25 Jul 2013, 20:34 | Fynn Niklas Franke
Pembunuhan atlet Olimpiade Israel oleh sekelompok orang Palestina, yang menamakan diri "September Hitam", dibalas dengan operasi intelijen yang berdarah.
Agen rahasia Israel, Mossad, membunuh Ali Hassan Salameh pada 22 Januari 1979 di Beirut, sebagai pembalasan atas pembunuhan atlet Israel pada Olimpiade Munich, Jerman, September 1972. Foto: einestages.spiegel.de.
21 Juli 1973,
sekira pukul 10:30. Seusai menonton bioskop, seorang pria berkulit gelap,
menggandeng tangan istrinya yang sedang hamil, menyusuri Jalan Porobakakan di
Lillehammer, Norwegia. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di samping mereka. Dua
pria keluar dan dengan pistol Beretta menembak sang calon ayah. Dia meninggal
diiringi jeritan istrinya.
Para pembunuh itu bekerja untuk dinas rahasia Israel, Mossad. Mereka
yakin telah membunuh seorang Palestina Ali Hassan Salameh yang dijuluki
“Pangeran Merah.” Menurut hasil penyelidikan Mossad, Ali Hassan Salameh adalah
satu dari delapan orang Palestina yang menamakan diri “September Hitam” dan
menyandera atlet Israel dalam Olimpiade Munich, Jerman, tahun 1972. Dalam
penyanderaan tersebut, sebelas atlet Israel, lima pelaku penyanderaan, dan
seorang polisi Jerman tewas.
Sejak “pembunuhan Munich” agen-agen Israel mengejar orang-orang di
balik penyanderaan itu. Ini adalah operasi terorganisir pemerintah Israel dalam
skala besar. Wartawan Time, Aaron Klein,
dalam bukunya TheAvengers, menyebutnya
sebagai “Operasi Murka Tuhan”.
Hanya tiga hari setelah tragedi tersebut, pesawat tempur Israel menyerang kamp Palestina di Lebanon dan Suriah. “200 orang meninggal dunia, menurut data Israel, semata-mata teroris,” tulis Peter Maxwill dalam Spiegel Online (19/7). Selain itu, pemerintah Israel di Yerusalem mengirim 1.350 tentara ke Lebanon Selatan, dan menembak mati 45 orang, ratusan rumah hancur.
Itu operasi militer balasan yang berdarah. Tapi pembalasan yang sebenarnya diumumkan Perdana Menteri Israel Golda Meir: “Di mana pun serangan sedang dipersiapkan, di mana pun orang membunuh orang Yahudi dan rencana Israel –tepat di mana kita harus menyerang.”
Untuk memburu para penyandera “September Hitam”, pemerintah Israel
membentuk operasi intelijen Caesarea yang dipimpin perwira Mossad, Michael
Harari. Agen-agen Caesarea menghabisi orang-orang yang dituduh terlibat dalam
tragedi Munich, seperti penulis Wael Zweiter, yang bekerja sebagai penerjemah
di Kedutaan Libya di Roma; sejarawan Mahmoud Hamshari; pengacara Irak Basil
al-Kubaissi; wakil-wakil pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Muhammed
Jussuf Nadschar, Kamal Adwan, dan Kamal Nassir.
Namun, lelaki yang dibunuh di Lillehammer ternyata bukan Ali Hassan
Salameh, tapi Ahmed Bouchiki, seorang pelayan asal Maroko.
“Tim Caesarea telah membunuh orang yang tidak bersalah,” tulis Peter Maxwill. Polisi Norwegia menangkap setengah lusin agen Israel, lima di antaranya dijatuhi hukuman beberapa tahun penjara.
Mossad baru berhasil membunuh Ali Hassan Salameh pada 22 Januari 1979
dengan meledakkan mobil yang dikendarainya. Akibat ledakan itu, duabelas orang
pejalan kaki ikut tewas. Pada Juni 1992, duapuluh tahun setelah tragedi Munich,
kepala intelijen PLO Reny Bseiso ditembak dua orang asing yang mendekatinya,
dalam perjalanan kembali ke Paris dari pertemuan di Berlin.
Reny Bseiso mungkin korban terakhir dari Caesarea. Tapi, menurut Peter
Maxwill mereka belum mencapai tujuan mereka karena terduga lainnya seperti
pendukung Abu Ijad dan Abu Daoud belum tertangkap.
Akibat salah sasaran, pada Januari 1996, Perdana Menteri Shimon Peres memberikan kompensasi kepada keluarga Bouchiki sebesar 400.000 dolar, tapi dengan satu syarat: “Israel tak akan bertanggungjawab,” kata Peres, dalam konferensi pers, “karena Israel bukan organisasi pembunuhan.”Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar