya menjadi pengantar untuk memasuki fase interogasi, yang diceritakan Ny. Sulami dalam bagian ketiga dari buku ini. Interogasi, tentu bukan semata pertanyaan untuk menjernihkan duduk perkara, tetapi suatu metode penggalian informasi lebih lanjut yang dibarengi dengan gertakan dan siksaan. Interogasi dengan demikian sejajar dengan penyiksaan. Ada banyak informasi yang hendak digali penguasa: tentang siaran terkenal PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno) yang berisi dukungan pada instruksi Soekarno untuk menyelesaikan peristiwa G-30-S secara hukum, tentang jenderal-jenderal penentang Soekarno dalam peristiwa pemboman Istana Merdeka, Cikini, dan lain-lain serta tak ketinggalan soal keterlibatan Gerwani dalam G-30-S.

Bagian keempat berkisah tentang penempatan dan kehidupan Sulami di dalam penjara. Dalam penjara yang resminya untuk kriminal itu pesakitan dibagi dua: narapidana perempuan kriminal (napi) dan tahanan perempuan politik (tapol). Tapol dengan demikian dicampur dengan napi. Di bagian ini, selain cerita kehidupan dan kegiatan dalam penjara, Sulami juga banyak mengungkapkan kenangannya sebagai mantan lasykar wanita dan ceritanya sebagai saksi dalam pengadilan Sudisman, Sekretaris Politbiro CC PKI. 

Setelah sembilan tahun dalam tahanan, Sulami bersama tiga rekannya  baru diajukan ke depan pangadilan. Meski bagian ini berjudul “Pengadilan subversib”, tapi pada bagian kelima ini Sulami belum masuk pada soal pengadilan yang disebutnya “pengadilan sandiwara” ini, tapi cerita tentang bagaimana saksi direkrut dan kesaksian dirancang, serta motivasinya untuk maju ke pengadilan. Ketiga hal ini merupakan pilar penting penghancuran Gerwani. Pengungkapan secara jernih ketiga hal ini, dengan demikian, juga menjadi titik penting rehabilitasi Gerwani yang hendak dilakukan Sulami.  

Dalam bagian keenam yang bertajuk “Pemeriksaan Saksi”, Sulami memaparkan lebih terperinci bagaimana saksi direkrut dan kesaksian direkayasa. Sulami yang juga menjadi saksi tak luput dari pemeriksaan. Seperti sebelumnya pemeriksaan juga diiringi dengan siksaan, suatu metode yang disebut Sulami mengkombinasikan cara-cara menyiksa para agen Jepang dan CIA. Namun dalam pemeriksaan saksi kali ini, Sulami luput dari penyiksaan karena si pemeriksanya –yang memanggilnya mbakyu– kenal ia semasa bergerilya, meski Sulami sendiri tak mengenalnya. 

Pada 1 Januari 1976, Sulami dan ketiga rekannya diajukan ke depan pengadilan. Menurut Sulami, ada banyak dagelan dan lelucon yang berlangsung dalam proses pengadilan itu. Namun, Sulami hanya sedikit menceritakannya: misalnya jawaban hakim atas pertanyaan pembela bahwa bukti-bukti diambil dari file perkara Sudisman. Setelah berlangsung enam bulan dengan sekali sidang setiap minggu, Sulami diputuskan menerima hukuman 20 tahun potong masa tahanan. Naik banding yang diajukan jaksa ditolak dan Pengadilan Tinggi justru memperkuat keputusan tersebut.

Selanjutnya, bagian kedelapan hingga empat belas,  berisi cerita-cerita yang penuh dengan human interest: kegiatan-kegiatan para napi dan tapol di penjara seperti bagaimana untuk mengisi waktu, mengatasi sepi dan rasa rindu: merenda, bertanam, berolah raga, mengikuti ibadah, mencuri-curi makanan, nonton TV atau bacaan, tentang hubungan antara napi dan tapol, dan terutama bagi Sulami, kegiatan MENULIS.

Membaca Otobiografi Sulami

Dalam bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999), Saskia Eleonora Wieringa menjelaskan proses penelitiannya mengenai sejarah, pemikiran, dan penghancuran Gerwani. Berkait dengan subjek dan informan penelitiannya, Saskia mengemukakan bahwa “…banyak perempuan yang bersemangat dan berani telah membantu pekerjaan saya, dan mendorong agar saya tidak berhenti di tengah jalan. Di antara mereka malahan ada yang minta agar saya menuliskan sejarah mereka, oleh karena mereka mengingini agar sejarah itu dilestarikan. Pekerjaan ini tentu saja sangat berbahaya apabila mereka sendiri yang harus melakukannya” (hlm. 31).

Yang dimaksud Saskia dengan “mereka” di atas adalah para tapol mantan anggota Gerwani. Mengapa mereka menginginkan sejarah mereka dituliskan dan mengapa sangat berbahaya bagi mereka jika melakukan sendiri pekerjaan ini? Jawaban pertanyaan ini cukup jelas: Gerwani terlibat dalam peristiwa G30S PKI. Selain itu, ia telah dituduh melakukan perbuatan amoral, menjijikkan, dan gila-gilaan. “Penulisan sejarah mereka” yang mereka inginkan tentu dimaksudkan sebagai pelurusan dan pencucian nama mereka. Jelas, di zaman Orde Baru, tidak mudah untuk melakukan ini. Karena itu, “permintaan” kepada pengamat asing yang memiliki simpati kepada mereka, mungkin bisa menjadi alternatif.

Sulami mungkin termasuk dari mereka yang menginginkan perlunya sejarah dirinya dan rekan-rekannya itu dituliskan. Tapi, dengan penerbitan otobiografinya itu, bisa dikatakan bahwa selain “minta” untuk dituliskan, ia juga ingin menuliskan sendiri sejarahnya.

Dalam pembacaan saya, ada dua hal utama yang hendak diungkapkan Sulami dalam/dengan otobiografi ini. Pertama, protes atas penahanan dan penyiksaan yang tak manusiawi terhadap mereka. Kedua, menjernihkan namanya dan nama Gerwani yang telah dihancurkan. Sulami tidak masuk pada debat soal apa yang sesungguhnya terjadi pada September 1965 itu, yang rumit dan kontroversial tak berujung. Baginya, ini soal para elite politik –mungkin juga para lelaki–, yang tidak ada kaitannya dengannya sebagai non-elite dan –juga sebagai perempuan. Penghindaran untuk membicarakan tema ini, sadar atau tidak sadar, merupakan suatu strategi jitu yang menunjukkan alibi Sulami khususnya, dan Gerwani umumnya, yang memang tidak tahu menahu perkara G30S itu.

Jauh sebelum memutuskan untuk menulis otobiografi, motivasi yang pertama itu telah mendorong Sulami untuk memilih maju ke depan pengadilan:

“Pertimbangan saya sudah bulat untuk siap maju ke pengadilan. Karena dari Gerwani, sampai Ketuanya pun, tidak ada yang diajukan ke pengadilan, karena tak ada bukti keterlibatan dalam G30S. Kalau saya tidak maju ke pengadilan, dan menunggu saja sampai saat seluruh tahanan dibebaskan –dan itu memang biasa—semua kebohongan dan kekejaman penguasa tidak akan terbuka. Kalau kami berempat diadili, fakta-fakta kejahatan dan kekejaman mereka, sadisme mereka untuk mengobarkan nafsu pembunuhan, akan bisa diungkapkan.  Saya yakin, pembelaan yang jujur lambat atau cepat akan tersebar luas. Seandainya pun pers nasional tidak bisa diandalkan kejujuran dan kemauan baiknya, biar pun sedikit toh ia akan memuat berita tentang berlangsungnya pengadilan… Inilah kebaikan yang akan dapat dipetik dari berlangsungnya pengadilan” (h. 48)

Saya tidak sempat memeriksa apakah koran-koran waktu itu mempublikasikan, sesedikit apapun, tentang proses pengadilan itu, seperti yang diharapkan Sulami. Namun, tujuannya untuk maju ke depan pengadilan itu sedikit banyak tetap memberi manfaat. Rekaman-rekaman proses pengadilan itu menjadi suatu dokumen yang sangat berharga sebagai sebuah testimoni.[6] 

Sementara dalam kaitan dengan tujuan kedua, penting dicatat sebelumnya bahwa Sulami adalah orang yang dituduh memerintahkan para anggota Gerwani untuk hadir di Lobang Buaya, seperti pengakuan empat orang saksi (h. 44). Sulami menolak tuduhan itu. “Memang ada empat orang perempuan ikut kerja di dapur umum Lobang Buaya, tetapi mereka itu tidak diperintah oleh organisasi,” (h. 21). Itu tuduhan palsu, yang lahir dari kesaksian orang di bawah ancaman, katanya.

Ia juga membantah keras bahwa para anggota Gerwani melakukan penyiksaan dan pesta seks gila-gilaan terhadap para jenderal yang dibunuh itu. Sulami menulis:

“…Orang tidak akan mengerti bahwa rekaman film video yang mempertunjukkan “tari genjer-genjer di tengah kehidupan porno” yang diperlihatkan dalam sebuah sidang Mahmilub di Jakarta untuk mengadili seorang penting itu adalah buatan Bukit Duri. Petugas yang beringas telah berhasil menggiring para tapol muda untuk menari-nari di aula penjara, dan itulah yang disiarkan oleh semua koran di Jakarta seolah terjadi di Lobang Buaya.” (h. 61)

Demikian juga dengan soal saksi dan kesaksian, banyak yang bersifat palsu, karena orang yang diminta kesaksian memang bukan yang sebenarnya dan atau melalui suatu proses interogasi dan penyiksaan yang kejam. Ketika bertemu mayor pemeriksa yang mengenalnya, Sulami mengemukakan hal ini, seperti ditulisnya:

…Pertama, mereka itu bukan anggota Gerwani. Kedua, mereka masih kanak-kanak dan tidak paham politik. Ketiga, pemeriksaan dilakukan dengan kekerasan dan ancaman berat, maka hasil pemeriksaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan…” (h. 57).

Bahkan, menurut Sulami,  ada hal yang lebih keterlaluan dari itu, yakni bagaimana dengan semena-mena militer menangkap saksi:

“…Seorang pelacur dari Kota Paris (Senen) Jakarta, buta huruf, ditangkap patroli militer tengah malam dekat Jatinegara karena tanpa KTP. Dia menyetujui berita acara karangan pemeriksa, yang menyatakan bahwa ia adalah anggota Gerwani Jakarta. Dalam berita acara itu ia mengaku berada di Lobang Buaya. Tugasnya memberikan konsumsi seks kepada 200 orang tentara pemberontak. Ia bubuhkan cap jempolnya karena takut bedil. Juga karena dirayu dengan janji akan diberik sejumlah uang dan kebebasan. Orang macam itulah yang akan dijadikan saksi hukum dalam pengadilan subversi…” (h. 44-45).

Bagi Sulami, praktek-praktek mencomot saksi dan merancang kesaksian palsu semacam inilah yang dilakukan militer untuk membunuh karakter Gerwani. Selain pelacur di atas, menurutnya, ada lagi Sainah, seorang gelandangan di bawah jembatan Kebon Sirih yang ditangkap karena namanya mirip Inah, istri oknum yang dicurigai ikut melatih di Lobang Buaya. Ada juga “Jamilah” asal Trenggalek dan Emi, seorang pelacur, yang ditangkap karena nama mereka mirip dengan Jamilah dan Emi, dua orang sukarelawati yang sedang diburu (h. 45), serta Yos, anak angkat seorang Ambon di Halim.

Dengan mengemukakan itu semua, Sulami hendak membantah seluruh tuduhan bejat dan amoral yang dialamatkan ke Gerwani. Sebaliknya, bagi Sulami, justru para tentara itulah yang telah melakukan hal bejat dan amoral, seperti melakukan pemerkosaan dan penyiksaan terhadap mereka yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa.

Pengungkapan Sulami ini sejajar dengan beberapa penelitian lanjut, seperti yang dilakukan oleh Ben Anderson (1987) yang berangkat dari otopsi dokter atas mayat para jenderal itu, bahwa tidak ada kemaluan atau bagian tubuh jenderal yang dipotong-potong, sebagaimana digambarkan dalam laporan resmi. Semua bagian tubuh para jenderal itu masih utuh, meski jelas ada bekas-bekas pemukulan dan penembakan.

Tesis serupa juga dikeluarkan oleh Saskia (1999) yang merekonstruksi peristiwa itu berdasar wawancara dan analisis terhadap berita-berita dan foto-foto di koran hari-hari itu, bahwa tidak ada pesta-pesta seks yang mengiringi kematian atau mengelilingi mayat para jenderal tersebut. Seluruh penggambaran itu, hanyalah rekayasa dan isapan jempol penguasa saat itu sebagai kampanye penghancuran moral terhadap PKI .

Kajian Saskia, terutama bagian 11 (h. 498-549) ini penting dalam kaitan membaca otobiografi Sulami ini. Ini karena adanya beberapa kesejajaran antara yang diungkapkan Sulami dan hasil kajian Saskia ini. Bahkan dalam beberapa hal kajian Saskia mengungkapkan jauh lebih lengkap dan detil. Misalnya menyangkut keberadaan anggota Gerwani di Lobang Buaya. Diakui mereka memang berada di sana sewaktu kejadian, tetapi sama sekali bukan perintah organisasi. Selain itu, kehadiran mereka juga tidak berkaitan dengan peristiwa itu, tetapi sebagai persiapan sukarelawan/ti Ganyang Malaysia. Dan yang lebih penting lagi, adalah omong kosongnya isu pesta seks, bejat, dan amoral menjelang pembunuhan para jenderal itu. Nama Emi (Emmy), Jamilah, Sainah (Saina), dan Yos (Yossy) yang disebut Sulami juga muncul dalam kajian Saskia, jauh lebih detil dan terperinci.     


Pekik Yang Serak

Saya menyebut buku ini sebagai otobiografi, semata karena ia mengungkapkan pengalaman hidup seseorang yang dituturkan dari orang pertama tunggal “aku” atau “saya”. Namun otobiografi Sulami tidaklah lazim, dalam arti ia tidak berawal dari kelahiran hingga akhir hayatnya. Yang diceritakannya hanyalah sepenggal dari sejarah hidupnya yang panjang. Ia mungkin lebih merupakan suatu epifani, yang mengambil suatu momen dan pengalaman interaksional yang meninggalkan jejak mendalam pada hidup penulisnya. Pengalaman ini merupakan suatu momen krisis dalam riwayat hidupnya, yang membentuk struktur makna fundamental kehidupannya. Dalam hal Sulami, penulis otobiografi ini, pengalaman itu adalah 20 tahun dipenjara di bawah pemerintahan Orde Baru.

Maka sebagai suatu epifani, pembaca tentu tidak disuguhkan perjalanan Sulami sejak kecil, tentang keluarganya, tentang kampungnya, pendidikannya, masa remajanya, dan seterusnya. Rupanya seluruh pengalaman ini telah termakan oleh pengalaman tragik 20 tahun dalam penjara ini. Karena itu, dalam pembuka tulisan, penulis langsung menyuguhkan ceritanya menjadi buronan.[7] Suatu yang bagi pembaca mungkin terasa tiba-tiba, klimaks serta merta. Sampai akhir buku tak ada penjelasan yang cukup mengapa ia ditangkap. Penjelasannya hanya muncul sambil lalu, seperti sebuah transkripsi ingatan ketika menjawab pertanyaan dalam interogasi. Misalnya karena ia pimpinan Gerwani yang dituduh menyuruh para anggotanya bertugas di Lubang Buaya. Tetapi mengapa Gerwani dihantam? Penjelasannya, karena mereka senang mendemonstrasi dan mengganyang koruptor, OKB (Orang Kaya Baru), kabir (kapitalis-birokrat), dan juga karena fitnah bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan para jenderal. 

Singkat sekali. 

Sebagai sebuah epifani, pengalaman tersebut demikian personal sekali. Sedemikian tragiknya, hanya dialah yang menyandang penderitaan itu, sendirian. Dalam ceritanya, seperti tak ada orang yang menemaninya. Sulami memang kadang muncul dengan predikat orang pertama jamak, “kami”, yang merujuk pada “kami” anggota Gerwani, namun semua sangat anonim. Sewaktu pengejaran sebagai buron dan awal penahanan, ada disebutnya nama temannya “Lina”, tetapi tokoh yang dalam cerita awalnya dianggap sudah seperti adiknya ini, tak muncul lagi hingga akhir buku. Demikian juga ketika ia diajukan ke muka pengadilan, ia hanya menyebut ketiga rekannya sebagai terdakwa kesatu, terdakwa kedua, terdakwa ketiga, terdakwa keempat sebagaimana sebutan dalam sidang pengadilan (h. 63). Kita tahu bahwa Sulami merupakan terdakwa kesatu dari penjelasan di bagian lain bahwa Sulami dihukum 20 tahun sebagaimana terdakwa kesatu, sedangkan terdakwa yang lain di bawah 20 tahun. Tentu Sulami bukan tidak tahu dan tidak ingat nama ketiga rekannya ini, tetapi anonimitas rupanya memang menjadi tipikal narasi ini. Ia lebih senang menyebut dengan “mereka”, “teman-teman para tapol” atau “teman-teman napi.”

Narasi dan argumentasi yang dibangun oleh Sulami dalam upaya menjernihkan nama Gerwani dan protes atas penyiksaan dan penahanan yang tak manusiawi demikian “terbatas.” Banyak sekali dari ceritanya yang meloncat-loncat dan kurang terperinci serta data-datanya yang tidak lengkap. Untuk koherensi dan ketajaman argumentasi, karya Saskia, Anderson, Budiarjo, dan Sudjinah –dan beberapa lainnya– tentulah bisa melengkapi.

