Sindonews.com - Keluarga korban
peristiwa kekejaman Westerling atau yang lebih dikenal dengan tragedi 40
ribu jiwa tahun 1946-1947, di Sulawesi Selatan, hanya bisa pasrah dan
berharap akan adanya kompensasi yang telah dijanjikan oleh Pemerintah
Belanda.
Meskipun pada umumnya telah merelakan kepergian keluarga mereka dengan cara sadis, namun mereka tetap masih dapat merasakan luka yang mendalam ketika mengingat peristiwa tersebut. Apalagi, jika kala itu salah satu dari mereka melihat langsung peristiwa berdarah itu.
Ibu Hudaiyah merupakan salah satu saksi hidup korban kekejaman pasukan westerling. Dia merupakan istri Damis, salah satu korban penembakan berdarah oleh pasukan Westerling.
Hudaiyah mengaku melihat langsung peristiwa penembakan suaminya kala itu. Dia sempat menceritakan sepenggal tragedi yang merenggut nyawa suaminya demi memperjuangkan NKRI kala itu.
Sejak kepergian suaminya, Hudaiyah tinggal bersama dua orang anak dan tiga orang cucunya. Dia mendiami rumah panggung sederhana di Kelurahan Sumpang Minangae, Kecamatan Bacukiki Barat, Kota Parepare, Sulawesi Selatan.
Sepeninggal suaminya yang menjadi korban kekejaman Westerling. dia masih mampu bertahan hidup hingga saat ini. Akan tetapi kesulitan ekonomi keluarganya memaksanya untuk tinggal di atas tanah milik orang lain.
Sementara itu, dengan adanya kompensasi yang akan dijanjikan oleh Pemerintah Belanda, dia mengaku nantinya akan dia belikan rumah.
Hudaiyah berharap pemerintah Belanda tidak hanya meminta maaf atas peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh westerling dan pasukannya. Akan tetapi juga merealisasikan janji berupa kompensasi buat para janda korban peristiwa 40 ribu jiwa tersebut.
Pembantaian Westerling merupakan peristiwa berdarah yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymod Paul Pierre Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946–Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Tentang jumlah korban tewas dalam oeprasi itu masih simpang siur. Westerling mengaku hanya membunuh 600 orang. Sedang pihak Belanda mengklaim jumlahnya sekira 3000-4.000 jiwa. Sementara delegasi Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian sejak Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Dalam memoarnya, Wakil Komandan Tjakrabirawa Maulwi Saelan mengungkapkan, daerah yang terkena operasi pembantaian ini terdiri dari Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene, Barru, Sidenreng Rappang, Pinrang, Polewali, dan Mandar.
Sebelumnya, Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), lembaga yang melakukan pendampingan terhadap kasus itu menyatakan, ada sepuluh janda korban penembakan yang akan menerima ganti rugi sebesar USD27.000 atau Rp277,6 juta per orang.
(san)
Meskipun pada umumnya telah merelakan kepergian keluarga mereka dengan cara sadis, namun mereka tetap masih dapat merasakan luka yang mendalam ketika mengingat peristiwa tersebut. Apalagi, jika kala itu salah satu dari mereka melihat langsung peristiwa berdarah itu.
Ibu Hudaiyah merupakan salah satu saksi hidup korban kekejaman pasukan westerling. Dia merupakan istri Damis, salah satu korban penembakan berdarah oleh pasukan Westerling.
Hudaiyah mengaku melihat langsung peristiwa penembakan suaminya kala itu. Dia sempat menceritakan sepenggal tragedi yang merenggut nyawa suaminya demi memperjuangkan NKRI kala itu.
Sejak kepergian suaminya, Hudaiyah tinggal bersama dua orang anak dan tiga orang cucunya. Dia mendiami rumah panggung sederhana di Kelurahan Sumpang Minangae, Kecamatan Bacukiki Barat, Kota Parepare, Sulawesi Selatan.
Sepeninggal suaminya yang menjadi korban kekejaman Westerling. dia masih mampu bertahan hidup hingga saat ini. Akan tetapi kesulitan ekonomi keluarganya memaksanya untuk tinggal di atas tanah milik orang lain.
Sementara itu, dengan adanya kompensasi yang akan dijanjikan oleh Pemerintah Belanda, dia mengaku nantinya akan dia belikan rumah.
Hudaiyah berharap pemerintah Belanda tidak hanya meminta maaf atas peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh westerling dan pasukannya. Akan tetapi juga merealisasikan janji berupa kompensasi buat para janda korban peristiwa 40 ribu jiwa tersebut.
Pembantaian Westerling merupakan peristiwa berdarah yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymod Paul Pierre Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946–Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Tentang jumlah korban tewas dalam oeprasi itu masih simpang siur. Westerling mengaku hanya membunuh 600 orang. Sedang pihak Belanda mengklaim jumlahnya sekira 3000-4.000 jiwa. Sementara delegasi Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian sejak Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Dalam memoarnya, Wakil Komandan Tjakrabirawa Maulwi Saelan mengungkapkan, daerah yang terkena operasi pembantaian ini terdiri dari Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene, Barru, Sidenreng Rappang, Pinrang, Polewali, dan Mandar.
Sebelumnya, Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), lembaga yang melakukan pendampingan terhadap kasus itu menyatakan, ada sepuluh janda korban penembakan yang akan menerima ganti rugi sebesar USD27.000 atau Rp277,6 juta per orang.
0 komentar:
Posting Komentar