Senin, 30 September 2013

Gerwani dan Tragedi 1965 | Diburu Orde Baru Setelah Geger 1965


Senin 30 September 2013, 16:20 WIB

Mantan tahanan politik bernostalgia sekaligus berbagi cerita saat masa-masa menjadi tahanan politik dimasa Orde Baru. (Foto: detikcom)

Jakarta - Hingga kini belum ada bukti tertulis tentang keterkaitan antara organisasi Gerakan Wanita Indonesia dengan Partai Komunis Indonesia. Gerwani tak pernah secara resmi menyatakan sebagai organisasi sayap PKI. 
“Gerwani tidak pernah menyatakan secara resmi sebagai sayap dari PKI. Perbincangan tentang kemungkinan itu ada, tetapi secara formal tak pernah diputuskan dalam kongres organisasi,” kata sejarawan dari Institut Sosial Sejarah Indonesia (ISSI), I Gusti Agung Ayu Ratih kepada detikcom, Senin (16\/9) lalu melalui surat elektronik. 
Memang, pada tahun 1958 Partai Komunis Indonesia menyerahkan delapan kursinya di Dewan Perwakilan Rakyat kepada anggota Gerwani. Ini untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan di parlemen. 
“Tapi kami (Gerwani) bukan organisasi sayap PKI,” kata Lestari, 81 tahun, mantan pengurus cabang Gerwani Bojonegoro, Jawa Timur kepada detikcom, Sabtu (14\/9) di Kramat VII, Jakarta. 
Cita-cita Gerwani saat itu menurut Lestari, adalah pemberantasan buta huruf. Salah satunya dengan mendirikan sekolah taman kanak-kanak, dan penitipan anak gratis di pelosok pedesaan. Pendidikan politik diberikan kepada kadernya melalui lagu-lagu perjuangan.

Lestari mengisahkan, tak mudah merekrut kader perempuan saat itu. Apalagi sebagian besar masyarakat pedesaan belum melek politik. Beruntung pada waktu itu Gerwani banyak menjalin kerjasama dengan organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakjat (PR).
“Kami minta istri-istri pengurus BTI, PR itu peduli dengan nasib rakyat kecil, berjuang bersama kami (Gerwani) memberantas buta huruf,” kata Lestari. 
Nilai-nilai perjuangan kemerdekaan disampaikan melalui lagu-lagu perjuangan. “Misalnya dalam lagu \\\'Sorak-sorak Bergembira\\\', kami tanamkan arti kemerdekaan,” kata Lestari. 
Usaha itu pun sukses. Sampai tahun 1960-an Lestari menyebut jumlah kader makin bertambah besar. Organisasi ini pun berhasil membangun tak kurang dari 1500 balai penitipan anak gratis untuk buruh dan petani. Masyarakat yang awalnya tak mengerti baca tulis akhirnya bisa membaca.

Namun perjuangan Gerwani ini seolah sia-sia setelah meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sejumlah anggota Gerwani dituduh berada di Lubang Buaya saat peristiwa pembunuhan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat.

Padahal menurut I Gusti Agung Ayu Ratih, saat itu Lubang Buaya adalah salah satu tempat pelatihan sukarelawan dan sukarelawati. Mereka akan dikirim ke daerah perbatasan di Kalimantan dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia. Pelatihan ini berlangsung di sejumlah daerah di Indonesia.

Bahkan pesertanya tak hanya anggota Gerwani, ada juga organisasi perempuan lain.

“Ada juga ibu pejabat ikut pelatihan karena ini program resmi pemerintah,” kata Ayu Ratih. 
Namun pemerintah orde baru di bawah mantan Presiden Soeharto menganggap Gerwani terlibat dalam peristiwa berdarah 30 September 1965. Banyak anggota Gerwani diburu dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan, dengan status tahanan politik. Baru pada tahun 1979 mereka dibebaskan.

0 komentar:

Posting Komentar