Jumat, 26 Mei 2017

Belajar Dari Kurdi [2]

Dilar Dirik


KarakteristiK perempuan-perempuan Kurdi


Anda pernah menulis tentang karakteristik perempuan Kurdi, bisakah anda berbicara lebih banyak tentang hal ini? Apakah partisipasi mereka dalam perjuangan bersenjata merupakan fenomena baru atau apakah sejarahnya jauh lebih panjang? Adakah analisis feminis yang bisa membantu kita untuk memadatkan pengalaman hidup gerakan perempuan Kurdi? Bagaimana itu membedakan dirinya dari feminisme liberal barat?

Unsur paling penting dari perjuangan kebebasan Kurdi, di Rojava dan sekitarnya, adalah penekanannya pada pembebasan perempuan, bukan sebagai efek samping positif dari revolusi, namun juga sebagai jantung dan jiwanya, kondisinya, metodenya yang sesungguhnya. Banyak perjuangan revolusioner selama berabad-abad telah menghapus sepenuhnya peran perempuan dalam keadilan sosial, atau mereka menggambarkan situasi perempuan yang meningkat sebagai semacam hasil dari perubahan umum kearah kebebasan.

Namun, karena gerakan perempuan Kurdikah, kami percaya bahwa hancurnya keadilan sosial, kehidupan komunal, dan masyarakat berbasis kebebasan utuk pertama kalinya secara sistematis, adalah karena munculnya patriarki dan tersingkirkannya perempuan. Ini pada dasarnya adalah sejarah Mesopotamia, sebuah wilayah yang pernah dikuasai oleh dewi, yang sekarang justru menjadi rumah bagi perbudakan seks modern. Semakin banyak orang yang menganalisis mentalitas kapitalisme, di luar sekedar reduksionisme ekonomi, semakin banyak topeng sistem negara yang akan rontok. Semakin banyak negara dianalisis, tidak hanya sebagai institusi, tapi sebagai mentalitas, semakin seseorang menyadari peran patriarki dalam melembagakannya. Ketika anda melihat keluarga inti, anda dapat melihat bahwa itu adalah model yang mengikuti negara dan sebaliknya. Dan dengan demikian, ada hubungan mendasar antara keluarga patriarkal yang menindas dan masyarakat, negara, dan kapitalisme serta dampak buruknya terhadap lingkungan, masyarakat, dan perempuan.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, banyak dinamika sosial di Rojava yang berubah saat kedatangan PKK di Suriah. Tapi bagian yang mengalami transformasi paling radikal adalah perempuan. Kedatangan PKK menandai dimulainya aktivisme politik perempuan di Rojava. Mereka melakukan pekerjaan ilegal di bawah tanah untuk organisasi tersebut, dan ribuan perempuan dari Rojava bergabung dengan PKK pada saat itu, dimana perempuan banyak menduduki posisi kepemimpinan di PKK selama beberapa dekade.


Ada kecenderungan dari kalangan jurnalistik, akademisi, dan bahkan dari kalangan aktivis kiri yang baru-baru ini terlibat dengan Rojava untuk memperlakukan YPJ sebagai fenomena yang tidak ada hubungannya dengan ideologi PKK, yang tidak dapat melihat kebenaran lebih jauh. Fakta bahwa perempuan telah membebaskan begitu banyak daerah dari tangan pemerkosa ISIS adalah akibat langsung dari warisan PKK.

Di dalam PKK, perjuangan besar untuk membebaskan perempuan harus dipimpin. Di dalam gerilyawan perempuan ada juga kesadaran perjuangan kelas. Tapi segera, terutama dengan dukungan Öcalan, para perempuan menyadari bahwa untuk membebaskan emansipasi mereka dari sudut pandang laki-laki, mereka perlu mengatur secara mandiri dan terpisah untuk memperkuat solidaritas internal mereka terlebih dahulu. Dengan demikian, tentara perempuanlah yang pertama kali dibentuk, setelah partai, lalu segera seluruh struktur politik dan sosial. Semua ini disertai perjuangan besar perempuan di penjara, di jalanan, dan di pegunungan. Hari ini, kita melihat cita-cita gerilya ini menyebar dari pegunungan ke masyarakat di kota-kota dan desa-desa di Kurdistan.