Namun, otobiografi ini tampaknya memang harus dilihat bukan dari kekuatan narasi, koherensi, dan argumentasi yang dihasilkannya, tetapi lebih pada bagaimana dan mengapa otobiografi ini ditulis. Pada titik inilah, saya kira, kita melihat semangat resistensi. Resistensi yang terus menyala ditiup hembus angin, dengan cahaya yang tak seluruhnya merah. Pandangan, dengan demikian, bukan diarahkan pada tulisan yang diproduksi, tetapi pada bagaimana “praktik” penulisan dan pembacaan atasnya. Menulis adalah praktek perlawanan yang tidak gampang, namun biasanya ia menjadi pilihan alternatif seorang pariah, seorang subaltern.

Pertama-tama yang dihadapi Sulami dalam hal menulis adalah larangan menulis di dalam penjara itu sendiri. Menulis adalah suatu pelanggaran yang besar. Menulis dalam penjara –sebagaimana dalam berbagai memoar para pesakitan politik— adalah pekerjaan yang penuh resiko, petualangan yang membahayakan. Namun dengan tekad seorang revolusioner, Sulami memutuskan untuk menulis dan memutar akal bagaimana bisa menulis (h. 33). 
Keinginan menulis itu meronta dan seperti menyeruak ingin keluar dari pikirannya. Untuk sementara, keinginan itu terpaksa harus ditekan dan hanya muncul dalam bayangan, bahkan pun saat melakukan pekerjaan lain. “Yang saya pikirkan waktu merenda itu ternyata mengasyikkan. Saya sampai hafal, dan tidak membosankan. Yaitu sebuah kerangka novel… Kadang-kadang kalau otak sedang jalan merenda cerita dan di jendela ditunggui napi yang ingin menceritakan riwayat hidupnya, saya ingin marah…” (h. 40), demikian tulis Sulami tentang gejolak hatinya yang ingin menulis. Ia bahkan akan marah jika khayalannya menulis itu diganggu.  

Ia akhirnya bisa menulis karena memanfaatkan mesin tulis kantor yang dipinjamkan padanya sebagai orang yang bertugas menyusun cerita atau sandiwara untuk perayaan-perayaan hari besar Natal, Lebaran dll. Mesin tulis itu sungguh anugerah yang besar, namun Sulami harus taktis dan efisien memanfaatkannya. Ia mengaku, setelah mendapatkan mesin tulis itu, ia “menulis seperti orang gila”. Ia menulis banyak hal: cerpen, novel, naskah sandiwara, novelet, dan sajak. Sulami melukiskan peluang menulis ini sebagai “menerkam kesempatan dalam kesempitan dalam penjara.” (h. 78).

Berikutnya, ia mendapat sumbangan kertas tik dan alat tulis dari seorang profesor yang berkunjung dengan para mahasiswanya ke penjara itu. Hatinya girang bukan kepalang. Ia makin optimis, dan berharap sebelum pelepasannya tahun 1986, seluruh tulisannya itu bisa selesai dan diterbitkan. Namun seandainya pun tak bisa diterbitkan, baginya tidak masalah. Ia sudah mendengar bahwa seorang bekas tapol tak diizinkan mempublikasikan tulisan yang dapat mempengaruhi pendapat umum. “Tapi saya tak ada urusan dengan itu. Bagi saya, yang penting menulis, sekali lagi menulis!” (h. 79), demikian pekik Sulami. Kita lihat di sini, bagaimana signifikannya menulis baginya. Menulis pertama-tama adalah upaya pembebasan diri. Menulis adalah mengeluarkan pikiran yang meronta dalam kepala. Menulis adalah suatu perjuangan untuk keluar dari siksaan fisik dan masuk ke suatu ruang batin yang sangat pribadi, sunyi, bebas dari kungkungan surveillence dan disiplin penguasa.[8] 

Sulami memang menguasai baca tulis, namun Sulami bukanlah seorang penulis yang terampil dan piawai. Ia tidak biasa menulis, dalam pengertian untuk dibaca publik. Hal ini dengan demikian menjadi kendala berikut dari perjuangannya untuk menulis. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya menorehkan kata-kata. Tetapi tetaplah kelihatan bahwa ia bukan pencerita yang lancar dan runtut. Unsur dramatis yang biasanya mencolok dalam karya-karya otobiografis tampak tidak kelihatan dalam otobiografi ini. Misalnya dalam menceritakan tentang penyiksaan, ia menampilkan bahasa yang singkat dan sederhana, serta abai dengan detil. Ia lebih senang untuk langsung menunjukkan pada konklusinya, bahwa penyiksaan yang dilakukan itu jauh lebih kejam daripada yang pernah dilakukan oleh Belanda maupun Jepang (h. 16-17). Ia seperti hendak langsung menampilkan kenyataan yang paradoks dan ironis.

Dan tak ada lain dari paradoks dan ironi ini, kecuali penangkapan dan penyiksaan terhadap Sulami sendiri. Sulami adalah laskar wanita yang ikut berjuang pada zaman Jepang, Belanda, dan ketika zaman kemerdekaan terlibat penuh dalam gerakan emansipasi wanita. Seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada bangsa dan negara. Dalam otobiografi ini, kita akan banyak menemukan lukisan kenangan Sulami sebagai mantan pejuang. Meski fokus cerita sebenarnya soal pengalamannya dipenjara dan disiksa serta upaya rehabilitasi nama Gerwani, namun kenangan masa muda berjuang ini mengambil tempat yang cukup banyak di dalam narasi. Pengalaman masa muda sebagai laskar ini merongrong koherensi epifani ini bagai sebuah tusukan tajam. Yang paling menarik dari ceritanya ini adalah ketika ia lolos dari penyiksaan yang biasa mengiringi pemeriksaan menjelang pengadilan, karena mayor pemeriksa itu mengenalnya sebagai rekan dalam perjuangan gerilya kemerdekaan (bagian 6). Inilah paradoks dari diskontinuitas hidup Sulami.

Pola perbandingan yang penuh paradoks dan ironi, tentu memiliki kekuatan naratif tersendiri. Ia bisa menghindarkan penulis dari membuka luka lama. Melukiskan suatu bentuk penyiksaan yang tak manusiawi dengan detil dan luas, tentu secara psikologis bisa membuka luka kembali. Bisa menyeret diri ke dalam kecengengan dan sikap pasrah, menyerah. Pelukisan yang lebih singkat, dengan pola paradoks dan ironi, tentulah lebih aman.

Paradoks dan ironi lain yang ditampilkan Sulami tentulah kemampuannya untuk mentertawakan diri sendiri dan juga “musuh”-nya. Pengadilannya disebut sebagai dagelan dan penuh lelucon. Namun, ia tak menceritakan hal ini lebih lengkap. “Sayang saya tak dapat melukiskan semuanya di sini” (h. 62), katanya. Atau, “Banyak pengalaman dalam persidangan yang tak bisa diungkapkan di sini, karena sempitnya tempat” (h. 63), tulisnya.

Sulami memang telah mengerahkan daya dan ingatannya. Ia juga sepenuh hati merekam pendapat dan pengalaman rekan-rekannya ketika menuliskan otobiografi ini. Dan sebagaimana ditegaskan di atas, pekerjaan ini tidaklah mudah.

Mungkin bukan semata masalah kendala teknis dan terutama restriksi politis itu saja yang membuat mengapa teks ini tampil seperti sebuah lagu rap. Patah-patah dan terdapat banyak diskontinuitas di dalamnya. Di luar masalah teknis-politis itu, soal yang lebih besar adalah apa yang disebut sebagai “ingatan” di dalamnya. Banyak hal yang tidak jelas atau bahkan sama sekali tidak ditampilkan Sulami, bukan karena ia lupa atau alpa, tapi (mungkin) ia memang sengaja hendak melupakannya. Ada sisi-sisi dari pengalamannya itu yang mungkin hendak didekapnya sendiri dalam ingatannya, selain ada yang hendak dibagikan secara terbuka. Tampaklah dalam menulis otobiografi ini perjuangannya untuk di satu sisi “melupakan” sekaligus “mengingat” sisi-sisi kejadian tersebut. Baginya, peristiwa itu memang tidak bisa dilupakan, tetapi juga sangat berbahaya untuk diingat.    

Pembaca akhirnya memang tak mendapat keterangan yang cukup mengapa Sulami menjadi saksi pengadilan Sudisman, tentang Siaran Radio PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno),[9] tentang tim pemeriksa yang disebut Operasi Kalong, dan lainnya. Jika demikian, lantas bagaimana dengan “fakta” yang hendak dikemukakan Sulami, seperti ditegaskan penerbit dan ditulisnya sendiri di bagian pengantar: “Biar harta tak punya, nyawa masih ada. Dan berniat terus menulis fakta yang penulis alami” (h. VIII)? 

