Kamis, 06 April 2017

Tentang sisa-sisa ketakutan

6 April 2017 | Kartika Wina*

Kakek saya berpose dengan istri (yang mengendong anak) dan anak-anaknya untuk sebuah foto keluarga. Sumber: dokumentasi pribadi.

Tidak banyak yang saya ketahui, apalagi saya pahami, mengenai apa yang terjadi pada bangsa ini di tahun 1965. Ingatan saya hanya berputar pada film Pengkhianatan G30S/PKI, buku-buku sejarah yang saya baca di sekolah dasar dan dari cerita-cerita Ibu yang waktu itu belum lagi beranjak remaja.
Seingat saya, setiap tanggal 30 September, semua siswa di sekolah dasar tempat saya bersekolah diwajibkan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Saya waktu itu tentu tidak terpikir untuk bertanya mengapa kami diminta menonton film itu. Pokoknya nonton saja. Besoknya ketika ditanya siapa yang sudah menonton, saya mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Tentu saja wali kelas saya tidak tahu kalau saya ketiduran di tengah-tengah film. Dia juga tidak merasa perlu untuk mencari tahu apa yang ada dalam benak saya dan murid lain saat menonton, apa yang kami rasakan atau apakah kami mengerti jalan ceritanya. Saya rasa wali kelas pun hanya sebatas menjalankan perintah saja. Namun bagi saya kecil, film tersebut sungguh meninggalkan jejak gelap yang terus terekam dalam ingatan hingga sekarang. Saya mengingat dengan jelas adegan seorang jenderal yang tengah berdoa dan diberondong peluru oleh orang-orang berseragam yang menjemput paksa di tengah malam buta di kediamannya. Saya mengingat dengan jelas darah segar yang mengalir membanjiri tubuh sang jenderal. Saya kecil sibuk menutupi wajah dengan bantal. Saya kecil belajar tentang penculikan, pembunuhan, darah dan kematian saat belum lagi genap berusia 7 tahun.
Keluarga saya adalah keluarga kecil yang hangat. Waktu makan adalah waktu dimana kami biasanya mendiskusikan dan menceritakan apa saja; dosen, gebetan, hingga masalah politik. Saya pernah menanyakan pada Ibu apakah beliau juga merasakan masa-masa mencekam saat banyak anggota PKI atau yang dituduh dekat dengan PKI ditangkap dan dibunuh. Karena masih kecil, Ibu tak banyak mengingat tahun-tahun tersebut. Seingatnya, rumah kakek pernah diketuk orang tak dikenal pada malam hari. Namun, kakek bergeming. Anak-anaknya yang ikut terbangun diminta untuk tidak bergerak dan bersuara sedikit pun. Selang beberapa saat, orang-orang tersebut pergi dan rumah kakek tidak pernah didatangi lagi.

Saya (paling kiri) berpose bersama keluarga ketika bertamasya ke Pantai Pintu Kota di Ambon. Sumber: dokumentasi pribadi.

Kakek adalah Kepala Dinas Peternakan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Dia tinggal di rumah dinas bersama istri dan 11 orang anaknya. Di dusun, kakek dikenal sebagai sosok baya yang ramah dan senang membantu menyiapkan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di dusun. Namun, di masa-masa kalut politik, kakek menarik diri dan memilih untuk membatasi kegiatannya di dusun. Dia lebih banyak mengurus kebun dan tambak ikan mas dan nila di belakang rumah, sembari sesekali mengirimkan rambutan dan pepaya ke tetangga-tetangga terdekat. Pilihannya ini bukan tanpa alasan. Beberapa orang yang ia kenal dari dusun tetangga sudah ditangkap karena dituduh terlibat dalam PKI. Kakek tidak ingin aktifitasnya di dusun disalahartikan atau digunakan untuk memfitnahnya. Yang terpenting bagi kakek saat itu adalah menjaga keluarganya; istri dan 11 anaknya sekuat tenaga dari hal-hal buruk yang mungkin menimpa mereka.

