Minggu, 14 Mei 2017

Mencari Hantu Aidit dan Kartosoewirjo di Pulau Tahanan

Anggi Kusumadewi
Minggu 14 Mei 2017 - 07:50



Kami tiba di pulau itu jelang siang. Udara sejuk —selain karena cuaca sedikit berawan, pepohonan memenuhi seisi pulau— mengusir hawa panas yang biasa dijumpai di pesisir.

Lokasi pertama yang kami tuju ialah museum. Tak aneh, sebab ini sesungguhnya wisata sejarah, bukan tamasya untuk melihat-lihat keindahan pulau —yang menurut saya memang tak bisa dibilang indah.


Alih-alih indah, pulau itu cenderung angker —dengan reruntuhan bangunan bertebaran di sana-sini, kompleks kecil pekuburan Belanda dan pribumi di sudut tertentu, serta penjara berisi patung-patung sipir Belanda dan para tahanan bumiputra yang begitu miripnya dengan manusia betulan.


Tak sedikit pengunjung yang tersentak dan berteriak ketika masuk ke ruangan-ruangan di area penjara. Mereka mengira patung-patung di dalamnya orang sungguhan.

Dan begitu pula kesan pertama saya: ini manusia-manusia yang diawetkan menjadi patung, atau terkena sihir seperti nasib orang-orang yang menatap mata Medusa —si perempuan berambut ular dalam mitologi Yunani— dan sekejap berubah menjadi batu.

Saking penasaran, saya mencoba menatap mata patung-patung itu. Dan saya terkejut melihat sorot yang keluar dari bola mata mereka —yang seharusnya mati itu. Sorot itu dingin, dalam, sekaligus tampak begitu hidup.

Saya jadi tak berani beradu tatap terlalu lama dengan patung-patung itu —sambil teringat konon makhluk halus senang berdiam di dalam patung atau gambar/lukisan makhluk hidup.
Dasar saya saja yang penakut.


Tak seperti kebanyakan pengunjung yang berfoto bersama patung-patung “hidup” itu, saya memilih untuk memotret mereka saja —tanpa memajang diri atau berpose di samping mereka untuk difoto.

Selain itu, saya agak khawatir akan mengganggu mereka —ya, benda-benda mati itu— jika terlalu “kurang ajar” memperlakukan mereka seperti kawan (atau benda milik) sendiri yang disentuh-sentuh, diajak bersalaman, dan dirangkul untuk berfoto bersama.

Anggap saja saya gila, tapi saya memang model orang yang kadang terlalu berhati-hati jika bepergian.

Baik, cukup tentang patung. Sekarang beralih ke keterangan tertulis di dalam museum yang membuat saya agak kaget.
“Lokasi yang dikelilingi laut dan cukup jauh dari daratan membuat Pulau Onrust cocok menjadi penjara. Di zaman Belanda, pulau ini pernah menjadi tempat hukuman bagi para pejuang pemberontak. Saat Perang Dunia II, menjadi tempat tawanan orang-orang Jerman. Di zaman pendudukan Jepang, menjadi penjara bagi tahanan kelas berat dan tahanan politik —di antaranya Aidit dan Lukman— yang kelak menjadi tokoh PKI.”
Onrust. Itulah nama pulau yang saya kunjungi, secara harfiah berarti unrest atau pulau yang “tak pernah beristirahat”. Karena begitulah kondisi pulau itu pada masa penjajahan: jadi pelabuhan, galangan kapal, pusat bongkar muat logistik perang, benteng pertahanan, berganti jadi tempat karantina haji, berganti lagi jadi lokasi tawanan pemberontak dan tahanan kriminal kelas kakap.


Meski keterangan pada salah satu dinding museum menyebut pulau ini “cukup jauh dari daratan”, tapi sesungguhnya menurut saya tak demikian. Menyeberang dari utara Jakarta ke Onrust tak sampai satu jam berperahu. Itu saja bukan kapal cepat atau speedboat.

Onrust masuk gugusan Kepulauan Seribu yang masih berada di perairan Teluk Jakarta. Sama sekali tak jauh —walau bukan berarti saya mau menyeberang dengan berenang ke sana.

Namun yang membuat saya sedikit kaget adalah penyebutan nama “Aidit”. Saya cuma tak mengira lagi-lagi akan bertemu dengan sesuatu hal yang berbau dirinya setelah dulu cukup intens membahas dan menulis tentang PKI dan Gerwani bersama rekan-rekan saya.

Keterangan tentang Aidit di Onrust cuma secuil itu. Mungkin karena ia ditahan di sana hanya 7 bulan. Itu pun saat dia belum seterkenal Dipa Nusantara Aidit yang sudah menjadi Pemimpin Senior Partai Komunis Indonesia —sampai-sampai Sukarno tua pun mengaguminya.

Sepintas kisah tentang persinggungan Aidit dan Onrust tercantum dalam buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara yang disusun Tim Buku TEMPO.

Sebelum Aidit menginjak Onrust, dia adalah aktivis pemuda antifasis dari Asrama Menteng 31 (kini Gedung Joang 45) yang menjadi markas pergerakan pemuda menjelang kemerdekaan Indonesia. Kelompok itu termasuk di antara kaum muda yang mendesak Sukarno untuk memproklamasikan Indonesia merdeka.

Aidit yang kala itu masih berusia 22 tahun, dikenal oleh Sukarno-Hatta. Sukarno dan ideolog-ideolog top negeri, termasuk Hatta, adalah guru Aidit dan kawan-kawannya di Menteng 31. Aidit yang pemberani dan cerdas disebut amat disukai Hatta. Namun Hatta berbalik marah ketika Aidit mulai terlibat dengan kelompok kiri.

Pascakemerdekaan Indonesia, aktivis Menteng 31 membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) —yang segera ditakuti Jepang, dan Aidit diangkat menjadi Ketua API Jakarta Raya.

Pada masa-masa ini, kemampuan Aidit menggerakkan massa sudah mulai terlihat. Ia dan rekan-rekannya ditangkap Jepang dan dipenjara di Jatinegara, namun berhasil kabur dan kembali melakukan gerilya kota untuk menyerang tentara-tentara Belanda dan Sekutu.

Kesal dengan ulah Aidit dan kawan-kawan, tentara Sekutu meledakkan markas API. Akhirnya, 30 aktivis API kembali ditangkap. Kali ini mereka diringkus Sekutu, yang kemudian menyerahkan mereka ke Belanda, yang lalu membuang mereka ke Pulau Onrust.


Selepas dari Onrust 7 bulan kemudian, Aidit terlibat aktif di PKI. Ia bintang cemerlang. Kariernya menanjak gemilang. Meski umurnya baru seperempat abad, 25 tahun, Aidit diberi tugas strategis mengurusi perburuhan partai.
Namun, seperti disebut Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965, sejarah komunisme di Indonesia seolah ditakdirkan untuk konsisten dengan tragedi
“PKI yang mengemuka dari sekadar partai pinggiran yang tidak mencolok menjadi partai terdepan yang menonjol, melesat dengan kecepatan menakjubkan payaknya ‘api sabana’ membakar habis musim panas, namun selalu saja kandas oleh skandal kekerasan.”
Gerakan 30 September 1965 menamatkan PKI. Aidit tewas ditembak di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965, setelah ditangkap tentara Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).


Teringat sejarah Aidit yang demikian berwarna, terbang terjun bak roller coaster sebelum akhirnya diempas dibenamkan ke bumi, saya menghela napas, mendadak didera sedih, dan berjalan perlahan keluar museum mencari udara segar.

Saya melongok ke jendela tanpa kaca di dinding luar museum, melihat pepohonan dan sekitar dari lubang di tembok itu, mencari-cari hantu Aidit yang mungkin bergentayangan —mengembara dari Boyolali tempatnya ditembak, ke Onrust di mana ia pernah ditahan.

Tentu saja saya tak menemukan hantu Aidit (atau mungkin ia tak ingin bertemu saya, atau mungkin dia sudah terlalu sibuk, atau justru terlalu senang-tenang di alam keabadian). Ah, entahlah. Hidup-mati dan garis nasib manusia, siapa bisa tahu?

Jika saya bertemu hantu Aidit, ingin saya berbincang santai dengannya —meski saya tak yakin bisa jadi lawan bicara sepadan baginya.

Ingin saya ceritakan kondisi terkini Indonesia padanya, dan betapa PKI (dan komunisme) selamanya jadi hantu gentayangan di negeri ini, dengan banyak orang takut padanya tanpa alasan jelas, termasuk si jenderal purnawirawan mantan Kepala Staf Kostrad yang disebut-sebut Allan Nairn dalam tulisannya itu.

Saya bayangkan, Aidit mungkin bangga —sekaligus sedih. Betapa tidak, PKI yang mati bersamanya masih menggema melintasi masa sampai sekarang, bahkan ditakuti, dicemaskan kembali bangkit, dan disebut masih merekrut anggota serta menggelar rapat.

Hantu Aidit mungkin terpingkal-pingkal mendengar cerita itu, lalu saking herannya mati lagi untuk kedua kali.

Tapi saya menduga, Aidit akan meneteskan air mata jika mendengar cerita bagaimana label “komunis” dan “PKI” membuat hidup banyak orang, banyak keluarga, menderita berpuluh tahun sesudahnya meski malam jahanam G30S telah lama berlalu.

Betapa bangsa yang bahkan belum berumur seabad ini kerap dilanda tragedi berdarah. Betapa brutal pertarungan kekuasaan di zamrud khatulistiwa ini.


Dengan langkah agak berat, saya mengayunkan kaki kembali mengelilingi pulau bersama kawan-kawan seperjalanan. Kami menyambangi kompleks makam Belanda dan pribumi.

Makam-makam Belanda jauh lebih megah, rapi, tertata daripada pekuburan kaum pribumi. Demikianlah rakyat Indonesia menjadi warga kelas dua di tanah mereka sendiri pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Namun di antara kuburan pribumi yang seadanya —hanya ditandai deretan bata dan ranting, tampak tiga kuburan yang dibedakan. Dinding beratapkan seng dibangun di sekeliling tiga makam itu, menaungi makam-makam itu dari hujan dan terik.

