Friday, September 13, 2013
Dibungkus kresek putih, tiga buku tulis lusuh itu
menguarkan bau debu menyengat. Warna kertasnya mulai memudar kecoklatan. Namun
tulisan tangan di dalamnya masih terbaca jelas. Berisi ratusan lirik lagu dalam
bahasa Indonesia dan bahasa daerah Using, lengkap dengan notasinya.
Di lembar kesebelas, judul lagu Gendjer-gendjer tertulis
dalam warna merah. Di sebelah kanannya tergambar palu-arit, lambang yang
dipakai Partai Komunis Indonesia saat itu. Gendjer-gendjer ditulis Muhammad
Arief dalam bahasa daerah Using, Banyuwangi. Berisi tiga bait, masing-masing
terdiri dari empat baris. "Lagu ini ditulis saat penjajahan Jepang tahun
1943," kata Sinar Syamsi, 60 tahun, anak Muhammad Arief, Rabu 11 September
2013.
Lagu Gendjer-gendjer cukup populer semasa Orde Lama.
Terlebih setelah dinyanyikan Lilis Suryani dan Bing Slamet kemudian sering
diputar di radio. Menurut Sinar Syamsi, lagu ini bercerita tentang penderitaan
rakyat Banyuwangi akibat kekejaman Jepang. Meluasnya kelaparan, membuat
penduduk Banyuwangi terpaksa memakan gendjer, gulma di sawah yang sebenarnya
adalah makanan itik.
Muhammad Arief adalah seorang petani di Banyuwangi. Dia
juga seniman angklung yang pandai mencipta lagu. Setelah Indonesia merdeka,
Arief bergabung dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), organisasi yang
didirikan Amir Sjarifuddin yang kemudian menjadi Pemuda Rakyat. Tahun 1950an,
dia masuk Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), dan menjabat Ketua Bidang Kesenian.
Setelah Pemilu pertama tahun 1955, Arief diangkat sebagai anggota DPRD setempat
sebagai wakil seniman.
Sinar Syamsi, mengatakan, setelah bergabung dengan Lekra
ayahnya mendirikan grup angklung bernama Srimuda, kependekan dari Seni Rakyat
Indonesia Muda. Anggotanya 30 orang, mulai pemain angklung, sinden dan penari.
Srimuda berlatih setiap hari di rumah M. Arief yang saat itu berada di Jalan
Kyai Saleh No 47, Kelurahan Temenggungan. "Kalau latihan mulai sore sampai
malam," kata Syamsi di rumahnya Jalan Basuki Rahmat.
Angklung Srimuda ini cukup terkenal. Mereka sering
menggelar pertunjukan seni dan mengisi acara-acara politik PKI. Bahkan Srimuda
sering diundang ke Surabaya, Jakarta, dan Semarang. Setiap kali tampil, kata
Syamsi, Gendjer-gendjer menjadi lagu wajib karena menyuarakan penderitaan
rakyat. Itulah akhirnya gendjer-gendjer menjadi populer di Nusantara. Dibawah
label Irama Record, Lilis Suryani dan Bing Slamet merekam lagu ini pada 1965
dalam bentuk album kompilasi Mari Bersuka Ria. "Saat rekaman itu, saya,
ibu dan bapak diajak ke Jakarta," kata ayah tiga anak ini mengenang.
Tak hanya menulis lagu berbahasa Using, M. Arief banyak
menciptakan sejumlah mars paduan suara. Seperti Ganefo, Lekra, Aksi Tani dan
Harian Rakjat. Lirik mars ini juga tertulis dalam tiga buku yang disimpan
Syamsi. Mars akhirnya dipakai secara nasional dan beberapa di antaranya juga
direkam.
Andang Chatib Yusuf, 79 tahun, bekas Ketua Bidang Sastra
Lekra, menyebut M. Arief sebagai pembaru musik tradisional Banyuwangi. Sebelum
hadirnya karya M. Arief, kata Andang, lagu Banyuwangi masih bernuansa klasik
yang berasal dari gending-gending tarian Gandrung sejak awal abad ke-19.
Pada tahun 1940an, M. Arief banyak menciptakan lagu-lagu
kritik sosial dan memadukannya dengan alat musik bambu, angklung. Selain
Gendjer-gendjer, dua lagu lain karya M. Arief yang terkenal adalah Nandur
Jagung dan Lerkung. "Ini juga ditulis saat pendudukan Jepang," kata
ayah lima anak ini.
Setelah mendirikan Srimuda, M. Arief membentuk kelompok
kesenian angklung hampir di seluruh desa. Saat itu antusiasme penduduk sangat
tinggi, karena sejatinya darah kesenian masyarakat Banyuwangi sangat kuat. Setiap
ada tokoh PKI datang seperti Njoto dan D.N Aidit, kata Andang, angklung Srimuda
selalu tampil menjadi penarik massa.
Oleh karena itu, Andang tak menampik akhirnya kesenian
angklung menjadi semacam alat propaganda dan menjadi kunci keberhasilan PKI di
Banyuwangi. Meskipun, kesenian lain seperti teater dan sastra saat itu juga
berkembang pesat. "Tapi tak sefenomenal angklung," kata Andang.
Kesenian ini tiarap seiring dengan pelarangan PKI. Banyak
senimannya dibunuh, termasuk penggagasnya, M. Arief. Syamsi ingat, saat itu
hari mulai beranjak siang, saat tiba-tiba segerombolan massa menuju rumahnya.
Syamsi yang saat itu berusia 11 tahun, bersama M. Arief dan ibunya, Suyekti,
sempat melarikan diri. Dua jam kemudian setelah kondisi mereda, mereka pulang dan
mendapati rumahnya sudah hancur. Hanya tersisa ratusan buku dan naskah
lagu-lagu yang tertindih puing-puing.
Namun M. Arief menyadari kondisi masih cukup
membahayakan. Dia lantas berpesan kepada istrinya: "Mungkin saya tak
lama." Setelah pamit, M. Arief keluar rumah lagi. Bersama ibunya, Syamsi
mengumpulkan buku-buku koleksi ayahnya. Demi menyelamatkan diri dan ibunya,
semua buku-buku bacaan beraliran kiri dibakar. Hanya buku tulis berisi
lagu-lagu yang diselamatkan Syamsi hingga sekarang.
Keesokan harinya, Syamsi mendengar jika M. Arief
ditangkap tentara dan ditahan di markas CPM. Bersama Suyekti dia sempat
menjenguk M. Arief. Itulah pertemuan terakhir Syamsi dengan ayahnya.
"Saat itu bapak pesan supaya saya rajin
belajar." Berikutnya, Syamsi mendengar kalau M. Arief ditahan di Kalibaru
yang berbatasan antara Banyuwangi dan Jember. Berbekal satu rantang makanan,
Syamsi berniat menjenguk M. Arief ke Kalibaru menggunakan kereta api. Dia
diminta menemui seorang China, bernama Swan. Dari Swan inilah, Syamsi tahu M.
Arief sudah dipindah ke Malang dan takkan kembali lagi ke Banyuwangi.
"Saya langsung menangis histeris,"
M. Arief memang sempat ditahan di Lowokwaru, Malang. Dia
satu sel dengan Andang Chatib Yusuf, sejawatnya di Lekra Banyuwangi. Menurut
Andang, M. Arief tak banyak mengobrol. Dia terlihat sering termenung dengan
mata kosong. Pernah dia bercerita kepadanya, kalau dia memikirkan nasib anggota
grup angklungnya yang tersebar di desa-desa.
Dua bulan mendekam di Lowokwaru, nama M. Arief masuk dalam
daftar yang akan dibawa. Andang mengingat betul masa-masa perpisahan itu. M.
Arief yang berusia sekitar 60 tahun, mendekati beberapa orang termasuk Andang,
lalu berkata:
"Saya tak ada
harapan lagi. Mati mungkin hanya saya rasakan 5 atau 10 detik. Selanjutnya saya
serahkan pada kalian." Semua di sel itu terdiam. M. Arief kemudian keluar
dan tak pernah kembali lagi.
Nasib yang menimpa M. Arief terjadi pula pada
karya-karyanya. Lagu Gendjer-gendjer, dilarang selama era Orde Baru. Meski
begitu, Pemerintah Banyuwangi akhirnya menggunakan kesenian untuk mencari
simpati penduduk pasca peristiwa 1965. Menurut Andang, mulai tahun 1970an,
Pemerintah Banyuwangi memfasilitasi rekaman lagu-lagu daerah dan menghidupkan
angklung, dengan catatan lagu yang dimainkan tidak mengkritik pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar