September 30, 2013 | Hairus Salim HS
Seorang perempuan tua meninggal pada dini hari, 10
Oktober 2002. Harian Kompas, memuat beritanya, 10 Oktober 2002, dalam
sebuah kolom kecil di halaman 10:
“Sulami Djoyoprawiro Meninggal Dunia.”
Dikatakan dalam berita itu bahwa Ny. Sulami, tokoh pergerakan perempuan
Indonesia, meninggal dalam usia 76 tahun, karena serangan stroke, menyusul
berbagai komplikasi lainnya. Siapakah Sulami?
Tokoh Sulami, sejak zaman Belanda, aktif di pergerakan
perempuan. Saat Agresi II, ia membantu TNI melawan Belanda. Pada tahun 1958,
Sulami menjadi wakil Indonesia dalam Kongres Perempuan sedunia di Wina. Sulami
menjadi buron setelah peristiwa G30S. Ia ditangkap setelah 15 bulan
berpindah-pindah tempat di Jakarta, dan kemudian diinterogasi di markas tentara
Bukit Duri Jakarta.
Sulami baru diadili tahun 1975. Ia dipenjara selama 20
tahun potong masa tahanan di rumah tahanan perempuan di Tangerang. Sulami bebas
bersyarat tahun 1984. Dia menolak grasi karena merasa tak bersalah. Sekeluar
dari penjara, Ny. Sulami aktif sebagai Ketua Yayasan Penelitian Korban
Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 1965-1966).
Itulah secuil berita kematian seorang yang oleh Kompas disebut
sebagai “tokoh pergerakan perempuan Indonesia”. J. J. Kusni, penyair yang kini
eksil di Prancis, menulis sebuah puisi “Selamat Jalan” yang penuh dengan nada
kehilangan dan penghormatan untuk Ny. Sulami:
SELAMAT JALAN, SULAMI!
Matahari itupun tumbang di baratjatuh ke sungai ditelan barisan bukit-bukit ajaldan esok ia akan kembali tiba menebar cahayabagi yang melanjutkan pertarungan tak kenal usaikematian apalagi kelaliman yang bertangan hitamtak pernah tuntas melibas nyala jiwa pejuang
sambil membuka topi melambaimu menempuh perjalanan tak pulangkukatup bibir mengenang sekian nama yang berjatuhan tanpa sesalmembayangkan deraan demi deraan meninggalkan tanda di badanhari inipun, begitu balik belakangtak sempat lagi memikirkan rasa dukayang tertinggal kembali seperti sediakala
berhitung untuk jangan lagi kalah perempuan atau lelakisiapapun merekabisa dan seringkalahdemikian pun aku dan juga kau, sulamitapi yang pasti kau tak pernah menyerahsampai detik penghabisanketika dari jauh kuucapkan selamat jalanperempuan yang tak pernah menyerahtak pernah mencampakkan mimpisulami! kaulah ituselamat jalan, sulami duka pertarungan telah menguras seluruh airmatasiapa lagi di antara kita yang bisa menangis? siapa?maka di detik perpisahan begini yang sadar kulakukanhanya mengangkat kepalan kiri setinggi telingasetangkai mawar merahpun tak bisa kulempar ke makammuaku masih di jalan kembara, panjang, di luar ukuran kilometerrisiko perjalanan yang dipilih dan siapapun patut memilih makna dan sia-sia(Perjalanan 2002)
Sulami, dalam puisi di atas, dilukiskan sebagai perempuan
yang tak pernah menyerah, yang tak pernah mencampakkan mimpi dan cita-citanya.
Sepanjang hidupnya, Sulami terus berjuang dan melakukan perlawanan. Betapapun,
perlawanan itu penuh dengan kesunyian yang menyayat dan ancaman menganga, serta
(mungkin) akhirnya sia-sia. Penyair melukiskannya sebagai matahari, yang selalu
setia dan tegar menyinari.
Lukisan ini mungkin tidak berlebihan. Sulami adalah
anggota Lasykar Wanita yang turut berjuang dalam kemerdekaan. Paska perang ia
aktif di Gerwis, yang kemudian berubah menjadi Gerwani. Puncak karirnya adalah
sebagai Wakil Sekretaris II DPP. Gerwani. Keterlibatannya dalam Gerwani menyeretnya
ke dalam penjara sebagai tapol selama kurang lebih 20 tahun. Setelah
pelepasannya, ia aktif di YPKP yang berjuang untuk kajian, advokasi, dan
pemulihan hak korban pembunuhan 1965-1966.
Sebagaimana telah dipermaklumkan, Gerwani adalah
organisasi yang dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka,
seperti juga organisasi-organisasi onderbow atau yang dekat dengan PKI di
segala lini, Gerwani juga dihancurkan dan dilarang beriring dengan penghancuran
dan pelarangan PKI. Para aktivisnya ditangkap dan dipenjarakan, termasuk dalam
hal ini Ny. Sulami.
Yang penting bukan saja penghancuran dan pelarangan
Gerwani, tetapi juga –sebagaimana ditransmisikan dalam sejarah resmi, dalam
buku-buku pelajaran, dan juga relief-relief Pancasila Sakti di Lubang Buaya–,
para aktivis Gerwani digambarkan melakukan tindakan-tindakan dan pesta-pesta
seks yang amoral dan menjijikkan sambil merayakan pembunuhan terhadap 7
jenderal. Gerwani telah mapan dipahami selama ini sebagai sekelompok perempuan
yang permisif, bejat, dan rusak moralnya, yang melanggar batas-batas kesopanan
dan kepatuhan seorang perempuan timur dan beragama.[2]
Seorang perempuan, seorang tua, dan seorang tapol
(mantan) Gerwani, meninggal. Maka, siapa di sini memang yang sudi dan mau
peduli?
Otobiografi Sulami
Mereka yang disebut sebagai tokoh PKI –dan juga yang
dekat dengannya— memang telah mengalami depersonalisasi. Sejarah mereka dikubur
dan ‘dijungkirbalikkan’ sedemikian rupa. Mereka sendiri, demi keamanan dan atau
karena traumatik, banyak yang sengaja menutupi dan mengubur masa lalunya. Hanya
sedikit orang yang (mau) kenal mereka. Lebih sedikit lagi yang mengingatnya.
Jejak mereka seperti hilang ditelan bumi, dan hanya samar dalam sejarah
Indonesia. Informasi mengenai mereka mungkin hanya sebatas catatan-catatan atau
sebentuk daftar kronologis yang singkat.