Perempuan bukan hanya sebagai peserta dalam revolusi Rojava, sebenarnya mereka adalah pelopor dan penjamin kebebasan. Merekalah menetapkan kerangka kebijakan, mereka memveto keputusan yang dianggap buruk, mereka membentuk struktur otonom mereka dan menciptakan mekanisme pertahanan diri dan mekanisme pengambilan keputusan mereka sendiri. Mereka telah menciptakan lingkungan politik di Rojava yang menetapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan, kebencian terhadap perempuan, dan sikap patriarkal tidak akan lagi ditolerir sebagai norma. Hal ini semakin berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Tidak ada revolusi yang bisa berhasil tanpa perubahan mendasar dalam mentalitas dari hirarki dan dominasi, dan harus juga mendukung kebebasan. Konstitusi dalam peradaban hierarkis tertua, yang paling berakar, terkuat, dan termasyhur saat ini adalah dominasi laki-laki. Menundukkan warisan ini tidak hanya membutuhkan usaha mental yang besar dan institusi politik dan sosial yang diperlukan, tapi juga pertahanan diri.

Tidak seperti feminisme liberal barat, gerakan perempuan Kurdi tidak hanya mencari representasi, pengakuan dan hak. Perjuangan yang kita terlibat didalamnya bukanlah salah satu dari tipe merka yang merasa puas dengan reformasi birokrasi, perubahan terhadap undang-undang(yang bersifat kosmetik), dan ilusi tentang kesempatan yang sama. Model ini telah dipaksakan oleh negara sesuai dengan sistem internasional dan lembaga-lembaganya dan tidak terjadi apa-apa selain hanya memoderasi perjuangan dan perlawanan digaris depan. Jika seluruh bangunan, pilar, kerangka kerja, rujukan, pekerjaan, dan mekanisme tatanan global bergantung pada perbudakan wanita, masalah ini melampaui solusi remeh temeh apapun yang bisa ditawarkan oleh liberalisme. Feminisme liberal, yang oleh beberapa orang disebut sebagai "feminisme perusahaan", adalah usaha licik untuk membelenggu kemarahan perempuan, yang menghadapi pemerkosaan, kekerasan, penghinaan dan pelecehan terorganisir secara internasional. Ini bersifat rasis dan klasik, dan selanjutnya memperkuat sistem kekerasan struktural yang berbeda. Tujuan kita bukan sekedar kesetaraan jender, tapi penghancuran patriarki.


Pada saat yang sama, feminisme radikal juga sering gagal terhubung dengan masalah masyarakat dan tetap marjinal. Terlepas dari niat dan militansi mereka yang sering jujur dan tulus, mereka justru mengasingkan masyarakat dengan bertindak melalui metode yang bekerja pada frekuensi yang berbeda dengan kenyataan sosial, atau dengan mencari opsi kebebasan individual belaka.


Banyak gerakan feminis yang berakar pada budaya seringkali harus mengkompromikan perjuangan perempuan untuk alasan yang disebut "perjuangan yang lebih luas", seperti perjuangan pembebasan nasional atau anti-kolonialisme. Saat berakar dalam masyarakat, gerakan-gerakan ini sering dilucuti dari elemen radikal mereka demi apa yang dianggap sebagai pembebasan "umum", di bawah panji-panji "masyarakat kita belum siap".



