July 21,
2013
Cerpen Gunawan Budi Susanto (Suara Merdeka, 21 Juli 2013)
IBU bungkam. Selalu bungkam setiap kali aku bertanya
tentang berbagai peristiwa dalam perjalanan hidupnya antara tahun 1960-an dan
pertengahan 1970-an. Ibu bisa bercerita secara runtut dan detail
peristiwa-peristiwa masa lalu, jauh sebelum menikah. Namun tak sekecap pun, tak
sehuruf pun, dia ucapkan atau dia tulis mengenai rentang waktu 1960-an sampai
pertengahan 1970-an. Masa itu kosong, bolong, melompong.
Padahal, justru itulah masa paling genting dalam kehidupan
kami sekeluarga. Itulah masa ketika kehidupan berputar sedemikian kencang, lalu
tiba-tiba berhenti dan kami semua terpelanting, lalu terpuruk dalam
ketidakberdayaan. Apalagi kemudian setiap orang menjauh, sejauh-jauhnya. Mereka
bersikap seolah-olah tak pernah mengenal kami, seolah-olah tak pernah berhubungan
dengan kami.
Suatu kali, Ibu berkisah tentang masa kecil di Blora. Dia
menuturkan dilahirkan di Juwana sebagai anak ketiga dengan dua kakak lelaki.
Usia mereka terpaut dua tahun. Lantaran opelet sang bapak dirampas Jepang,
mereka berketetapan kembali ke Blora untuk mengubah nasib. Dari Juwana, ibu,
bapak, dan ketiga anak itu berjalan kaki ke Blora. Sang ibu yang hamil tua
tersaruk-saruk sepanjang jalan, siang dan malam, menembus kelebatan hutan jati
antara Juwana dan Blora.
Tiba di Blora, beberapa hari kemudian adik perempuan Ibu
lahir. Namun sang adik tak bertahan lama. Bayi itu meninggal beberapa hari
kemudian. Ibunya, yang kehabisan darah saat melahirkan, menyusul si bungsu ke
alam baka. Beberapa bulan kemudian sang bapak, yang amat mencintai istrinya,
meninggal pula. Ibu pun yatim piatu pada usia amat belia.
Ibu menjalani masa kanak sebagaimana hampir semua anak masa
itu: sengsara di bawah penjajahan Jepang. Tahun-tahun berganti, Ibu bersekolah
di sekolah guru. Tahun 1954, Ibu lulus dan bekerja sebagai guru di sebuah
sekolah dasar di Padangan, di sebelah timur Cepu.
Padangan di Jawa Timur dan Cepu di Jawa Tengah dibelah
Bengawan Solo. Ada sebuah jembatan besar dan panjang menghubungkan dua kota
kecil itu. Setiap kali hujan deras, air bengawan meluap, menggenangi segala apa
di kiri-kanan sungai. Air kuning kecokelatan bergulung, menyapu segala yang
menghalang. Banjir! Dan, kelak, ketika malapetaka besar terjadi di negeri ini,
air sungai itu memerah darah. Darah yang tertumpah, darah yang….
***
Sambil mengajar, Ibu ulang-alik Padangan-Bojonegoro untuk
menuntut ilmu di sekolah guru atas. Namun, kemudian, dia sakit — mungkin
kelelahan — sehingga keluar dari sekolah. Setelah sembuh, dia menikah dengan
Bapak – kawan sekerja di sekolah yang diam-diam naksir Ibu sejak masa sekolah
guru. Lalu secara berurutan tahun 1957, 1959, 1961, 1963 lahirlah kedua mbakyu,
aku, dan adik lelakiku. Dan Ibu kembali mengandung.
Saat itu, aku berumur empat tahunan. Aku punya tempat
mengasyikkan untuk bermain: di bengawan. Berenang, berkecipak, bermain musik
dengan memukul-mukul permukaan air bersama kawan-kawan, lalu mencari ikan,
udang, atau hewan apa saja yang hidup di air sungai dan bisa dimakan.
Kegembiraanku bertambah setiap kali diajak Ibu mengikuti arak-arakan. Ibu dan kawan-kawannya,
para perempuan muda, itu berbaris sambil bernyanyi di sepanjang jalanan kota.
Dan, aku tanpa keluh, bahkan kegirangan, melonjak-lonjak, berlari-lari kecil di
belakang Ibu. Sesekali aku mendahului barisan sambil tertawa-tawa. Ketika
barisan berhenti, Ibu dan kawan-kawan membakar patung besar dari kertas. Kelak,
aku tahu: itulah patung Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman.