“Menampilkan fakta” tentang peristiwa 1965-1966 itu tampaknya memang telah menjadi obsesi umum, termasuk mungkin Sulami, dan banyak rekan-rekannya dan juga lawan politiknya. Melimpahnya karya di sekitar tema ini menunjukkan kuatnya arus kontestasi dalam upaya merepresentasikan “fakta” mengenai tragedi politik ini. Jelaslah bahwa kontestasi ini tidak akan pernah berakhir. Upaya untuk mengkerucutkan fakta ini hampir dengan seketika berarti juga memuaikannya.

Akhirnya, segala cara dan upaya untuk merepresentasikan fakta ini telah mentransformasi diri menjadi “fakta” itu sendiri. Demikianlah dengan otobiografi Sulami ini, yang penting bukanlah mengenai “fakta” kejadian dalam tulisan itu sendiri, tetapi bagaimana cara Sulami mengingat dan merepresentasikan kejadian tersebut. Seluruh apa yang telah diingat Sulami, cara ia mengingatnya, perjuangan untuk mengingat-ingatnya, dan bahkan keengganannya untuk mengingat bagian-bagiannya, serta kemudian bagaimana ia merepresentasikannya adalah “fakta” yang sama pentingnya dengan apa yang secara akademis disebut sebagai “fakta sejarah.”

Selain itu, kalaupun ada “fakta” yang hendak ditampilkannya, maka fakta itu bukanlah hal yang besar-besar: tentang intrik politik elit Jakarta, tentang pertarungan ideologi-ideologi besar, tentang siapa yang salah dan benar dalam konflik itu, dan lainnya, tetapi hal-hal yang dekat dengannya: tentang keluarga yang hancur oleh penangkapan, tentang penyiksaan dan perkosaan terhadap gadis-gadis belia, tentang anak yang terpisah dari orang tuanya, kehidupan dalam penjara, dan seterusnya. Boleh dikata inilah bagian dari fakta-fakta ‘sisi bawah’ tragedi 1965 ini yang banyak luput dari oto/biografi atau kajian-kajian yang ada selama ini. Tampaknya dari sudut pandang perempuanlah “sisi bawah” dari sejarah ini bisa ditampilkan.[10]

Otobiografi ini memang penting dilihat sebagai suatu praktik pembebasan dan resistensi. Meski, ia hanya sebuah pekik yang serak.  
___

Daftar pustaka
Anderson, Ben, “How Did the general Die?”, Indonesia, 1987.
Budiarjo, Carmel, Surviving Indonesia’s Gulag: A Western Woman Tells Her Story, Cassel London, 1996.
Budiawan, Breaking The Immortalized Past: Anti-Communist Discource and Reconciliatory Politics in Post-Suharto Indonesia, Disertasi Tidak Dipublikasikan, Universitas Nasional, Singapura, 2003.
Denzin, Norman K., Interpretive Biography, Sage Publications, London
Smith, Louis M., “Biographical Method”, dalam Handbook of Qualitative Research, Norman K. Denzin – Yvonna S. Lincoln (ed.), Sage Publications, 1994.
Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang, Pustaka Utan Kayu, Maret 2003.
Sulami, Perempuan – Kebenaran dan penjara, Cipta Lestari, Cetakan Pertama, 1999.
Wieringa, Saskia Eleonora, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya, Cetakan Pertama, 1999.