Gerakan perempuan Kurdi mengambil semua pengalaman ini sebagai pelajaran dan menganggap semua perjuangan perempuan sebagai warisannya. Ini radikal, itu militan. Itu juga penuh cinta dan kasih sayang. Hal ini sangat realistis dan melekat pada masyarakat, yang darinya ia memperoleh legitimasinya. Tapi itu juga mengandung utopia di sini dan sekarang, ketimbanang memproyeksikan cita-cita ke masa depan yang mungkin tidak akan pernah ada. Gerakan pembebasan telah mengubah tempat perempuan menjadi rumah bagi semua bidang kehidupan. Kami tidak percaya menggulingkan sistem seperti membalikkannya dalam satu malam. Yang terpenting, masyarakat harus melalui revolusi mental yang mendasar yang menentukan revolusi sosial. Bagaimana mungkin seorang buruh, yang dikondisikan oleh pabrik, diharapkan bisa memecahkan dinding mental tempat kerjanya yang mengerikan, yang selama ini memaksanya? Bagaimana mungkin seorang [erempuandiharapkan untuk menjadi pelopor masyarakat, jika nilainya diukur dengan seksualitas dan kemampuan reproduksi, dan konsep kehormatan sesat sepanjang hidupnya? Pendidikan, melek politik, aksi langsung adalah upaya untuk membangun budaya dan iklim sosial yang demokratis yang akan mengaktifkan kembali sel induk masyarakat dan inti komunalnya, etis, mencintai kebebasan, dan kreatif.



Inilah sebabnya mengapa gerakan kita begitu berwarna dan menarik jutaan perempuan di Kurdistan dan sekitarnya. Dari seluruh dunia, perempuan-perempuan pergi ke Kurdistan untuk mencari perspektif dan belajar. Gerakan kita, meski memiliki prinsip yang kuat, memiliki tempat untuk semua orang dan memberdayakan spektrum masyarakat yang luas tanpa kehilangan inti radikalnya. Kami tidak percaya pada teori feminis elitis yang abstrak jika tidak bisa menyentuh kehidupan seorang perempuan pedesaan. Kami juga tidak percaya pada pendekatan yang begitu apolitis dan hati-hati sehingga mereka tidak mencapai apapun. Kita tidak ingin terjebak dalam perangkap konsep pembebasan dari kacamata laki-laki yang menguatkan, melainkan dengan konsep kita sendiri. 

Untuk itu, kami memberi setiap orang alat untuk memperkuat suara dan pemikiran mereka sendiri. Hal ini terjadi paling baik oleh perempuan yang membentuk struktur otonom mereka yang terpisah dalam bentuk komune, dewan, koperasi, akademi, pusat, dan jika perlu unit pertahanan. Kita mengandalkan kekuatan kita sendiri daripada mempercayai kebaikan hati laki-laki atau pemerintah dalam masyarakat yang dikuasai sistem kapitalis-patriarki.

Sebagai perempuan muda Kurdi, kami sangat beruntung bisa mewarisi hal ini. Pengetahuan bahwa perempuan di Kurdistan telah memimpin pemberontakan desa, pemogokan dan pemberontakan di penjara, mendirikan tentara gerilya, dan mempertaruhkan nyawa mereka karena alasan politik, yang tentu saja memperkaya identitas kita dan menghancurkan tabu-tabu dan belenggu sosial.

Pada saat yang sama, ini menetapkan standar perjuangan yang sangat tinggi. Menolak keterbelakangan, menolak pengertian patriarki tentang "kehormatan", gerakan perempuan kita mendefinisikan kembali kebebasan sebagai kehormatan. Terutama dikelilingi dan dipelihara oleh perempuan-perempuan independen, berkemauan keras dan yang mencintai kebebasan, yang meninggalkan kehidupan pribadi mereka untuk memperjuangkan revolusi dan kebebasan, telah membentuk persepsi diri kita dan tidak membatasi kita pada pandangan satu dimensi tentang keperempuanan.

http://kirisosial.blogspot.co.id/2017/05/belajar-dari-kurdi-bagian-kedua.html

0 komentar:

Posting Komentar