Sulami adalah satu dari sekian tapol yang sempat
meninggalkan sebuah otobiografii, Perempuan – Kebenaran, dan Penjara, yang
diterbitkan oleh Penerbit Cipta Lestari, 1999. Otobiografi ini menarik untuk ditelusuri,
karena dari sisi penulisnya, Sulami mungkin satu dari sedikit tapol perempuan
yang menuliskan riwayat hidupnya, di antara berbagai otobiografi mantan tapol
PKI laki-laki yang terbit beruntun sesudah tumbangnya rezim Soeharto.[3] Memang
dalam populasi, laki-laki jauh lebih banyak yang ditangkap dan dipenjarakan
dalam kaitan peristiwa 1965-1966 ini. Selain itu, secara teknis juga mungkin
banyak dari para tapol laki-laki ini merupakan jurnalis, sastrawan, atau
pengajar, yang nota-bene memiliki kemampuan menulis, lebih dari sekadar
kemampuan melek-huruf.
Tapi ini bukan alasan yang mendasar. Pada kenyataannya,
para tapol laki-laki memang memiliki jauh lebih banyak akses untuk menggemakan
suara dan menampilkan diri mereka. Selain itu, rupanya sudut pandang laki-laki
juga lebih dipentingkan daripada sudut pandang perempuan. Otobiografi Sulami
penting dipandang pada titik ini: suatu sudut pandang perempuan terhadap
peristiwa 1965-1966.
Menurut Budiawan (2003), pembelaan diri (self-defense),
dalam arti pembelaan terhadap pemikiran dan aksi-aksi politik mereka sebelum
tahun 1965 itu, dan terutama penolakan terhadap tuduhan dan stigmatisasi bahwa
mereka terlibat di dalam pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965,
menjadi unsur utama dalam kebanyakan isi otobiografi para mantan tapol PKI.
Sebaliknya, mereka menuduh Soeharto sendiri sebagai pelaku, atau setidaknya mengambil
keuntungan politik dari, pembunuhan itu. Termasuk –menurut Budiawan– dalam
contoh pembelaan diri ini adalah otobiografi Sulami di atas.[4]
Membaca otobiografi Sulami memang cukup terasa nada
pembelaan diri ini. Kendati demikian, dibandingkan dengan banyak oto/biografi
mantan tapol PKI pria, otobiografi Sulami membawakan suara yang berbeda, sudut
pandang seorang perempuan, sekaligus dengan itu subyek yang banyak diabaikan,
namun sangat penting, yaitu mengenai kedudukan Gerwani dan kaitannya dengan
“pembunuhan karakter” seluruh anggota PKI secara struktural dan kultural.
Dengan memunculkan subjek itu, Sulami mencoba melawan pelukisan yang buruk dan
jahat mengenai Gerwani selama ini. Katakanlah otobiografi ini semacam upaya
pemulihan atau rehabilitasi nama Gerwani. Dengan demikian, tentu otobiografi
ini bukan lagi semata pembelaan diri, dalam arti diri Sulami semata.
Arti penting pemulihan nama Gerwani ini terletak pada
bahwa –sebagaimana dicatat dengan terperinci dan mendalam oleh Saskia dalam
bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) –,
pelukisan sistematis oleh militer akan sikap amoral, mesum, dan tari
gila-gilaan, serta penggalakan pelacuran oleh Gerwani, menjadi titik masuk yang
krusial dan signifikan dalam penghancuran dan pelarangan PKI dan segala
onderbownya. Pelukisan yang intensif dan visual, minggu-minggu menyusul
peristiwa 1965-1966 ini, diyakini telah mendorong kebencian yang tinggi di
kalangan masyarakat terhadap Gerwani dan anggota PKI umumnya. Proses
delegitimasi moral Gerwani ini betul-betul menghancurkan bukan hanya Gerwani
saja, tapi juga seluruh gerakan PKI. Perempuan adalah tiang bangsa, jika para
perempuan rusak, maka rusak dan hancurlah bangsa. Mungkin inilah logika
kampanye penghancuran ini. Kelak nanti akan tampak bahwa penghancuran terhadap
Gerwani ini juga telah menjadi awal dari re-konstruksi (gerakan) wanita yang
lebih dianggap timur, feminim, santun, tahu diri, dan seterusnya, yang menjadi
potret ideal (gerakan) wanita di masa Orde Baru.[5]
Bagaimana upaya rehabilitasi nama Gerwani ini dibangun,
inilah yang hendak ditelusuri dari otobiografi Sulami? Dalam upaya membacanya,
pertama saya akan membaca buku ini secara tekstual-analitis. Kedua, pembacaan
intertekstual, di mana saya akan menghubungkan otobiografi ini dengan
karya-karya lain yang mengambil subyek serupa. Dan akhirnya, suatu interpretasi
dan “pemaknaan” terhadap otobiografi ini.
Ringkasan Otobiografi
Otobiografi ini tidak cukup tebal. Hanya 104 + 12 halaman
Romawi. Setelah pengantar penerbit, pendahuluan, sebuah puisi penulis yang
berjudul “Gugatan Anak Manusia”, dan kemudian disusul dengan isi utama buku
yang terdiri dari 14 bagian yang singkat: antara 2 hingga 12 halaman. Selain
itu, ada beberapa foto dokumentasi penulis dengan para kameradnya aktivis
Gerwani maupun dengan rekannya di penjara, yang tampak sudah sangat buram.
Cover depan buku ini didominasi warna hitam dan
merah glossy, dengan sketsa tiga perempuan –dua di antaranya berdiri dan
berpakaian ala militer, sedangkan yang di tengah duduk dengan memakai kebaya.
Wajah mereka tampak mendongak. Jauh di bagian belakang ada sketsa close up seorang
perwira militer yang berukuran besar, seakan menatap ketiga perempuan itu. Di
bagian kiri atas tertulis: “kisah nyata – wanita dipenjara 20 tahun, karena
tuduhan MAKAR dan SUBVERSI”.
Jadi jelaslah yang hendak disajikan oleh Sulami adalah
“kisah”. Namun, ia bukan sekadar “kisah”, semacam karangan, fiksi, sesuatu yang
mengada-ada, tapi sebuah “kisah yang nyata”, peristiwa yang sungguh-sungguh
terjadi, suatu “fakta”. Bahwa adalah “fakta” yang dikemukakan buku ini tampak
dalam pengantar penerbit. Ditegaskan bahwa selama ini orde baru memblokade
media informasi dan penerbitan yang mengungkapkan fakta-fakta sekitar G-30S.
Hal ini membuat masyarakat dan bangsa Indonesia menerima (sejarah G-30-S)
secara sepihak. Tak ada kebenaran selain yang bersumber dari penguasa Orde
Baru. Usaha membeberkan fakta dan kejadian sesungguhnya akan berhadapan dengan
penguasa dan akan dipenjara. Namun, menurut pengantar penerbit ini, tak
selamanya kebenaran bisa dimonopoli dan dipasung. Sejarah adalah fakta yang
selalu tak dapat dipalsu (h. VI).
Bagian awal buku ini bertutur mengenai bagaimana Ny.
Sulami hidup sebagai buronan menyusul peristiwa 1965 itu. Lari dari satu rumah
ke rumah lain. Dari satu kota ke kota lain. Makan dan tidur tidak terpenuhi
dengan baik. Perasaan terus terteror, diliputi ketegangan dan waswas. Sembari
menceritakan kisah pelarian ini, Sulami juga mengutarakan berbagai
ketidakmengertiannya mengenai apa yang terjadi dan mengapa ia –dan
teman-temannya– dikejar dan diburu. Konon, perburuan terhadapnya dilakukan atas
perintah Pangdam Jaya waktu itu.
Akhirnya, setelah kurang lebih 16 bulan sebagai
buron, Ny. Sulami tertangkap pada 1967 di Jawa Timur. Ia pun dibawa ke markas
tempat tahanan dikumpulkan dan disiksa. Cerita tertangkap, terkurung, dan
bagaimana ia menyaksikan dan menjalani penyiksaan sebagai tahanan serta cerita
penyiksaan dan atau pembunuhan terhadap mereka yang dituduh anggota PKI menjadi
inti bagian kedua dari buku ini. Tentara berbaju loreng disebutkan menjadi
pelaku utama penyiksaan. Sedangkan yang paling ditakuti dari para pemeriksa/penyiksa
ini adalah Komandan ‘Operasi Kalong’.
Penyiksaan tampaknya menjadi pengantar untuk memasuki
fase interogasi, yang diceritakan Ny. Sulami dalam bagian ketiga dari buku ini.
Interogasi, tentu bukan semata pertanyaan untuk menjernihkan duduk perkara,
tetapi suatu metode penggalian informasi lebih lanjut yang dibarengi dengan
gertakan dan siksaan. Interogasi dengan demikian sejajar dengan penyiksaan. Ada
banyak informasi yang hendak digali penguasa: tentang siaran terkenal PKPS
(Pendukung Komando Presiden Soekarno) yang berisi dukungan pada instruksi
Soekarno untuk menyelesaikan peristiwa G-30-S secara hukum, tentang
jenderal-jenderal penentang Soekarno dalam peristiwa pemboman Istana Merdeka,
Cikini, dan lain-lain serta tak ketinggalan soal keterlibatan Gerwani dalam
G-30-S.
Bagian keempat berkisah tentang penempatan dan kehidupan
Sulami di dalam penjara. Dalam penjara yang resminya untuk kriminal itu
pesakitan dibagi dua: narapidana perempuan kriminal (napi) dan tahanan
perempuan politik (tapol). Tapol dengan demikian dicampur dengan napi. Di
bagian ini, selain cerita kehidupan dan kegiatan dalam penjara, Sulami juga
banyak mengungkapkan kenangannya sebagai mantan lasykar wanita dan ceritanya
sebagai saksi dalam pengadilan Sudisman, Sekretaris Politbiro CC PKI.
Setelah sembilan tahun dalam tahanan, Sulami bersama tiga
rekannya baru diajukan ke depan pangadilan. Meski bagian ini berjudul
“Pengadilan subversib”, tapi pada bagian kelima ini Sulami belum masuk pada
soal pengadilan yang disebutnya “pengadilan sandiwara” ini, tapi cerita tentang
bagaimana saksi direkrut dan kesaksian dirancang, serta motivasinya untuk maju
ke pengadilan. Ketiga hal ini merupakan pilar penting penghancuran Gerwani.
Pengungkapan secara jernih ketiga hal ini, dengan demikian, juga menjadi titik
penting rehabilitasi Gerwani yang hendak dilakukan Sulami.
Dalam bagian keenam yang bertajuk “Pemeriksaan Saksi”,
Sulami memaparkan lebih terperinci bagaimana saksi direkrut dan kesaksian
direkayasa. Sulami yang juga menjadi saksi tak luput dari pemeriksaan. Seperti
sebelumnya pemeriksaan juga diiringi dengan siksaan, suatu metode yang disebut
Sulami mengkombinasikan cara-cara menyiksa para agen Jepang dan CIA. Namun
dalam pemeriksaan saksi kali ini, Sulami luput dari penyiksaan karena si
pemeriksanya –yang memanggilnya mbakyu– kenal ia semasa bergerilya, meski
Sulami sendiri tak mengenalnya.
Pada 1 Januari 1976, Sulami dan ketiga rekannya diajukan
ke depan pengadilan. Menurut Sulami, ada banyak dagelan dan lelucon yang berlangsung
dalam proses pengadilan itu. Namun, Sulami hanya sedikit menceritakannya:
misalnya jawaban hakim atas pertanyaan pembela bahwa bukti-bukti diambil dari
file perkara Sudisman. Setelah berlangsung enam bulan dengan sekali sidang
setiap minggu, Sulami diputuskan menerima hukuman 20 tahun potong masa tahanan.
Naik banding yang diajukan jaksa ditolak dan Pengadilan Tinggi justru
memperkuat keputusan tersebut.
Selanjutnya, bagian kedelapan hingga empat belas, berisi
cerita-cerita yang penuh dengan human interest: kegiatan-kegiatan para
napi dan tapol di penjara seperti bagaimana untuk mengisi waktu, mengatasi sepi
dan rasa rindu: merenda, bertanam, berolah raga, mengikuti ibadah, mencuri-curi
makanan, nonton TV atau bacaan, tentang hubungan antara napi dan tapol, dan
terutama bagi Sulami, kegiatan MENULIS.
Membaca Otobiografi Sulami
Dalam bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan di
Indonesia (1999), Saskia Eleonora Wieringa menjelaskan proses
penelitiannya mengenai sejarah, pemikiran, dan penghancuran Gerwani. Berkait
dengan subjek dan informan penelitiannya, Saskia mengemukakan bahwa “…banyak
perempuan yang bersemangat dan berani telah membantu pekerjaan saya, dan
mendorong agar saya tidak berhenti di tengah jalan. Di antara mereka malahan
ada yang minta agar saya menuliskan sejarah mereka, oleh karena mereka
mengingini agar sejarah itu dilestarikan. Pekerjaan ini tentu saja sangat
berbahaya apabila mereka sendiri yang harus melakukannya” (hlm. 31).