Kali lain, aku diajak Ibu ke pertemuan dengan
kawan-kawannya. Terkadang dalam pertemuan itu Ibu mengajar mereka membaca. Ibu
menunjuk-nunjuk tulisan di papan tulis. Para perempuan itu berseru keras-keras,
‘’A! E! I! O! U!’’ Begitu berulang-ulang. Lalu, mereka bernyanyi-nyanyi sambil
bertepuk tangan. Aku pun menyanyi sebisa-bisa dan bertepuk tangan sekeras aku
mampu. Namun ketika kulihat sekelebatan teman sebayaku, aku berlari keluar
ruangan. Bergabung, bermain dengan anak-anak sepantaran, laki dan perempuan.
Namun tiba-tiba kegembiraanku terputus. Suatu hari aku
menyadari kedua mbakyuku tak lagi tinggal bersama kami. Ibu bilang, mereka ke
rumah Nenek di Blora. Sebelumnya, pada malam hari tiba-tiba batu-batu
beterbangan ke rumah kami. Batu-batu itu mengenai genting sampai pecah atau
membentur dinding papan rumah. Suaranya bergelodakan. Lalu pada malam-malam
yang gelap Bapak dan Ibu menggendong aku dan adik lelakiku. Mereka
merunduk-runduk dalam kegelapan, menuju rumah di pojokan jalan di tepian
bengawan, mengetuk dinding rumah perlahan-lahan, lalu menyelinap masuk, dan
menidurkan kami di dipan sebuah kamar yang gelap pula. Aku terlalu mengantuk,
terlalu capek, untuk mengetahui apa yang terjadi. Biasanya pagi-pagi sekali
Bapak atau Ibu membangunkan kami, lalu diam-diam bersicepat melewati
jalan-jalan di antara kerapatan rumah tetangga. Kembali ke rumah.
Aku yang
masih mengantuk biasanya kembali meringkuk di dipan. Dan, bangun-bangun Bapak
dan Ibu sudah tak berada di rumah lagi. Mengajar.
Lalu, suatu pagi, aku tersadar: adik lelakiku, yang biasanya
tinggal di rumah ketika Bapak dan Ibu ke sekolah, tak ada. Mbok Nah diam saja
ketika aku bertanya ke mana adikku. Bosan merengek-rengek dan lelah mencari-
cari, aku memasuki dapur. Kulihat perempuan tua yang mengasuh aku dan adikku
itu duduk menekuri api di lubang dapur. Ketika aku mendekat, dia terkejut.
Kulihat matanya mencucurkan air.
‘’Mbok, Adik mana? Eh, Mbok Nah nangis ya?’’
‘’Tidak, Gus. Mata Mbok kemasukan bunga api. Pedih, Gus.’’
‘’Mbok, Adik ikut sekolah?’’
‘’Ya, Gus. Adik sekolah bersama Bapak dan Ibu. Besok kita
nyusul mereka ya, Gus.’’
‘’Ke sekolah, Mbok?’’
‘’Ya.’’
‘’Sekarang, Mbok, sekarang! Ayo, Mbok, susul sekarang.’’
Mbok Nah bersikukuh menolak. Baru keesokan hari aku
mengikuti Mbok Nah mengirim rantang makanan ke sebuah gedung besar berundak di
pusat kota. Kadang aku menangis sepulang dari gedung itu karena dibentak-bentak
tentara yang berbaju loreng. Mereka membawa bedil. Muka mereka galak dengan
mata selalu melotot. Beringas dan menakutkan.
Aku ingin tak ikut ke gedung itu. Namun setiap kali Mbok Nah
menyeretku, sehingga aku terpaksa ngintil. ‘’Siapa tahu kita bisa bertemu Ibu,
Bapak, atau adikmu, Gus.’’ Ucapan itu membuat aku bersemangat berlari-lari
mengikuti langkah Mbok Nah. Begitu setiap kali. Setiap hari. Berbulan-bulan.
Namun kami tak pernah bisa menemui mereka.
Suatu hari Ibu pulang bersama Adik. Tapi Bapak tidak. Sampai
sekarang, sampai aku lebih tua ketimbang Bapak saat itu. Kini, ketika sudah
beristri dan punya anak, aku masih terus berharap suatu hari Bapak pulang dan
kami bisa berpelukan.
Namun Ibu masih terus bungkam setiap kali aku bertanya
tentang peristiwa penahanan mereka sampai kemudian dipulangkan, tanpa Bapak.
