17 SEPTEMBER 2013 | 21:18
Sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965, pemerintah
Jepang menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Soekarno di Indonesia. Hal
tersebut yang membuat respon pemerintah Jepang pada awal peristiwa G30S 1965
sangat berbeda dengan banyak negara lain di dunia.
Pada tanggal 12 Oktober 1965, atau 12 hari setelah
peristiwa G.30/S, Perdana Menteri Jepang Eisaku Satō mengirim surat kepada
Presiden Soekarno. Dalam suratnya itu, Satō mengucapkan syukur atas keselamatan
Presiden Soekarno dari peristiwa G30S 1965.
“Sikap pemerintah Jepang itu berlainan dengan banyak
negara-negara barat. Selain Jepang, negara yang memberikan pesan serupa hanya
Tiongkok, Pakistan, dan Philipina,” ungkap Professor Aiko Kurasawa, seorang
peneliti soal sejarah Indonesia asal Jepang, dalam diskusi bertajuk
“G30S/1965 Versi Jepang” yang diselenggarakan Pusat Penelitian Politik LIPI, di
Jakarta, Selasa (17/9/2013).
Menutu Prof Aiko, yang meneliti dokumen Kementerian Luar
Negeri Jepang, sebelum peristiwa di tahun 1965 itu, pemerintah Jepang membangun
hubungan baik dengan pemerintahan Soekarno. Selain mengenai negosiasi pampasan
perang, Jepang juga aktif memberikan dukungan ekonomi ke Indonesia.
Ia mencontohkan, setelah pemerintahan Soekarno mengambil
langkah nasionalisasi terhadap aset-aset Belanda di Indonesia. Saat itu,
Indonesia kekurangan kapal untuk pengangkutan barang antar pulau. Maklum, KPM
(Maskapai Pelayaran Belanda) menarik semua kapalnya.
“Saat itu pemerintah Jepang memutuskan untuk menyediakan
kapal dengan memakai dana pampasan perang,” ujar Aiko .
Sebelumnya, pada saat Konferensi Asi-Afrika di Bandung
tahun 1955, Jepang juga mengirim delegasinya. Keputusan itu sangat mengejutkan.
Maklum, politik luar negeri Jepang kala itu sangat memihak Amerika Serikat.
Kemudian, pada tahun 1964, Jepang menunjuk Shizuo Saito
sebagai Duta Besar di Indonesia. Ia pernah bekerja di Gunseikanbu Somubu semasa
pendudukan Jepang di Indonesia. Selain itu, ia dianggap punya hubungan pribadi
yang dekat dengan Soekarno.
Respon Kedubes
Jepang Saat Peristiwa G30S/1965
Pada saat G30S/1965 terjadi, Dubes Saito sedang tidak
berada di Jakarta. Ia sedang berada di Cilacap, Jawa Tengah, usai peresmian
sebuah proyek perusahaan Jepang.
Tanggal 1 Oktober 1965 pagi, karena tidak mengetahui
kejadian di Jakarta, rombongan Dubes Jepang berangkat ke Bandung. Selama
perjalanan sang Dubes tidak merasakan adanya perubahan situasi.
Beberapa kali ia mencoba menyetel siaran radio tetapi
tidak berhasil.
Usai checkin di sebuah hotel di Bandung, Dubes Saito
mencoba menelpon stafnya di Jakarta. Tetapi tidak nyambung. Beruntung seorang
warga Jepang mendatangi Saito di hotel dan memberi tahu perihal terjadinya
kudeta di Jakarta.
Yang menarik, ungkap Aiko, Dubes Jepang itu tidak
mengetahui sebuah informasi penting, yakni sebuah gerakan militer berbau
kudeta, melebihi 24 jam. “Cukup mengherankan seorang Dubes tidak mengetahui
kejadian yang begitu penting dalam waktu cukup lama,” ujarnya.
Namun, kendati Dubes Jepang tidak berada di tempat dan
tidak mengetahui keadaan, staf di Kedutaan Jepang tetap mengirim telegram ke
Departemen Luar Negeri Jepang di Tokyo. Dalam telegram pertama, sekitar pukul
12.00 siang, disampaikan bahwa Kolonel Untung, komandan Balalyon Cakrabirawa,
mengambil tindakan untuk mencegah rencana kudeta yang dirancang oleh Angkatan
Darat.
Tetapi pada telegram selanjutnya, sekitar pukul 20.50
malam, pesannya berbeda jauh. Telegram ini menuding PKI sudah merencanakan aksi
tersebut dan tindakan Dewan Revolusi (Kolonel Untung Cs) mengambil tindakan
kontra-kudeta hanya dalih belaka.