[1] Judul diambil dari puisi karya J.J. Kusni seperti dikutip dengan lengkap di tubuh tulisan ini. Tulisan ini diambil dari buku Perempuan Multikultural, Desantara, 2004.
[2] Tentu saja, terdapat perbedaan pandangan antara Gerwani dan gerakan-gerakan perempuan lainnya, mengenai berbagai aspek kehidupan: agama, pendidikan, nasionalisme, dan lainnya. Namun, tak sedikit juga persamaan-persamaan di antara mereka, yang memungkinkan antara mereka bisa saling bekerja sama. Selain itu, pandangan di dalam gerwani sendiri tidaklah monolitik, tapi juga kompleks, beragam, dan dinamis. Untuk lebih rinci mengenai ini, tengoklah studi Saskia (1999) yang sangat luas dan terperinci.              
[3] Selain Sulami, setahu saya, tapol perempuan lainnya yang menuliskan memoar adalah Carmel Budiarjo dan Sudjinah. Carmel adalah seorang berkebangsaan Inggris yang menikah dengan seorang aktivis PKI. Atas intervensi Pemerintah Inggris, Carmel bisa keluar setelah tiga tahun mendekam, juga tanpa pengadilan. Sekembali ke London, ia mendirikan organisasi hak asasi manusia, TAPOL. Lihat memoarnya, Surviving Indonesia’s Gulag: A Western Woman Tells Her Story,  1996. Sudjinah adalah jurnalis freelancedan penerjemah untuk wartawan Prapda dan DPP. Gerwani. Lihat bukunya, Terempas Gelombang Pasang: Rowayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Pustaka Utan Kayu, Maret 2003.
[4] Pengecualian, menurut Budiawan, otobiografi Hasan Raid dan Ahmad Moestahal, yang bukan semata pembelaan-diri, tetapi juga suatu kontra wacana terhadap tuduhan bahwa PKI khususnya dan komunis umumnya sebagai ateis yang telah dikibarkan sejak tahun 1920-an. Aspek ini menjadi kajian Budiawan terhadap kedua otobiografi tersebut.
[5] Menurut Saskia, mereka yang berada di Lobang Buaya itu adalah anggota Pemuda Rakyat, dan beberapa istri tentara. Namun mengapa, tanyanya, kampanye terhadap Pemuda Rakyat tidak sekeras terhadap Gerwani. Tapi kampanye media massa mengaitkan mereka dengan Gerwani…  Apakah tujuan khayalan kaum militer yang mereka sulap menjadi “tari-tarian cabul” dan zakar yang diiris-iris? Jika aksi sepihak adalah sebab terpenting pembantaian, mengapa para BTI tidak dikutuk sebagai setan-setan? Atau para seniman Lekra, mengingat kegiatan ideologis mereka. Juga ada para anggota SOBSI di Lobang Buaya. Mengapa,…? demikian tanya Saskia (h. 487).
[6] Lihat karya Saskia yang memanfaatkan beberapa dokumen dari rekaman proses pengadilan ini untuk kajiannya.
[7] Titik berangkat paska 65 ini, menurut Budiawan menjadi watak umum dari oto/biografi para mantan tapol. Sebaliknya, kehidupan pra-1965 menjadi titik utama cerita para lawan politiknya. Dengan demikian, yang terjadi adalah “tabrakan” ingatan yang membuat sulitnya membangun rekonsiliasi. Dengan watak narasi seperti itu, kebanyakan kalangan mantan tapol PKI “mengingat” apa yang dilupakan oleh lawan-lawannya, dan “melupakan” apa yang terus diingat oleh lawan-lawannya dalam sejarah. Demikian juga dengan lawan-lawan mereka, “melupakan” apa yang terus diingat oleh kalangan PKI dan “mengingat” apa yang mereka lupakan. Namun menyangkut Sulami, ada sedikit penjelasan mengapa ceritanya langsung mulai dari pelarian ini, karena masa mudanya, menurutnya, sudah ditulisnya dalam bentuk novel yang berjudul “Mencari Bulan Ndadari” yang bercerita tentang kerjasama antara Batalyon Lawu dengan seorang pejuang perempuan. Yang menarik, mengapa pengalaman masa remajanya sebagai pejuang itu ditulis dalam bentuk “novel”, sedangkan pengalaman dalam penjara ditulis sebagai “kisah nyata?”
[8] Betapa pentingnya menulis di dalam penjara ini, sebagai perbandingan, baca catatan Sudjinah, rekan Sulami berikut ini: “Selama kehidupan saya di dalam sel, saya mencoba menyisihkan pikiran-pikiran yang dapat menimbulkan gangguan ketegangan perasaandengan cara menulis sajak dan cerpen, mencatat kisah sesama tahanan maupun gejolak perasaan dalam diri saya… (Sudjinah, 2003, hlm. 44, tanda miring dari saya, HS).
[9] Dalam karya Sudjinah, PKPS itu bukanlah sebuah siaran radio, tapi sebuah buletin yang disebut Buletin Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS). Menurut Sudjinah, ini adalah buletin stensilan yang mereka sebarkan, yang berisi dukungan terhadap komando Bung Karno yang meminta rakyat agar jangan gontok-gontokan dan tetap setia di bawah kepemimpinannya. Sulami, Sudjinah, Sri Amba, dan Suharti adalah tokoh-tokoh di balik pembuatan dan penyebarluasan buletin ini. Sulami (Sudjinah menyebutnya Lami) sendiri adalah “atasan” mereka dalam kegiatan bawah tanah yang, menurut Sudjinah, sempat berlangsung selama kurang lebih satu tahun ini. Terutama karena buletin inilah mereka diburu dan ditangkap, dan akhirnya diajukan ke pengadilan.   
[10]Untuk interpretasi ini, saya sangat terinspirasi oleh buku Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap, Tera 2002, yang berisi penelusuran pengalaman pemisahan India dan Pakistan dari sudut pandang perempuan.

Sumber: Haisa 

0 komentar:

Posting Komentar