Sebulan sekali aku dan anak-istriku mengunjungi Ibu. Saat seperti itu aku acap
menanyakan peristiwa-peristiwa pada masa lalu. Namun Ibu selalu bungkam ketika
pertanyaanku kembali ke masa kelam dalam kehidupan kami sekeluarga. Ibu
terus-menerus bungkam, meski aku mempergunakan banyak cara, banyak siasat.
Kini, setiap kali aku sekeluarga menengok, Ibu bungkam.
Nyaris tak sepatah kata pun dia ucapkan kepadaku. Tidak, Ibu tidak memusuhi
aku. Itu tampak dari rona wajahnya yang semringah, gembira, ketika kami datang.
Terlebih ketika anak-anakku, Kinan dan Titis, mencium tangannya, lalu bercerita
dengan keceriaan kanak-kanak tentang segala hal. Ibu pun tetap bicara
berlama-lama dengan anak-anakku. Ibu menjawab segala pertanyaan para cucu itu.
Juga bercerita atau mendongeng kepada mereka.
Namun tidak kepadaku. Kepadaku, Ibu cuma bertanya tentang
kesehatan dan pekerjaan, setelah itu bungkam. Sampai kami sekeluarga berpamitan
pulang. Kebungkaman Ibu membuatku mati kutu. Memang aku sudah memperoleh kisah
tentang penahanan Ibu dan Bapak versi mbakyu, juga versi beberapa sumber lain
ketika aku melacak, napak tilas, ke Cepu dan Padangan. Namun aku ingin
mendengar versi Ibu. Aku ingin memperoleh paparan berdasar perspektif Ibu. Itu
justru yang paling penting untuk melengkapi novel yang kutulis tentang sejarah
kelam yang mengubah hidup kami. Namun justru bagian itulah pula yang belum
dapat kuisi. Ya, bagian yang menggambarkan berbagai peristiwa pada tahun-tahun
ketika Ibu dan Bapak ditahan, kepulangan Ibu dan Adik tanpa Bapak, kabar
kematian Bapak yang dibunuh tentara, kubur Bapak yang tak pernah bisa
kutemukan, dan banyak perkara lain. Semua itu ingin kuketahui melalui mulut
Ibu. Namun Ibu bungkam dan terus menerus bungkam, sampai sekarang.
Aku kehilangan akal. Sementara itu, tenggat penulisan novel
makin mepet. Tenggat yang kubikin sendiri berdasar alasan ketepatan momentum
untuk menerbitkan dan memublikasikan. Bukan, aku bukan hendak mencari
popularitas. Sampean tahu itu. Aku juga tak hendak mencari Keuntungan
finansial. Kedua perkara itu jauh panggang dari api jika menjadi motif
penulisan novelku. Aku pun, sampean percaya atau tidak, tak punya pretensi
menulis karya spektakuler secara literer. Menjadi seniman, menjadi sastrawan,
atau lebih tepat menjadi novelis, bukan bagian dari hasrat hidupku. Aku
amat-sangat sadar diri: aku bukan penulis, apalagi penulis karya sastra, yang
baik. Bisa menulis status di jejaring sosial dan terbaca orang lain tanpa
menimbulkan kesalahpahaman pun aku sudah amat bersyukur.
Jadi aku menulis sejarah kelam keluarga kami semata-mata
agar kelak lebih mudah dan berterima ketika anak-anakku membaca. Lebih syukur
lagi bila cucu-cucuku, jika kelak anak-anakku melahirkan anak-anak mereka, pun
mau membaca. Aku tak mau mereka tak mengenali sejarah keluarga mereka, seburuk
dan sekelam apa pun. Cuma itu keinginanku. Dan, pada masa itu, ketika mereka
hidup, semoga zaman telah berubah lebih menyamankan. Tidak seperti masa aku
hidup, ketika stigma sebagai anak PKI bisa membunuh siapa pun, termasuk
bapakku.
Namun Ibu masih bungkam dan terus-menerus bungkam. Tak ayal,
lubang, bolong, kosong, blong, dalam novelku itu belum juga terisi. Dan,
novelku pun menjadi novel tak rampung-rampung. Entah sampai kapan. (62)
Kotalama, 13 Februari 2013
---
Catatan:
PKI: Partai Komunis Indonesia
– Gunawan Budi Susanto, penulis kumpulan cerpen Nyanyian
Penggali Kubur(Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2011).
0 komentar:
Posting Komentar