Yang dimaksud Saskia dengan “mereka” di atas adalah para
tapol mantan anggota Gerwani. Mengapa mereka menginginkan sejarah mereka
dituliskan dan mengapa sangat berbahaya bagi mereka jika melakukan sendiri
pekerjaan ini? Jawaban pertanyaan ini cukup jelas: Gerwani terlibat dalam
peristiwa G30S PKI. Selain itu, ia telah dituduh melakukan perbuatan amoral,
menjijikkan, dan gila-gilaan. “Penulisan sejarah mereka” yang mereka inginkan
tentu dimaksudkan sebagai pelurusan dan pencucian nama mereka. Jelas, di zaman
Orde Baru, tidak mudah untuk melakukan ini. Karena itu, “permintaan” kepada
pengamat asing yang memiliki simpati kepada mereka, mungkin bisa menjadi
alternatif.
Sulami mungkin termasuk dari mereka yang menginginkan
perlunya sejarah dirinya dan rekan-rekannya itu dituliskan. Tapi, dengan
penerbitan otobiografinya itu, bisa dikatakan bahwa selain “minta” untuk
dituliskan, ia juga ingin menuliskan sendiri sejarahnya.
Dalam pembacaan saya, ada dua hal utama yang hendak
diungkapkan Sulami dalam/dengan otobiografi ini. Pertama, protes atas
penahanan dan penyiksaan yang tak manusiawi terhadap mereka. Kedua,
menjernihkan namanya dan nama Gerwani yang telah dihancurkan. Sulami tidak
masuk pada debat soal apa yang sesungguhnya terjadi pada September 1965 itu,
yang rumit dan kontroversial tak berujung. Baginya, ini soal para elite politik
–mungkin juga para lelaki–, yang tidak ada kaitannya dengannya sebagai
non-elite dan –juga sebagai perempuan. Penghindaran untuk membicarakan tema
ini, sadar atau tidak sadar, merupakan suatu strategi jitu yang menunjukkan
alibi Sulami khususnya, dan Gerwani umumnya, yang memang tidak tahu menahu
perkara G30S itu.
Jauh sebelum memutuskan untuk menulis otobiografi,
motivasi yang pertama itu telah mendorong Sulami untuk memilih maju ke depan
pengadilan:
“Pertimbangan saya sudah bulat untuk siap maju ke
pengadilan. Karena dari Gerwani, sampai Ketuanya pun, tidak ada yang diajukan
ke pengadilan, karena tak ada bukti keterlibatan dalam G30S. Kalau saya tidak
maju ke pengadilan, dan menunggu saja sampai saat seluruh tahanan dibebaskan
–dan itu memang biasa—semua kebohongan dan kekejaman penguasa tidak akan
terbuka. Kalau kami berempat diadili, fakta-fakta kejahatan dan kekejaman
mereka, sadisme mereka untuk mengobarkan nafsu pembunuhan, akan bisa
diungkapkan. Saya yakin, pembelaan yang jujur lambat atau cepat akan
tersebar luas. Seandainya pun pers nasional tidak bisa diandalkan kejujuran dan
kemauan baiknya, biar pun sedikit toh ia akan memuat berita tentang
berlangsungnya pengadilan… Inilah kebaikan yang akan dapat dipetik dari
berlangsungnya pengadilan” (h. 48)
Saya tidak sempat memeriksa apakah koran-koran waktu itu
mempublikasikan, sesedikit apapun, tentang proses pengadilan itu, seperti yang
diharapkan Sulami. Namun, tujuannya untuk maju ke depan pengadilan itu sedikit
banyak tetap memberi manfaat. Rekaman-rekaman proses pengadilan itu menjadi
suatu dokumen yang sangat berharga sebagai sebuah testimoni.[6]
Sementara dalam kaitan dengan tujuan kedua, penting
dicatat sebelumnya bahwa Sulami adalah orang yang dituduh memerintahkan para
anggota Gerwani untuk hadir di Lobang Buaya, seperti pengakuan empat orang
saksi (h. 44). Sulami menolak tuduhan itu. “Memang ada empat orang perempuan
ikut kerja di dapur umum Lobang Buaya, tetapi mereka itu tidak diperintah oleh
organisasi,” (h. 21). Itu tuduhan palsu, yang lahir dari kesaksian orang di
bawah ancaman, katanya.
Ia juga membantah keras bahwa para anggota Gerwani
melakukan penyiksaan dan pesta seks gila-gilaan terhadap para jenderal yang
dibunuh itu. Sulami menulis:
“…Orang tidak akan mengerti bahwa rekaman film video yang
mempertunjukkan “tari genjer-genjer di tengah kehidupan porno” yang
diperlihatkan dalam sebuah sidang Mahmilub di Jakarta untuk mengadili seorang
penting itu adalah buatan Bukit Duri. Petugas yang beringas telah berhasil
menggiring para tapol muda untuk menari-nari di aula penjara, dan itulah yang
disiarkan oleh semua koran di Jakarta seolah terjadi di Lobang Buaya.” (h. 61)
Demikian juga dengan soal saksi dan kesaksian, banyak
yang bersifat palsu, karena orang yang diminta kesaksian memang bukan yang
sebenarnya dan atau melalui suatu proses interogasi dan penyiksaan yang kejam.
Ketika bertemu mayor pemeriksa yang mengenalnya, Sulami mengemukakan hal ini,
seperti ditulisnya:
…Pertama, mereka itu bukan anggota Gerwani. Kedua, mereka
masih kanak-kanak dan tidak paham politik. Ketiga, pemeriksaan dilakukan dengan
kekerasan dan ancaman berat, maka hasil pemeriksaannya tidak bisa
dipertanggungjawabkan…” (h. 57).
Bahkan, menurut Sulami, ada hal yang lebih
keterlaluan dari itu, yakni bagaimana dengan semena-mena militer menangkap
saksi:
“…Seorang pelacur dari Kota Paris (Senen) Jakarta, buta
huruf, ditangkap patroli militer tengah malam dekat Jatinegara karena tanpa
KTP. Dia menyetujui berita acara karangan pemeriksa, yang menyatakan bahwa ia
adalah anggota Gerwani Jakarta. Dalam berita acara itu ia mengaku berada di
Lobang Buaya. Tugasnya memberikan konsumsi seks kepada 200 orang tentara
pemberontak. Ia bubuhkan cap jempolnya karena takut bedil. Juga karena dirayu
dengan janji akan diberik sejumlah uang dan kebebasan. Orang macam itulah yang
akan dijadikan saksi hukum dalam pengadilan subversi…” (h. 44-45).
Bagi Sulami, praktek-praktek mencomot saksi dan merancang
kesaksian palsu semacam inilah yang dilakukan militer untuk membunuh karakter
Gerwani. Selain pelacur di atas, menurutnya, ada lagi Sainah, seorang
gelandangan di bawah jembatan Kebon Sirih yang ditangkap karena namanya mirip
Inah, istri oknum yang dicurigai ikut melatih di Lobang Buaya. Ada juga
“Jamilah” asal Trenggalek dan Emi, seorang pelacur, yang ditangkap karena nama
mereka mirip dengan Jamilah dan Emi, dua orang sukarelawati yang sedang diburu
(h. 45), serta Yos, anak angkat seorang Ambon di Halim.
Dengan mengemukakan itu semua, Sulami hendak membantah
seluruh tuduhan bejat dan amoral yang dialamatkan ke Gerwani. Sebaliknya, bagi
Sulami, justru para tentara itulah yang telah melakukan hal bejat dan amoral,
seperti melakukan pemerkosaan dan penyiksaan terhadap mereka yang tidak
bersalah dan tidak tahu apa-apa.
Pengungkapan Sulami ini sejajar dengan beberapa
penelitian lanjut, seperti yang dilakukan oleh Ben Anderson (1987) yang
berangkat dari otopsi dokter atas mayat para jenderal itu, bahwa tidak ada
kemaluan atau bagian tubuh jenderal yang dipotong-potong, sebagaimana
digambarkan dalam laporan resmi. Semua bagian tubuh para jenderal itu masih
utuh, meski jelas ada bekas-bekas pemukulan dan penembakan.
Tesis serupa juga dikeluarkan oleh Saskia (1999) yang
merekonstruksi peristiwa itu berdasar wawancara dan analisis terhadap
berita-berita dan foto-foto di koran hari-hari itu, bahwa tidak ada pesta-pesta
seks yang mengiringi kematian atau mengelilingi mayat para jenderal tersebut.
Seluruh penggambaran itu, hanyalah rekayasa dan isapan jempol penguasa saat itu
sebagai kampanye penghancuran moral terhadap PKI .
Kajian Saskia, terutama bagian 11 (h. 498-549) ini
penting dalam kaitan membaca otobiografi Sulami ini. Ini karena adanya beberapa
kesejajaran antara yang diungkapkan Sulami dan hasil kajian Saskia ini. Bahkan
dalam beberapa hal kajian Saskia mengungkapkan jauh lebih lengkap dan detil.
Misalnya menyangkut keberadaan anggota Gerwani di Lobang Buaya. Diakui mereka
memang berada di sana sewaktu kejadian, tetapi sama sekali bukan perintah
organisasi. Selain itu, kehadiran mereka juga tidak berkaitan dengan peristiwa
itu, tetapi sebagai persiapan sukarelawan/ti Ganyang Malaysia. Dan yang lebih
penting lagi, adalah omong kosongnya isu pesta seks, bejat, dan amoral
menjelang pembunuhan para jenderal itu. Nama Emi (Emmy), Jamilah, Sainah
(Saina), dan Yos (Yossy) yang disebut Sulami juga muncul dalam kajian Saskia,
jauh lebih detil dan terperinci.
Pekik Yang Serak
Saya menyebut buku ini sebagai otobiografi, semata karena
ia mengungkapkan pengalaman hidup seseorang yang dituturkan dari orang pertama
tunggal “aku” atau “saya”. Namun otobiografi Sulami tidaklah lazim, dalam arti
ia tidak berawal dari kelahiran hingga akhir hayatnya. Yang diceritakannya
hanyalah sepenggal dari sejarah hidupnya yang panjang. Ia mungkin lebih
merupakan suatu epifani, yang mengambil suatu momen dan pengalaman
interaksional yang meninggalkan jejak mendalam pada hidup penulisnya.
Pengalaman ini merupakan suatu momen krisis dalam riwayat hidupnya, yang
membentuk struktur makna fundamental kehidupannya. Dalam hal Sulami, penulis
otobiografi ini, pengalaman itu adalah 20 tahun dipenjara di bawah pemerintahan
Orde Baru.
Maka sebagai suatu epifani, pembaca tentu tidak
disuguhkan perjalanan Sulami sejak kecil, tentang keluarganya, tentang kampungnya,
pendidikannya, masa remajanya, dan seterusnya. Rupanya seluruh pengalaman ini
telah termakan oleh pengalaman tragik 20 tahun dalam penjara ini. Karena itu,
dalam pembuka tulisan, penulis langsung menyuguhkan ceritanya menjadi buronan.[7] Suatu
yang bagi pembaca mungkin terasa tiba-tiba, klimaks serta merta. Sampai akhir
buku tak ada penjelasan yang cukup mengapa ia ditangkap. Penjelasannya hanya
muncul sambil lalu, seperti sebuah transkripsi ingatan ketika menjawab
pertanyaan dalam interogasi. Misalnya karena ia pimpinan Gerwani yang dituduh
menyuruh para anggotanya bertugas di Lubang Buaya. Tetapi mengapa Gerwani
dihantam? Penjelasannya, karena mereka senang mendemonstrasi dan mengganyang
koruptor, OKB (Orang Kaya Baru), kabir (kapitalis-birokrat), dan juga karena
fitnah bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan para jenderal.
Singkat
sekali.
Sebagai sebuah epifani, pengalaman tersebut demikian
personal sekali. Sedemikian tragiknya, hanya dialah yang menyandang penderitaan
itu, sendirian. Dalam ceritanya, seperti tak ada orang yang menemaninya. Sulami
memang kadang muncul dengan predikat orang pertama jamak, “kami”, yang merujuk
pada “kami” anggota Gerwani, namun semua sangat anonim. Sewaktu pengejaran
sebagai buron dan awal penahanan, ada disebutnya nama temannya “Lina”, tetapi
tokoh yang dalam cerita awalnya dianggap sudah seperti adiknya ini, tak muncul
lagi hingga akhir buku. Demikian juga ketika ia diajukan ke muka pengadilan, ia
hanya menyebut ketiga rekannya sebagai terdakwa kesatu, terdakwa kedua,
terdakwa ketiga, terdakwa keempat sebagaimana sebutan dalam sidang pengadilan
(h. 63). Kita tahu bahwa Sulami merupakan terdakwa kesatu dari penjelasan di
bagian lain bahwa Sulami dihukum 20 tahun sebagaimana terdakwa kesatu,
sedangkan terdakwa yang lain di bawah 20 tahun. Tentu Sulami bukan tidak tahu
dan tidak ingat nama ketiga rekannya ini, tetapi anonimitas rupanya memang
menjadi tipikal narasi ini. Ia lebih senang menyebut dengan “mereka”,
“teman-teman para tapol” atau “teman-teman napi.”