Aiko menjelaskan, kesimpulan telegram itu mengklaim
mendapat informasi dari ‘sumber khusus’ kedutaan. Selain itu, telegram itu
menambahkan analisa: tidak mungkin Presiden (Soekarno) bisa merebut kembali
kekuasaan sebelumnya dan ada kemungkinan terjadi civil war.
Tak hanya itu, Perdana Menteri Eisaku Satō menulis
catatan harian pribadi pada tanggal 2 Oktober 1965. Isinya: Sejak kemarin
tidak ada lagi informasi tentang kudeta, dan kita tidak bisa menangkap
situasinya. Tentu ini adalah clash antara kiri dan kanan, tetapi tidak begitu
jelas pihak yang mana yang menyerang dulu.
Sayang, Aiko tidak menjelaskan lebih jauh perihal
telegram-telegram kedutaan Jepang. Ia juga tidak menjelaskan lebih jauh
mengenai ‘sumber khusus’ yang diklaim sebagai sumber laporan kedutaan itu.
Sikap Jepang Bergeser
Pada awal kejadian, kebanyakan politisi di dalam
pemerintahan Jepang masih bersimpati terhadap Soekarno secara pribadi. Mereka
berharap pemerintahan Soekarno bisa mengendalikan situasi.
Perdana Menteri Jepang saat itu, Eisaku Satō, yang
digambarkan oleh Aiko berhaluan ultra-nasionalis, masih simpati terhadap
pemerintahan Soekarno. Ia mengirim pesan berisi ucapan rasa syukur atas
keselamatan Presiden Soekarno dari kudeta.
Tanggal 12 Oktober 1965, Dubes Jepang Shizuo Saito bertemu
Presiden Soekarno. Ia membawa pesan berikut: Di Jepang ada peribahasa
‘sesudah hujan tanah menjadi lebih keras lagi’. Seperti itu kami mengharapkan
agar Bapak Presiden mengatasi kesulitan yang dihadapi sekarang dan basis negara
RI akan menjadi lebih kuat lagi.
Presiden Soekarno langsung merespon pesan itu. Ia
menyampaikan beberapa hal, seperti harapannya agar Konferensi Asia Afrika tetap
diselenggarakan. Soekarno juga membantah kabar tentang penyiksaan para
Jenderal. “Data forensik dan perwira Polisi Militer yang hadir pada pemeriksaan
mayat membantah adanya penyiksaan,” ujar Soekarno.
Saat itu, AS menganggap Jepang masih terkena ‘hipnotisme’
Soekarno.
Tak hanya itu, melalui telegram Deplu AS tanggal 29
Oktober 1965, pemerintah AS berharap agar, ketika situasi sudah berubah ke arah
yang dikehendaki AS, Jepang menyesuaikan diri.
Akhirnya, pada awal November, sikap Jepang mulai berubah.
Dubes Saito mulai menarik dukungannya terhadap Soekarno. Ia tidak suka dengan
pernyataan Soekarno yang menuding CIA terlibat dan membiayai propaganda
pro-Amerika.
Tak hanya itu, kata Aiko, pemerintah Jepang mulai
memperhatikan agar jangan bantuan ekonomi memperkuat kelompok Subandrio. Tak
hanya itu, Adam Malik–yang saat itu anti-PKI dan Soekarno–meminta pemerintah
Jepang agar tidak memberi bantuan ekonomi sebelum terjadi perubahan
pemerintahan.
Tak hanya itu, Aiko juga mengungkapkan, bahwa seorang
bernama Nishijima, mantan pembantu Laksamana Maeda dan sekaligus pengurus PT.
North Sumatera Oil, menerima uang dari Kedubes AS sebesar 50 juta US Dollar
untuk diberikan kepada Adam Malik. Lalu, Adam Malik menyerahkan uang tersebut
ke Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu). Saat itu,
KAP Gestapu dipimpin oleh Subchan Z.E. (NU) dan Harry Tjan Silalahi (Katolik).
Tak hanya itu, berdasarkan pengakuan Dewi Soekarno,
pemerintah Jepang juga memberikan sejumlah dana kepada Sofjan Wanandi, yang
saat itu menjadi aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk
menggoyang pemerintahan Soekarno.
Dengan demikian, sejak November 1965, pemerintah Jepang
sudah berubah posisi menjadi anti-Soekarno. Mereka mulai mengharapkan adanya
rezim baru yang lebih memihak barat dan berorientasi pada pembangunan ekonomi
yang mengakomodir modal asing.
“Jepang segera mengambil prakarsa membantu Soeharto
membangun rezim Orde Baru dan akhirnya menjadi donator terbesar bagi rezim
Soeharto,” ujar Aiko.
Sejak itu, kata Aiko, politik luar negeri Jepang terhadap
Indonesia lebih mengutamakan kepentingan ekonomi ketimbang politik.
***
Rudi Hartono, pengurus Komite
Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online
0 komentar:
Posting Komentar