Jumat, 14 April 2017

Lelakon Petani Kecil Yang Tanahnya Dirampas Perhutani

Jumat, 14 April 2017

"Persoalan ini akan membuktikan kebobrokan Perhutani, atau kerakusan Perhutani terhadap tanah-tanah warga masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan."

Sudjana dijemput istri, keluarga, tim kuasa hukum, dan pegiat reforma agraria ketika dibebaskan dari tahanan Kepolisian Cilacap, Jumat sore (31/3/2017). Penahanan Sudjana ditangguhkan

Cilacap - “Sangat yakin dan sangat percaya, bahwa itu tanah Pak Sudjana. Warisan dari keluarga. Karena bisa dilihat, fakta dan data yang nyata. Di situ kan ada tapal batas. Di peta juga masuk enclave. Jadi Pak Sudjana yakin, tanah ini betul-betul warisan nenek moyang saya. Itu mengapa Pak Sudjana berani menebang,” tegas Atwa Sarip.

Atwa Sarip –kemenakan Sudjana, hakul yakin pamannya tak bersalah!
Keyakinan itu didasarkan pada riwayat tanah itu sendiri. Dimana pemiliknya adalah Arinta Senggal –orangtua Sudjana yang telah menggarap berpuluh tahun. Juga, bukti Surat Pembayaran Pajak Terhutang (SPPT) lahan seluas 4,1 hektar yang terdiri dari tiga bidang. Dua atasnama Sudjana dan satu atasnama adiknya; Karsita. Di pedesaan, SPPT mafhum diakui sebagai surat kepemilikan lahan.

Tak hanya itu, bukti lainnya berupa Letter C dan surat keterangan kepala desa yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik keluarga Sudjana. Maka, bagi Atwa, wajar saja jika Sudjana menebang pohon pinus yang berada di lahannya untuk membuka lahan. 

Tapi yang terjadi? Justru pria sepuh itu dianggap melakukan tindak pidana penebangan liar di kawasan hutan milik Perhutani. Hingga hari sial itu tiba; 15 Maret 2017, Sudjana ditangkap dan ditahan.

Kejadian yang menimpa Sudjana bermula dari tumbangnya dua pohon pinus di lahannya di Desa Jambu, Kecamatan Wanareja, Cilacap. Saat itu September 2016, pohon bertumbangan karena puting beliung. Lantas oleh Sudjana, dua pohon dipotong. Kemudian pada Januari 2017, ia kembali menebang 41 pohon pinus untuk membuka lahan.

Tiba-tiba pada 27 Februari 2017, lima petani termasuk Sudjana, dipanggil polisi. Mereka diminta keterangan sebagai saksi atas penebangan liar di lahan Perhutani. Kelimanya yakni Sudjana sebagai pemilik, kemudian Tursino, Tono, Raskamto, dan Karpin sebagai pekerja.

Tak sampai tiga pekan setelah kejadian, dia didatangi mandor Perhutani dan polisi di rumahnya lantas diboyong ke kantor BKPH (Bagian Kesatuan Pemangku Hutan) Wanareja. Rupanya, Rabu itu, Sudjana ditangkap dan dijebloskan ke bui.  

“Tahu-tahu datang polisi, jumlahnya tujuh orang. Sebelumnya tidak ada pemberitahuan apa-apa. Lalu Pak Sudjana disuruh naik ke mobil polisi, tapi dia tidak mau. Pak Sudjana malah naik motor,”
- tandas keponakan Sudjana, Sucipto.

Sementara, Sukoyo –anak Sudjana, tak menyangka ayahnya bakal ditangkap itu hari. Sebab, tak ada surat penangkapan diberikan. Dari pengakuan adiknya, surat penangkapan diberi saat berada di kantor BKPH (Bagian Kesatuan Pemangku Hutan) Wanareja. 
“Jadi surat penangkapan itu dibawa ke kantor Perhutani. Nah di situ, adik saya datang dan disuruh menandatangani surat penangkapan. Besok sore, saya baru bisa menemui bapak,” ujar Sukoyo.
Dalam salinan surat penangkapan yang diperoleh KBR, Sudjana disangka melakukan tindak pidana melakukan penebangan pohon di kawasan hutan secara tidak sah. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat 1 huruf C Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusahan Hutan. Hukumannya lima tahun penjara.

Hanya saja, perwakilan Perhutani Heri Nur Afandi, mengatakan pelaporan atas Sudjana dilakukan karena pria berusia 74 tahun itu, tak kooperatif alias tak datang saat diajak bicara di kantor BKPH (Bagian Kesatuan Pemangku Hutan) Wanareja pasca penebangan pohon pinus Januari lalu.
   
“Terkait kasus Pak Sudjana, karena dia melakukan illegal loging di kawasan hutan. Kenapa saya bersikukuh itu berada di kawasan hutan? Karena secara fisik dan secara administrasi, itu berada di kawasan hutan. Bahwa kami punya dokumen mengenai Berita Acara Tukar Menukar,”
- jelas Heri Nur Afandi.

