Kamis, 20 April 2017

Saya dan Narasi G30S


Fajar Arianto  | Apr 20, 2017

Foto Keluarga Wiryo Sudarmo, kakek saya dari garis bapak. Almarhum Bapak saya duduk paling kiri. Foto diambil di rumah keluarga besar di Magelang sekitar tahun 1980-an. Foto: dokumentasi pribadi

Pak Yanto namanya. Saat saya masuk SMA, beliau masih tampak muda. Ramping, tinggi sekitar 170-an, saya menebak Pak Yanto masih berusia kurang dari 30 tahun.

SMA saya adalah sebuah pesantren modern yang terletak di sebelah timur Jakarta. Kompleks belajar kami terdiri dari tiga bangunan utama: gedung sekolah tiga lantai, masjid, dan asrama. Dengan ruangan banyak sesuai jumlah mata pelajaran, kamilah yang berpindah-pindah ruang kelas setiap kali ganti pelajaran.

Pak Yanto mengajar PPKN. Tembok belakang ruang kelas yang berwarna putih dilengkapinya dengan papan kecil tempat menempel berbagai informasi. Yang paling menarik perhatian saya saat itu adalah kliping Pak Yanto soal G30S.

Saya di asrama (berkacamata duduk di tengah), mendapatkan kejutan ulang tahun yang ke 17, tahun 1999. Foto: dokumentasi pribadi

Saya masuk SMA di paruh kedua tahun 1998, pasca lengsernya Soeharto dari kekuasaan tertinggi negeri ini. Euphoriakebebasan berpendapat dan meluapnya informasi -yang sebelumnya dianggap sensitif- terasakan sampai ke ruang kelas kami. Alih-alih turut menghakimi PKI sebagai entitas tunggal dalang peristiwa G30S, Pak Yanto melalui madingnya memberikan alternatif penjelasan yang berbeda. Terdapat beberapa versi teori terkait peristiwa tersebut.

Pak Yanto saya anggap inovatif dan berani, karena bahkan di Kurikulum 1999 pun, teks sejarah masih mencantumkan judul G30S/PKI. Berbagai versi sejarah G30S baru dihadirkan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004 (kbr.id, 2 November 2014).

Dalam matriks sederhana yang disusun Pak Yanto, kami dibuat bertanya. Siapakah dalang sebenarnya peristiwa yang merenggut nyawa 7 figur Angkatan Darat (termasuk 6 Jenderal penting) di Jakarta saat itu: CIA, PKI, atau Soeharto?

CIA? Ah, tahu apa saya waktu itu soal geo-politik.

***

Dari garis Bapak, saya terlahir dari keluarga besar PNS, Polisi dan TNI. Pak Harto, kampanye Golkar, dan seragam Korpri adalah ornamen-ornamen kuat di ingatan masa kecil saya. Lahir dan besar sampai SMP di Magelang, narasi tunggal yang disediakan sekolah adalah konstruksi PKI sebagai pelaku tunggal percobaan kudeta. Dan Pak Harto adalah pemegang mandat penyelamat bangsa.

Terpilihnya saya sebagai kontingen Jambore Nasional 1996 dari Kota Magelang adalah salah satu kebanggaan saat belia. Saya adalah anak Pramuka yang dikirim ke Cibubur, yang berkesempatan untuk melambai-lambaikan tangan ke Bapak Presiden saat membuka Jamnas. Cerita yang selalu saya banggakan, dapat melihat Pak Harto secara langsung dari jauh.

Dan tempelan Pak Yanto di belakang kelas tentang kemungkinan keterlibatan CIA dan Pak Harto, membuat saya berfikir ulang soal Jenderal Besar ini. Lebih penting lagi, soalan sejarah bangsa.

Saya mendapatkan narasi baru dari Pak Yanto. Bukan lagi kebenaran tunggal.

Menurut saya, persoalan terkait kudeta 1965 bukan berhenti pada ditemukan tujuh jenazah di Lubang Buaya, tapi sekitar 500 ribu hingga 3 juta korban meninggal dunia (versi Komnas HAM yang dikutip m.tempo.co, 18 April 2016). Bangsa ini menyimpan luka yang masih menganga, atau paling tidak, pertanyaan besar yang belum terjawab.
Masih menyimpan cita-cita sebagai guru, saya percaya pendidikan formal adalah media terbaik mencerdaskan bangsa di Indonesia yang budaya madaninya yang belum teruji. Saya mengharapkan pendidikan formal menjadi jembatan kokoh rekonsiliasi.

Alangkah eloknya jika masih ada Pak Yanto-Pak Yanto lainnya, guru muda yang secara kreatif memberikan induksi kritis bagi para anak didiknya. Memberikan pemahaman yang lebih luas atas narasi tragedi 52 tahun yang lalu. Mendorong keingintahuan siswa lebih jauh untuk mengenal sejarah bangsanya.

***

Keingintahuan saya tentang bagaimana teks sejarah resmi saat ini membentuk ingatan generasi muda atas peristiwa 1965, membawa saya membuat riset kecil-kecilan. Hasilnya bercampur antara lega dan resah atas pertanyaan berikutnya.

Buku wajib Sejarah kelas XII kurikulum 2013 yang mudah diunduh gratis, memberikan 6 teori alternatif pelaku kudeta 1965: (1) konflik internal TNI AD, (2) CIA, (3) konspirasi AS dan Inggris, (4) Soekarno, (5) tidak ada pemeran tunggal, tidak ada skenario besar, dan (6) PKI.

Pun, obrolan saya dengan Nur, teman saya kelahiran 1992 yang merupakan hasil pembelajaran Kurikulum 2004, cukup menggembirakan. Mengenyam pendidikan SMA di Jogja, dia masih mengingat mendapatkan tugas dari gurunya untuk mind-mapping peristiwa 1965 dengan semua alternatifnya. Di bagian akhir obrolan kami, dia mengucap: “Masih bingung sih mas, siapa pelaku peristiwa tersebut?”

Di titik ini saya sudah sedikit mengelus lega, bahwa teks resmi sejarah memberikan ruang diskusi sambil kita mencari kebenaran selanjutnya.

Tapi pada saat bersamaan, hasil jalan-jalan saya ke toko buku membuat resah.

Buku Sejarah kelas XII terbitan Erlangga hanya memuat satu paragraf pendek atas tragedi 1965:

“Puncak peristiwa yang kemudian akan mengubah konstelasi politik Indonesia selanjutnya adalah peristiwa terjadinya percobaan kudeta di Jakarta, Gerakan 30 September 1965, yang dituduhkan ke PKI sebagai dalang dari terjadinya peristiwa tersebut. Peristiwa ini kemudian mengakhiri kekuasaan Soekarno dan sekaligus menandai berakhirnya masa demokrasi terpimpin di Indonesia”.

Berhenti di sini, buku terbitan swasta ini malah tidak mengurai versi alternatif lainnya.

Saya mengakui riset lanjutan masih diperlukan untuk memvalidasi keresahan saya. Tapi teks resmi tentang tragedi pasca G30S rasanya memang masih terbatas. Buku PPKN baik terbitan Erlangga ataupun Kemdikbud untuk kelas XII pun tidak mencantumkannya pada Bab “Pelanggaran HAM di Indonesia”. 
Kebesaran hati untuk menuliskan Peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Wasior (2001)-Wamena (2003) dalam teks memang patut diapresiasi. Tanpa bermaksud mengecilkan skala tiga peristiwa sebelumnya, bukankah korban pasca G30S jauh lebih besar?

Saya merasa pekerjaan rumah kita masih ada.
Bukankah resep manjur move-on putus pacaran adalah saat kedua pihak sudah legowo dengan penjelasan masing-masing? Kejujuran paling tidak memberikan akses pemahaman yang benar atas permasalahan kepada kedua belah pihak.

Ah, senang rasanya saya bisa nyolong curhat untuk topik seserius ini.

***

Dari skala peristiwa sebesar G30S, rasa-rasanya tidak mungkin ayah-ibu/nenek-kakek kita tidak bersinggungan, atau paling tidak, mendapatkan dampak dari peristiwa tersebut. Kunjungan saya ke rumah om saya di Cempaka Putih beberapa bulan lalu memberikan pemahaman baru.

Saya (jongkok, kedua dari kiri), Bapak (jongkok, paling kiri) bersama saudara-saudara kami di tahun 1992. Foto diambil di rumah keluarga besar di Magelang, Jawa Tengah. Foto: Dokumentasi pribadi

Saya tahu bahwa almarhum Bapak saya sempat melewatkan periode mudanya di Cilacap, Jawa Tengah. Tapi saya tidak tahu lebih dari itu. Om menceritakan bahwa Bapak saya di Cilacap bekerja di sebuah pabrik pupuk Rusia. Bapak bekerja sebagai mandor operasi, mengatur truk-truk untuk distribusi penjualan pupuk.

Hubungan diplomatik Indonesia dan Rusia sangat mesra pada kisaran tahun 1960-an. Bukti-buktinya masih berdiri tegak hingga sekarang: RS Persahabatan, Tugu Tani, Monas, hingga Gelora Bung Karno. Perubahan situasi politik dan pemerintahan pasca peristiwa G30S pada 30 September 1965 membuat Rusia bergegas meninggalkan Indonesia.

Pabrik pupuk di Cilacap pun tutup. Soenarto muda, Bapak saya, tahun 1966, sekitaran 27 tahun, kembali lagi ke Magelang. Di Magelang lah Bapak bertemu Ibu. Kelahiran saya, keberadaan saya hingga sekarang, ternyata dapat dihubung-hubungkan dengan peristiwa ini.

Yakinkah anda berlepasan sejarah dengan G30S?
Ini cerita saya. Bagaimana ceritamu?

Source: Ingat 65 

0 komentar:

Posting Komentar