Narasi dan argumentasi yang dibangun oleh Sulami dalam
upaya menjernihkan nama Gerwani dan protes atas penyiksaan dan penahanan yang
tak manusiawi demikian “terbatas.” Banyak sekali dari ceritanya yang
meloncat-loncat dan kurang terperinci serta data-datanya yang tidak lengkap.
Untuk koherensi dan ketajaman argumentasi, karya Saskia, Anderson, Budiarjo,
dan Sudjinah –dan beberapa lainnya– tentulah bisa melengkapi.
Namun, otobiografi ini tampaknya memang harus dilihat
bukan dari kekuatan narasi, koherensi, dan argumentasi yang dihasilkannya,
tetapi lebih pada bagaimana dan mengapa otobiografi ini ditulis. Pada titik
inilah, saya kira, kita melihat semangat resistensi. Resistensi yang terus
menyala ditiup hembus angin, dengan cahaya yang tak seluruhnya merah.
Pandangan, dengan demikian, bukan diarahkan pada tulisan yang diproduksi,
tetapi pada bagaimana “praktik” penulisan dan pembacaan atasnya. Menulis adalah
praktek perlawanan yang tidak gampang, namun biasanya ia menjadi pilihan
alternatif seorang pariah, seorang subaltern.
Pertama-tama yang dihadapi Sulami dalam hal menulis
adalah larangan menulis di dalam penjara itu sendiri. Menulis adalah suatu
pelanggaran yang besar. Menulis dalam penjara –sebagaimana dalam berbagai
memoar para pesakitan politik— adalah pekerjaan yang penuh resiko, petualangan
yang membahayakan. Namun dengan tekad seorang revolusioner, Sulami memutuskan
untuk menulis dan memutar akal bagaimana bisa menulis (h. 33).
Keinginan
menulis itu meronta dan seperti menyeruak ingin keluar dari pikirannya. Untuk
sementara, keinginan itu terpaksa harus ditekan dan hanya muncul dalam
bayangan, bahkan pun saat melakukan pekerjaan lain. “Yang saya pikirkan waktu
merenda itu ternyata mengasyikkan. Saya sampai hafal, dan tidak membosankan.
Yaitu sebuah kerangka novel… Kadang-kadang kalau otak sedang jalan merenda
cerita dan di jendela ditunggui napi yang ingin menceritakan riwayat hidupnya,
saya ingin marah…” (h. 40), demikian tulis Sulami tentang gejolak hatinya yang
ingin menulis. Ia bahkan akan marah jika khayalannya menulis itu
diganggu.
Ia akhirnya bisa menulis karena memanfaatkan mesin tulis
kantor yang dipinjamkan padanya sebagai orang yang bertugas menyusun cerita
atau sandiwara untuk perayaan-perayaan hari besar Natal, Lebaran dll. Mesin
tulis itu sungguh anugerah yang besar, namun Sulami harus taktis dan efisien
memanfaatkannya. Ia mengaku, setelah mendapatkan mesin tulis itu, ia “menulis
seperti orang gila”. Ia menulis banyak hal: cerpen, novel, naskah sandiwara,
novelet, dan sajak. Sulami melukiskan peluang menulis ini sebagai “menerkam
kesempatan dalam kesempitan dalam penjara.” (h. 78).
Berikutnya, ia mendapat sumbangan kertas tik dan alat
tulis dari seorang profesor yang berkunjung dengan para mahasiswanya ke penjara
itu. Hatinya girang bukan kepalang. Ia makin optimis, dan berharap sebelum
pelepasannya tahun 1986, seluruh tulisannya itu bisa selesai dan diterbitkan.
Namun seandainya pun tak bisa diterbitkan, baginya tidak masalah. Ia sudah
mendengar bahwa seorang bekas tapol tak diizinkan mempublikasikan tulisan yang
dapat mempengaruhi pendapat umum. “Tapi saya tak ada urusan dengan itu. Bagi
saya, yang penting menulis, sekali lagi menulis!” (h. 79), demikian pekik
Sulami. Kita lihat di sini, bagaimana signifikannya menulis baginya. Menulis
pertama-tama adalah upaya pembebasan diri. Menulis adalah mengeluarkan pikiran
yang meronta dalam kepala. Menulis adalah suatu perjuangan untuk keluar dari siksaan
fisik dan masuk ke suatu ruang batin yang sangat pribadi, sunyi, bebas dari
kungkungan surveillence dan disiplin penguasa.[8]
Sulami memang menguasai baca tulis, namun Sulami bukanlah
seorang penulis yang terampil dan piawai. Ia tidak biasa menulis, dalam
pengertian untuk dibaca publik. Hal ini dengan demikian menjadi kendala berikut
dari perjuangannya untuk menulis. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya
menorehkan kata-kata. Tetapi tetaplah kelihatan bahwa ia bukan pencerita yang
lancar dan runtut. Unsur dramatis yang biasanya mencolok dalam karya-karya
otobiografis tampak tidak kelihatan dalam otobiografi ini. Misalnya dalam menceritakan
tentang penyiksaan, ia menampilkan bahasa yang singkat dan sederhana, serta
abai dengan detil. Ia lebih senang untuk langsung menunjukkan pada konklusinya,
bahwa penyiksaan yang dilakukan itu jauh lebih kejam daripada yang pernah
dilakukan oleh Belanda maupun Jepang (h. 16-17). Ia seperti hendak langsung
menampilkan kenyataan yang paradoks dan ironis.
Dan tak ada lain dari paradoks dan ironi ini, kecuali
penangkapan dan penyiksaan terhadap Sulami sendiri. Sulami adalah laskar wanita
yang ikut berjuang pada zaman Jepang, Belanda, dan ketika zaman kemerdekaan
terlibat penuh dalam gerakan emansipasi wanita. Seorang perempuan yang
menyerahkan dirinya kepada bangsa dan negara. Dalam otobiografi ini, kita akan
banyak menemukan lukisan kenangan Sulami sebagai mantan pejuang. Meski fokus
cerita sebenarnya soal pengalamannya dipenjara dan disiksa serta upaya
rehabilitasi nama Gerwani, namun kenangan masa muda berjuang ini mengambil
tempat yang cukup banyak di dalam narasi. Pengalaman masa muda sebagai laskar
ini merongrong koherensi epifani ini bagai sebuah tusukan tajam. Yang paling
menarik dari ceritanya ini adalah ketika ia lolos dari penyiksaan yang biasa
mengiringi pemeriksaan menjelang pengadilan, karena mayor pemeriksa itu
mengenalnya sebagai rekan dalam perjuangan gerilya kemerdekaan (bagian 6).
Inilah paradoks dari diskontinuitas hidup Sulami.
Pola perbandingan yang penuh paradoks dan ironi, tentu
memiliki kekuatan naratif tersendiri. Ia bisa menghindarkan penulis dari
membuka luka lama. Melukiskan suatu bentuk penyiksaan yang tak manusiawi dengan
detil dan luas, tentu secara psikologis bisa membuka luka kembali. Bisa
menyeret diri ke dalam kecengengan dan sikap pasrah, menyerah. Pelukisan yang
lebih singkat, dengan pola paradoks dan ironi, tentulah lebih aman.
Paradoks dan ironi lain yang ditampilkan Sulami tentulah
kemampuannya untuk mentertawakan diri sendiri dan juga “musuh”-nya.
Pengadilannya disebut sebagai dagelan dan penuh lelucon. Namun, ia tak
menceritakan hal ini lebih lengkap. “Sayang saya tak dapat melukiskan semuanya
di sini” (h. 62), katanya. Atau, “Banyak pengalaman dalam persidangan yang tak
bisa diungkapkan di sini, karena sempitnya tempat” (h. 63), tulisnya.
Sulami memang telah mengerahkan daya dan ingatannya. Ia
juga sepenuh hati merekam pendapat dan pengalaman rekan-rekannya ketika
menuliskan otobiografi ini. Dan sebagaimana ditegaskan di atas, pekerjaan ini
tidaklah mudah.
Mungkin bukan semata masalah kendala teknis dan terutama
restriksi politis itu saja yang membuat mengapa teks ini tampil seperti sebuah
lagu rap. Patah-patah dan terdapat banyak diskontinuitas di dalamnya. Di luar
masalah teknis-politis itu, soal yang lebih besar adalah apa yang disebut
sebagai “ingatan” di dalamnya. Banyak hal yang tidak jelas atau bahkan sama
sekali tidak ditampilkan Sulami, bukan karena ia lupa atau alpa, tapi (mungkin)
ia memang sengaja hendak melupakannya. Ada sisi-sisi dari pengalamannya itu
yang mungkin hendak didekapnya sendiri dalam ingatannya, selain ada yang hendak
dibagikan secara terbuka. Tampaklah dalam menulis otobiografi ini perjuangannya
untuk di satu sisi “melupakan” sekaligus “mengingat” sisi-sisi kejadian
tersebut. Baginya, peristiwa itu memang tidak bisa dilupakan, tetapi juga
sangat berbahaya untuk diingat.
Pembaca akhirnya memang tak mendapat keterangan yang
cukup mengapa Sulami menjadi saksi pengadilan Sudisman, tentang Siaran Radio
PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno),[9] tentang
tim pemeriksa yang disebut Operasi Kalong, dan lainnya. Jika demikian, lantas
bagaimana dengan “fakta” yang hendak dikemukakan Sulami, seperti ditegaskan
penerbit dan ditulisnya sendiri di bagian pengantar: “Biar harta tak punya,
nyawa masih ada. Dan berniat terus menulis fakta yang penulis alami” (h.
VIII)?
“Menampilkan fakta” tentang peristiwa 1965-1966 itu
tampaknya memang telah menjadi obsesi umum, termasuk mungkin Sulami, dan banyak
rekan-rekannya dan juga lawan politiknya. Melimpahnya karya di sekitar tema ini
menunjukkan kuatnya arus kontestasi dalam upaya merepresentasikan “fakta”
mengenai tragedi politik ini. Jelaslah bahwa kontestasi ini tidak akan pernah
berakhir. Upaya untuk mengkerucutkan fakta ini hampir dengan seketika berarti
juga memuaikannya.
Akhirnya, segala cara dan upaya untuk merepresentasikan
fakta ini telah mentransformasi diri menjadi “fakta” itu sendiri. Demikianlah
dengan otobiografi Sulami ini, yang penting bukanlah mengenai “fakta” kejadian
dalam tulisan itu sendiri, tetapi bagaimana cara Sulami mengingat dan
merepresentasikan kejadian tersebut. Seluruh apa yang telah diingat Sulami,
cara ia mengingatnya, perjuangan untuk mengingat-ingatnya, dan bahkan
keengganannya untuk mengingat bagian-bagiannya, serta kemudian bagaimana ia
merepresentasikannya adalah “fakta” yang sama pentingnya dengan apa yang secara
akademis disebut sebagai “fakta sejarah.”
Selain itu, kalaupun ada “fakta” yang hendak
ditampilkannya, maka fakta itu bukanlah hal yang besar-besar: tentang intrik
politik elit Jakarta, tentang pertarungan ideologi-ideologi besar, tentang
siapa yang salah dan benar dalam konflik itu, dan lainnya, tetapi hal-hal yang
dekat dengannya: tentang keluarga yang hancur oleh penangkapan, tentang
penyiksaan dan perkosaan terhadap gadis-gadis belia, tentang anak yang terpisah
dari orang tuanya, kehidupan dalam penjara, dan seterusnya. Boleh dikata inilah
bagian dari fakta-fakta ‘sisi bawah’ tragedi 1965 ini yang banyak luput dari
oto/biografi atau kajian-kajian yang ada selama ini. Tampaknya dari sudut
pandang perempuanlah “sisi bawah” dari sejarah ini bisa ditampilkan.[10]
Otobiografi ini memang penting dilihat sebagai suatu
praktik pembebasan dan resistensi. Meski, ia hanya sebuah pekik yang
serak.
___
Daftar pustaka
Anderson, Ben, “How Did the general Die?”, Indonesia,
1987.
Budiarjo, Carmel, Surviving Indonesia’s Gulag: A
Western Woman Tells Her Story, Cassel London, 1996.
Budiawan, Breaking The Immortalized Past:
Anti-Communist Discource and Reconciliatory Politics in Post-Suharto Indonesia,
Disertasi Tidak Dipublikasikan, Universitas Nasional, Singapura, 2003.
Denzin, Norman K., Interpretive Biography, Sage
Publications, London
Smith, Louis M., “Biographical Method”, dalam Handbook
of Qualitative Research, Norman K. Denzin – Yvonna S. Lincoln (ed.), Sage
Publications, 1994.
Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang, Pustaka Utan
Kayu, Maret 2003.
Sulami, Perempuan – Kebenaran dan penjara, Cipta
Lestari, Cetakan Pertama, 1999.
Wieringa, Saskia Eleonora, Penghancuran Gerakan
Perempuan di Indonesia, Garba Budaya, Cetakan Pertama, 1999.
[1] Judul diambil
dari puisi karya J.J. Kusni seperti dikutip dengan lengkap di tubuh tulisan
ini. Tulisan ini diambil dari buku Perempuan Multikultural, Desantara,
2004.
[2] Tentu saja,
terdapat perbedaan pandangan antara Gerwani dan gerakan-gerakan perempuan
lainnya, mengenai berbagai aspek kehidupan: agama, pendidikan, nasionalisme,
dan lainnya. Namun, tak sedikit juga persamaan-persamaan di antara mereka, yang
memungkinkan antara mereka bisa saling bekerja sama. Selain itu, pandangan di
dalam gerwani sendiri tidaklah monolitik, tapi juga kompleks, beragam, dan
dinamis. Untuk lebih rinci mengenai ini, tengoklah studi Saskia (1999) yang
sangat luas dan
terperinci.
[3] Selain Sulami,
setahu saya, tapol perempuan lainnya yang menuliskan memoar adalah Carmel
Budiarjo dan Sudjinah. Carmel adalah seorang berkebangsaan Inggris yang menikah
dengan seorang aktivis PKI. Atas intervensi Pemerintah Inggris, Carmel bisa
keluar setelah tiga tahun mendekam, juga tanpa pengadilan. Sekembali ke London,
ia mendirikan organisasi hak asasi manusia, TAPOL. Lihat memoarnya, Surviving
Indonesia’s Gulag: A Western Woman Tells Her Story, 1996. Sudjinah adalah
jurnalis freelancedan penerjemah untuk wartawan Prapda dan DPP. Gerwani.
Lihat bukunya, Terempas Gelombang Pasang: Rowayat Wartawati dalam Penjara
Orde Baru, Pustaka Utan Kayu, Maret 2003.
[4] Pengecualian,
menurut Budiawan, otobiografi Hasan Raid dan Ahmad Moestahal, yang bukan semata
pembelaan-diri, tetapi juga suatu kontra wacana terhadap tuduhan bahwa PKI khususnya
dan komunis umumnya sebagai ateis yang telah dikibarkan sejak tahun 1920-an.
Aspek ini menjadi kajian Budiawan terhadap kedua otobiografi tersebut.
[5] Menurut Saskia,
mereka yang berada di Lobang Buaya itu adalah anggota Pemuda Rakyat, dan
beberapa istri tentara. Namun mengapa, tanyanya, kampanye terhadap Pemuda
Rakyat tidak sekeras terhadap Gerwani. Tapi kampanye media massa mengaitkan
mereka dengan Gerwani… Apakah tujuan khayalan kaum militer yang mereka
sulap menjadi “tari-tarian cabul” dan zakar yang diiris-iris? Jika aksi sepihak
adalah sebab terpenting pembantaian, mengapa para BTI tidak dikutuk sebagai setan-setan?
Atau para seniman Lekra, mengingat kegiatan ideologis mereka. Juga ada para
anggota SOBSI di Lobang Buaya. Mengapa,…? demikian tanya Saskia (h. 487).
[6] Lihat karya
Saskia yang memanfaatkan beberapa dokumen dari rekaman proses pengadilan ini
untuk kajiannya.
[7] Titik berangkat
paska 65 ini, menurut Budiawan menjadi watak umum dari oto/biografi para mantan
tapol. Sebaliknya, kehidupan pra-1965 menjadi titik utama cerita para lawan
politiknya. Dengan demikian, yang terjadi adalah “tabrakan” ingatan yang
membuat sulitnya membangun rekonsiliasi. Dengan watak narasi seperti itu,
kebanyakan kalangan mantan tapol PKI “mengingat” apa yang dilupakan oleh
lawan-lawannya, dan “melupakan” apa yang terus diingat oleh lawan-lawannya
dalam sejarah. Demikian juga dengan lawan-lawan mereka, “melupakan” apa yang
terus diingat oleh kalangan PKI dan “mengingat” apa yang mereka lupakan. Namun
menyangkut Sulami, ada sedikit penjelasan mengapa ceritanya langsung mulai dari
pelarian ini, karena masa mudanya, menurutnya, sudah ditulisnya dalam bentuk
novel yang berjudul “Mencari Bulan Ndadari” yang bercerita tentang kerjasama
antara Batalyon Lawu dengan seorang pejuang perempuan. Yang menarik, mengapa
pengalaman masa remajanya sebagai pejuang itu ditulis dalam bentuk “novel”,
sedangkan pengalaman dalam penjara ditulis sebagai “kisah nyata?”
[8] Betapa pentingnya
menulis di dalam penjara ini, sebagai perbandingan, baca catatan Sudjinah,
rekan Sulami berikut ini: “Selama kehidupan saya di dalam sel, saya mencoba
menyisihkan pikiran-pikiran yang dapat menimbulkan gangguan ketegangan perasaandengan
cara menulis sajak dan cerpen, mencatat kisah sesama tahanan maupun
gejolak perasaan dalam diri saya… (Sudjinah, 2003, hlm. 44, tanda miring dari
saya, HS).
[9] Dalam karya
Sudjinah, PKPS itu bukanlah sebuah siaran radio, tapi sebuah buletin yang
disebut Buletin Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS). Menurut Sudjinah,
ini adalah buletin stensilan yang mereka sebarkan, yang berisi dukungan
terhadap komando Bung Karno yang meminta rakyat agar jangan gontok-gontokan dan
tetap setia di bawah kepemimpinannya. Sulami, Sudjinah, Sri Amba, dan Suharti
adalah tokoh-tokoh di balik pembuatan dan penyebarluasan buletin ini. Sulami
(Sudjinah menyebutnya Lami) sendiri adalah “atasan” mereka dalam kegiatan bawah
tanah yang, menurut Sudjinah, sempat berlangsung selama kurang lebih satu tahun
ini. Terutama karena buletin inilah mereka diburu dan ditangkap, dan akhirnya
diajukan ke pengadilan.
[10]Untuk interpretasi
ini, saya sangat terinspirasi oleh buku Urvashi Butalia, Sisi Balik Senyap,
Tera 2002, yang berisi penelusuran pengalaman pemisahan India dan Pakistan dari
sudut pandang perempuan.
Sumber: Haisa
0 komentar:
Posting Komentar