(Surat panggilan terhadap Sudjana dari Polres Cilacap. Foto: Muhammad Ridlo)

Direktur LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin, menyebut penahanan terhadap Sudjana melanggar prosedur. Pasalnya, dia langsung ditahan sementara statusnya masih sebagai saksi. 

“Jadi jangan sembarangan menangkap Pak Sudjana. Saya melihat penyidik seperti ditekan oleh pihak Perhutani, atau memang ada kepentingan di balik itu. Sehingga polisi langsung menangkap dan tidak mengikuti prosedur yang seharusnya. Harusnya dia membuat panggilan kepada Pak Sudjana sebagai tersangka,” beber Hamzal.

Namun sore di penghujung Maret 2017, Sudjana dibebaskan dengan alasan usianya yang sepuh. Pendamping hukum Sudjana, Direktur LSM Serikat Tani Mandiri (SeTAM) Cilacap, Petrus Sugeng, menjamin kliennya takkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan yang disangkakan. 

“Dengan alasan sudah tua, Pak Sudjana keluar dari sel tahanan Polres Cilacap yang dititipkan di Polsek Cilacap Selatan. Beliau dijemput oleh keluarga, LBH Wahana Cilacap, dan kami dari LSM Serikat Tani Mandiri, kemudian anak-anak PMII Cilacap,” tukas Petus Sugeng

Pembebasan Sudjana, melegakan keluarganya dan tim advokasi. Akan tetapi mereka sadar, pembebasan ini bukan akhir dari seteru dengan Perhutani. Sebab, pengadilan akan menjadi ajang pertarungan berikutnya.

Direktur LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyuddin, mengatakan pihaknya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Cilacap untuk membuktikan kepemilikan lahan yang disengketakan antara Sudjana dengan Perhutani. 

Gugatan perdata tersebut, berisi permintaan agar pengadilan bisa membuktikan kepemilikan lahan yang sah. Pasalnya, Sudjana memiliki bukti yang kuat.
Sedangkan Direktur LSM Serikat Tani Mandiri (SeTAM) Cilacap, Petrus Sugeng, juga menyebut jika gugatan mereka dimenangkan maka bisa membuka borok Perhutani yang kerap menyerobot dan mengklaim lahan petani kecil. 

“Persoalan ini akan membuktikan kebobrokan Perhutani, atau kerakusan Perhutani terhadap tanah-tanah warga masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Ini akan kami jadikan pintu masuk untuk membuka tabir atau kasus-kasus yang lain. Yang notabene sama, perampasan tanah milik warga masyarakat yang berada di kawasan hutan,”
- kata Direktur LSM SeTAM, Petrus Sugeng.

SIMPANG SIUR TUKAR GULING
“Itu adalah tanah warisan ya. Bapaknya Pak Sudjana itu meninggal tahun 1982. Nah, karena Pak Sudjana itu anak kandung, secara otomatis kalau di sini itu tanah warisan turun kepada ahli waris. Semuanya ada keterangan kepala desa di situ,” jelas Ralim.
Dengan penuh keyakinan, Ralim menuturkan asal muasal tanah milik Arinta Senggal –orangtua Sudjana, yang belakangan diklaim Perhutani. Tanah itu sendiri seluas 4,1 hektar dan terletak di Persil 171/Blok I Gombong Desa Jambu, Kecamatan Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah. 

Memperkuat kesahihan tanah itu, Atwa Sarip –kemenakan Sudjana juga bercerita, tanah tersebut sudah digarap Arintal berpuluh tahun lampau. Dan memang, lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan hutan milik Perhutani. Dengan patok beton setinggi satu meter sebagai pembatas. 
“Tapal batas itu, setahu saya, sejak zaman Belanda mungkin ya. Karena sejak zaman dulu, bentuk patoknya ya seperti itu, ada yang jaraknya 100 meter, ada juga yang 50 meter,” jelas salah satu kemenakan Sudjana, Atwa Sarip. 
Dan sebagai bukti, keluarga Sudjana mengantongi bukti Surat Pembayaran Pajak Terhutang (SPPT) lahan seluas 4,1 hektar yang terdiri dari tiga bidang. Dua atasnama Sudjana dan satu atasnama adiknya; Karsita. Tak hanya itu, bukti lainnya berupa Letter C dan surat keterangan kepala desa yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik keluarga Sudjana. Tapi, semua itu tak dianggap Perhutani. 

Jika menilik asal muasal lahan sengketa itu, sesungguhnya Arinta Senggal –orangtua Sudjana, selama bertahun-tahun sudah menggarap lahan seluas 4,1 hektar itu. Kira-kira tahun 1979, digelar lah program penanaman massal pohon pinus di kawasan hutan Perhutani.