Di dalamnya, dua dari tiga makam itu terlihat dikitari lagi oleh keramik biru, dengan Bendera Merah Putih terpancang di depannya. Bau kemenyan menguar dari sana.


Pintu kompleks makam itu terkunci, dan saya hanya bisa menjulurkan tangan yang memegang ponsel untuk memotret bagian dalam makam.
“Itu makam keramat,” demikian jawaban singkat yang saya dapat.
Tentu saja keterangan itu tak memuaskan, dan saya mencari tahu lebih lanjut.
Ternyata, salah satu dari tiga makam itu diyakini sebagai kuburan Kartosoewirjo —tokoh Islam Indonesia pemimpin pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah Indonesia periode 1949-1962. Ia mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dengan syariat Islam sebagai dasar.

Seperti Aidit, Kartosoewirdjo —yang bernama lengkap Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo— mati ditembak. Ia dieksekusi di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, 5 September 1962.

Dan seperti Aidit yang berkawan dengan Sukarno, demikian pula Kartosoewirjo. Namun ironisnya, tak seperti Aidit yang dihabisi rezim Orde Baru yang kala itu sedang tumbuh cepat, Kartosoewirjo ditumpas oleh pemerintah Sukarno.

Dalam buku Roro Daras, Bung Karno vs Kartosuwiryo: Serpihan Sejarah yang Tercecer, diceritakan bahwa semasa muda, Kartosoewirjo berkawan cukup dekat dengan Sukarno.

Mereka sama-sama tinggal di rumah pemimpin Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto di Surabaya, dan berguru padanya.

Ketika itu Sukarno kerap belajar berpidato di depan kaca, dan Kartosoewirjo rajin memberi kritik bahkan ejekan atas pidatonya.

Di rumah itu, tinggal pula Muso dan Alimin yang di kemudian hari dikenal sebagai tokoh PKI.

Mereka yang tinggal di rumah Tjokroaminoto memang tumbuh menjadi sosok-sosok terkemuka setelah Indonesia merdeka.

Seiring waktu, Sukarno tumbuh nasionalis, sedangkan Kartosoewirjo memilih Islam sebagai ideologi perjuangan.

Siapa sangka, jalur berbeda itu nantinya membuat Sukarno harus menandatangani surat eksekusi mati Kartosoewirjo.

Sukarno berpendapat, Negara Islam yang dibangun Kartosoewirjo justru bakal membawa Indonesia menuju kehancuran. Ia yakin, jika Indonesia menjadi Negara Islam, maka wilayah-wilayah yang dihuni kaum minoritas atau nonmuslim akan memisahkan diri.

Pasca-Indonesia merdeka, tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan memang menghadapi masalah baru. Jika sebelumnya problem besar ada pada penjajah yang harus dienyahkan, kini persoalan bergeser pada perdebatan mengenai bentuk negara yang akan diwujudkan.

Kekuatan-kekuatan politik terbentuk, dan tarik-menarik antarkubu politik terjadi. Nasionalis, Islam, dan Komunis beradu —yang kemudian seluruhnya dipaksa jadi satu, dihimpun Sukarno ke dalam konsep politik Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).

Proses politik itu sudah pasti tak mulus, dan Kartosoewirjo jadi salah satu yang tumbang.


Andai hantu Kartosoewirjo kebetulan bosan dengan ketenangan alam kekal dan berjalan-jalan di atas kuburnya, saya mungkin mengajaknya mengobrol dan melontarkan beberapa pertanyaan kepadanya —jika tak keburu kabur karena takut.

Saya akan bercerita kepadanya tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia —organisasi yang memperjuangkan kekhilafahan berdasarkan syariat Islam.
Mungkin ia akan sedih, karena dari dulu sampai sekarang ternyata syariat Islam sulit ditegakkan di bumi Indonesia. Tapi paling tidak, hukum Islam diterapkan di Aceh —yang dahulu pernah menyatakan bergabung dengan NII bentukannya.


Saya membayangkan, andai hantu Aidit dan Kartosoewirjo bertemu di pulau tahanan itu, apa sekiranya yang akan mereka bicarakan? Keduanya memilih ideologi berbeda sebagai alat perjuangan —Komunisme dan Islam; kiri dan kanan— dan sama-sama gagal.

Tak ada yang boleh melawan Pancasila bentukan Sukarno —presiden dengan akhir hidup tragis di tangan Orde Baru.

Memikirkan semua itu di Pulau Onrust yang muram, sungguh membuat hati sesak. Betapa banyak darah tumpah demi membentuk Indonesia, tanah tumpah darah kita.

Dan seperti apa sesungguhnya Indonesia yang ideal? Sementara rakyat kini justru makin mudah terbelah dan bertikai —jauh dari impian para pendiri bangsa.

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sudahkah itu semua terwujud —separuhnya saja?

Saya mendongak ke angkasa —yang tertutup rimbun pepohonan.
Ah, saya jadi sedih.


Sumber: Kumparan 

0 komentar:

Posting Komentar