Semakin besar saya semakin memahami dan menghormati pilihan kakek. Saya sungguh bisa merasakan ketakutan dan kecemasan beliau atas kemungkinan tuduhan atau fitnah yang salah alamat dan dapat menyebabkan dia diculik dan dihabisi dengan cara yang sangat keji seperti yang banyak saya baca mengenai kejadian di tahun 1965. Kakek terlalu sayang istri dan keluarganya.

Di masa pemerintahan Soeharto, saya tahu isu komunis masih dibahas bisik-bisik, keluarga dari anggota PKI atau dituduh terlibat PKI masih terus mendapatkan perlakuan diskriminatif, masih banyak buku diberangus. Masih terlalu sensitif. Baru setelah kuliah saya berkesempatan bersinggungan langsung dengan isu ini.
Sebagai anggota Kine Klub, klub film di jurusan komunikasi UGM, kami kerap melakukan pemutaran film untuk mahasiswa. Salah satu film yang diputar adalah Mass Grave (Kuburan Massal), sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Lexy Rambadeta. Film ini mendokumentasikan penggalian kuburan massal tempat korban operasi militer 1965 dikubur di Wonosobo, Jawa Tengah. Pemutaran film nyaris batal karena tiba-tiba sekelompok orang berdemo meminta panitia membatalkan pemutaran film. Film tetap kami putar, namun dengan hati penuh cemas karena khawatir pendemo memaksa masuk dan berlaku anarkis. Namun saya tidak habis pikir, apa yang membuat para pendemo itu begitu takutnya (atau benci?) sehingga mereka berupaya menggagalkan pemutaran sepotong film dokumenter?
Pemutaran film Mass Grave menyampaikan sebuah kejujuran yang brutal bagi saya. Bahwa ada kebencian yang begitu pekat dan dalam terhadap komunisme. Kebencian yang ditumbuhkan secara membabi buta melalui buku-buku sejarah, film, dan produk-produk budaya lain. Kebencian yang mengakar kuat hingga menepikan rasionalitas. Saya ingat sepenggal cerita Mass Grave yang mengaduk-aduk emosi saya saat menonton yaitu ketika salah satu jasad yang ditemukan dikuburan massal dibawa pulang ke desa kelahirannya untuk dikuburkan secara pantas. Masyarakat menolak dengan keras untuk menguburkan jasad tersebut di desa mereka dan meminta keluarga segera membawa pergi dari desa. Jasad-jasad itu dulunya adalah orang-orang yang diculik dari rumah-rumah mereka, diambil paksa dari keluarganya dan dihabisi dengan cara keji. Bahkan saat tinggal tulang belulang pun mereka masih mendapat perlakuan tidak layak.
Lalu bagaimana dengan mereka yang dulunya terlibat dalam aksi penculikan dan pembantaian jutaan orang itu? Saya sempat menonton film Jagal, sebuah dokumenter tentang salah satu ‘algojo’ dalam operasi militer di Sumatera Utara. Sang algojo menceritakan dengan santai, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, bahkan terkesan bangga dan sangat menikmati ritual yang dilakukannya sebelum menghabisi nyawa tawanan. “Sedikit beer, sedikit marijuana, dan dansa cha cha,” ujar algojo tersebut mengingat peristiwa pembunuhan yang dilakukannya. Saya tak sanggup menyelesaikan film itu.
Yang saya yakini, membunuh tidak pernah benar dimata kemanusiaan, apalagi membantai ratusan ribu nyawa yang tak bersalah dengan cara-cara yang sungguh diluar akal sehat saya. Sementara banyak keluarga yang masih menuntut keadilan atas tragedi 1965, para ‘algojo’ ini masih hidup tenang di tengah-tengah masyarakat dengan kebanggaan diri sebagai seorang ‘pahlawan’. Ah, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bangsa ini rupanya…
Editor:  Prodita K. Sabarini
*Kartika Winta, seorang ibu magang, tinggal di Melbourne

https://medium.com/ingat-65/tentang-sisa-sisa-ketakutan-11b0a28fac8e

0 komentar:

Posting Komentar