Ralim –juru bicara keluarga Sudjana, bercerita ketika program selesai, bibit pinus banyak tersisa. Lantas, seorang mandor Perhutani menawarkan kepada Arinta agar menanam pinus di lahannya. Arinta yang berkawan baik dengan si mandor, percaya saja bahwa pemberian bibit pinus itu takkan jadi masalah di kemudian hari. Dan, Arinta pula yang kelak berhak menyadap pinus hingga anak cucunya.

Ralim juga mengatakan, pinus menjadi tanaman jenis baru yang dikenal masyarakat Desa Jambu. Sehingga mereka pun tergiur menyadap pinus.  
“Yang menanam pinus itu siapa? Pak Arinta Senggal, orang tua Pak Sudjana. Buktinya ada di surat keterangan kepala desa tahun 2011. Itu kan jelas di situ. Lembar kedua, ada silsilah tanah, Pak Arinta Senggal dan adiknya,”
- kata Ralim.

Surat keterangan Kepala Desa Jambu yang memperkuat status kepemilikan tanah Sudjana yang tengah bersengketa dengan Perum Perhutani. (Foto: Muhamad Ridlo) 

Hingga waktu bergulir. Pinus mulai disadap ketika Arinta sudah meninggal. Sementara anaknya, Sudjana, kala itu tak terpikir untuk melanjutkan profesi sang ayah menjadi petani. Sudjana muda, memilih menjadi mantri kesehatan dan melayani tiga desa sekitar; Jambu, Cigintung, dan Palugon. Ia pun cukup ditokohkan di Desa Jambu. Berbagai jabatan tingkat desa pun pernah diemban. 
Sampai pada 2009-an, Sudjana, berniat mengelola lahan warisan ayahnya. Dia lalu mengajukan pengukuran pada pemerintah desa untuk penerbitan Surat Pembayaran Pajak Terhutang (SPPT). Kemudian pada 2015, Sudjana mengajukan pensertifikatan lahan seluas 4,1 hektar miliknya. Akan tetapi, upaya itu menemui jalan buntu. Sebab saat pengukuran di lapangan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), diprotes Perhutani. 

Sudjana lantas berkirim surat ke para pimpinan daerah; bupati hingga gubernur, yang ditembuskan ke DPRD. Tetapi hasilnya, nihil. Dia lalu meminta kejelasan tanah tersebut ke Biro Perencanaan Sumber Daya Hutan dan Perusahaan (Biroren) Divisi Regional Jawa. Dalam salinan surat dari Biroren kepada Sudjana, dijelaskan telah terjadi proses tukar menukar kawasan hutan. 
“Makanya kami ajukan permohonan surat pembuktian legalitas tukar-menukar. Muncul lah jawaban pada tanggal 23 Februari 2017 tersebut. Dalam surat tersebut, tidak ada nama Arinta Senggal. Bahkan, tukar menukar itu terjadi di Panulisan Kecamatan Dayeuhluhur,” jelas Ralim lagi.
Akan tetapi, perwakilan Perhutani, Heru Nur Afandi, bersikukuh jika tanah Sudjana, miliknya. Perhutani pun, kata dia, punya bukti tukar guling. Lagi pula, saat tukar guling, Perhutani mengaku tak menemukan nama Arinta sebagai salah satu pemilik. Ditambah, lahan tersebut ditumbuhi pinus. 

Dia juga mengatakan, tukar guling itu diwakili Tawiredja –warga Desa Panulisan, Dayeuhluhur. Tawiredja mewakili 127 orang yang memiliki lahan di Desa Jambu seluas 11,2 hektar dengan rincian persil 141, 143, 144, dan 171. Hasilnya warga mendapatkan tanah Perhutani seluas 5,6 hektar di Desa Cikiangkir, Desa Panulisan.
Dan, untuk membuktikannya, Perhutani siap jika persoalan tersebut dibawa ke pengadilan.  
“Gugatan pidana maupun perdata terus terang saya tidak terlalu paham. Cuma nanti, kami akan mempersiapkan orang-orang yang lebih berkompeten. Misalnya, dalam proses tukar menukar. Ya mungkin, bukan pelaku tukar menukar saat itu. Tetapi akan kami datangkan yang lebih berkompeten, misalnya dari Biro Perencanaan Salatiga,”
- ujar perwakilan Perhutani, Heru Nur Afandi.

Namun, berdasarkan keterangan Sudjana, keluarga, dan saksi-saksi, tak pernah terjadi penandatanganan tukar guling. Anggota Tim Kuasa Hukum dari LBH Yogyakarta, Apri Wahyudi.

“Kalau ada surat perjanjian tukar menukar tanah, kami sebagai kuasa hukum, tidak pernah mendapat informasi itu,” terang anggota Tim Kuasa Hukum Sudjana Apri.

Apri juga menjelaskan, saat ini tim kuasa hukum dan sejumlah aktivis reforma agraria tengah memperkuat bukti-bukti lapangan dengan melakukan observasi dan wawancara mendalam terhadap saksi hidup. Itu diperlukan untuk memperkuat bukti berupa dokumen yang sudah dimiliki Sudjana.  

Sumber: KBR.ID 

0 komentar:

Posting Komentar