15 July 2013 - Fildzah Izzati, Hilmar Farid
PASCA Orde Baru (Orba), membicarakan Peristiwa
pembantaian massal 1965 bukan lagi suatu hal yang tabu. Sayangnya, cara
pandang terhadap Peristiwa itu sendiri masih parsial. Sebagian besar pengkaji
dan pemerhati salah satu tragedi terbesar di dunia pasca Perang Dunia II,
melihatnya melulu dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM). Tidak salah
sesungguhnya, tetapi menganggap Peristiwa tersebut sebagai semata persoalan HAM
merupakan sebuah kekeliruan besar dalam memahami sejarah perkembangan
ekonomi-politik Indonesia pasca tragedi tersebut.
Salah seorang yang mencoba keluar dari mainstream HAM
itu adalah Hilmar Farid, sejarawan dari Institut Sejarah Sosial
Indonesia (ISSI) yang juga merupakan pengajar di Cultural Studies Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Dalam perbincangannya
dengan Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR), Fay (demikian
ia biasa disapa) mengatakan bahwa Peristiwa 1965 itu sangat mempengaruhi tidak
saja perkembangan politik kelas (buruh, tani, perempuan) hingga saat ini, tapi
juga menjadi syarat penting bagi perkembangan kapitalisme di Indonesia. Lalu
bagaimana pembunuhan massal 1965 terjadi, dengan tujuan apa, dan bagaimana
pengaruhnya hingga kini? Berikut petikannya:
Dalam salah satu
tulisan Anda, disebutkan bahwa pembunuhan massal 1965 lebih dari sekedar
pelanggaran HAM, tapi juga berkaitan sangat erat dengan kondisi ekonomi politik
pada masa itu, dimana penghancuran gerakan buruh, tani, dan ormas progresif
secara sistematis merupakan bagian tak terpisahkan dari proses akumulasi
primitif yang terjadi. Bisakah Anda jelaskan hal ini lebih lanjut?
Pertama mesti diingat bahwa pembunuhan massal 1965 tidak
terjadi secara acak. Pembunuhan itu dilakukan secara teratur, sistematis, dan
dengan sasaran yang jelas: serikat –serikat buruh, petani dan kekuatan politik
berbasis kelas. Pembunuhan bukanlah ‘amuk massa’ seperti yang coba dikesankan
banyak orang, melainkan rangkaian tindakan yang sistematis dan terencana,
melibatkan birokrasi dan organisasi anti-komunis. Orang ditangkap dan ditahan
di kantor polisi atau markas militer, lalu secara bertahap dibawa pergi untuk
dibunuh. Tujuannya jelas untuk menghabisi kekuatan politik berbasis kelas. Di
sektor tertentu seperti industri minyak yang memerlukan tenaga trampil,
pembersihan tidak mungkin dilakukan menyeluruh. Alhasil kaum buruh yang
bergabung dengan organisasi kiri tidak dibunuh tapi bekerja di bawah todongan
senjata. Praktek represi semacam ini masih kita lihat pada tahun 1980an dan
bahkan 1990an. Semua dilakukan sangat sistematis untuk menyebar ketakutan.
Semua ini, saya kira, menunjukkan bahwa apa yang terjadi
pada tahun 1965 dan setelahnya adalah sebuah upaya untuk mempercepat proses
akumulasi kapital. Semua kekuatan yang menghalangi potensi akumulasi itu
dihancurkan. Misalnya di Sumatera Timur, Jawa Timur, atau Bali, di mana
kerjasama atau gotong royong – kalau meminjam istilah Sukarno – dan
kolektivitas masih sangat tinggi. Pembunuhan massal di sini bukan hanya berarti
hilangnya nyawa manusia, tapi juga hancurnya sistem sosial yang mereka hidupi.
Di Bali, orang ‘berkesenian’ itu sebagai bagian dari hidupnya sehari-hari.
Penari, pematung, pelukis itu juga bertani karena memang bidang-bidang kegiatan
itu tidak dilihat terpisah. Kalau petani berkumpul menunggu datangnya panen, ya
menari, melukis dan sebagainya. Tapi sekarang menari jadi komoditas dan
terpisah dari kehidupan petani. Anak-anak belasan tahun jadi ‘penari profesional,’
tampil di depan turis dengan bayaran tidak seberapa. Pertunjukan yang biasanya
beberapa jam disingkat-padatkan agar sesuai dengan selera turis. Perubahan
sikap, cara pandang, dan praktek berkesenian ini bukan sesuatu yang alamiah
sekadar mengikuti perkembangan zaman. Zaman tidak berubah dengan sendirinya.
Kapital di Indonesia dan Bali pada khususnya bisa tumbuh berkembang menjalar ke
segala bentuk kehidupan karena adanya represi. Pembunuhan massal berperan
penting menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial dan budaya, menyiapkan
‘lahan’ bagi akumulasi kapital.
Akumulasi kapital di mana pun juga harus memiliki titik
awal. Dalam buku Kapital, Marx menyebutnya ‘akumulasi asali’ atau sering
juga diterjemahkan sebagai ‘akumulasi primitif.’ Proses akumulasi asali ini
selalu melibatkan kekerasan seperti land enclosure di Inggris,
kolonialisme di Asia, dan sebagainya. Pembunuhan massal 1965, menurut saya,
adalah salah satu momen akumulasi asali yang menghancurkan sistem sosial dan
kekuatan politik yang menghalangi ekspansi kapital.
… apa yang terjadi pada tahun 1965 dan setelahnya adalah sebuah upaya untuk mempercepat proses akumulasi kapital. Semua kekuatan yang menghalangi potensi akumulasi itu dihancurkan.
Bagaimana Anda
memandang peristiwa 1965 dan kaitannya dengan kapitalisme serta gerakan buruh
saat ini?
Saat ini ingatan buruh mengenai peristiwa 1965 sendiri
saya kira sangat terbatas, tapi bukan berarti tidak ada pengaruh sama sekali.
Pewarisan ingatan dalam gerakan buruh juga masih berjalan sampai sekarang,
seperti terlihat dari stigma ‘komunis’ yang masih kerap digunakan
untuk memukul lawan. Bedanya mungkin sekarang stigma tersebut sudah
tidak efektif seperti dulu. Kalau di masa Orde Baru dituduh komunis akibatnya
bisa fatal. Orang dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuh karena tuduhan itu.
Sekarang sudah beda. Stigma komunis tidak lagi efektif. Yang dituduh
sekarang malah balik nantang: kalau komunis memangnya kenapa?
Selain itu,
perubahan apa yang terjadi pada formasi politik kelas di Indonesia pasca 1965?
Ini menarik. Sebelum 1965 diferensiasi sosial itu ada,
tapi belum begitu menonjol. Tentu ada yang kaya dan ada yang miskin, tapi
perbedaannya belum begitu tajam. Walau begitu politik yang berbasis kelas
justru kuat. Serikat buruh kuat, serikat tani kuat, organisasi berbasis kelas
ada di mana-mana, partai politik pun berbasis kelas. Ideologi yang berbasis
kelas pun sangat menonjol. Setelah 1965 keadaan berubah. Diferensiasi sosial
menjadi semakin menonjol, perbedaan kaya-miskin sangat tajam. Tapi pada saat
bersamaan ekspresi politik berbasis kelas dihabisi. Di daerah pedesaan,
misalnya, sewaktu ada Revolusi Hijau pada akhir 1960an, terjadi diferensiasi
sosial yang hebat akibat pengenalan teknologi. Terjadi proletarianisasi di
desa-desa dalam skala yang masif. Perbedaan dan ketimpangan kelas menjadi
menonjol. Tapi pada saat bersamaan, penguasa Orba memberlakukan kebijakan
‘massa mengambang’ yang melarang kegiatan politik berbasis kelas, apalagi di
desa. Akibatnya ekspresi politik meluap ke samping dan menjadi konflik
horizontal antar agama dan etnik. Prakteknya masih kita rasakan sampai
sekarang.
Anda sering
mengatakan bahwa kapital adalah relasi sosial, bukan sekedar kepentingan
borjuis semata di dalamnya. Bagaimana menjelaskan posisi tersebut dalam konteks
saat ini dan kaitannya dengan 1965?
Saya bertolak dari pemikiran Marx dalam Kapital yang
mengatakan kapital bukanlah benda (thing). Di sini saya berbeda misalnya dari
Richard Robison yang dalam Rise of Capital menganggap kapital itu
sama dengan modal uang. Mereka yang punya uang banyak bisa menguasai produksi
secara keseluruhan dan menjadi dominan dalam politik. Seringkali lupa bahwa
uang hanya mungkin dilipatgandakan kalau ada kerja atau gerak yang menghasilkan
keuntungan. Dengan kata lain, prasyarat akumulasi kapital itu bukan hanya
adanya uang dalam jumlah tertentu, tapi juga adanya akses terhadap bahan mentah
yang akan diolah dan juga – ini mungkin paling penting – tersedianya tenaga
kerja yang bisa dibeli. Kapital adalah kuasa untuk menggerakkan seluruh proses
ini, bukan cuma uangnya.
Pembunuhan massal 1965 menurut saya punya fungsi ‘membersihkan lahan’ agar akumulasi kapital bisa berjalan. Kuncinya bukan pada ketersediaan uang, tapi pada ketersediaan bahan mentah dan tenaga kerja, dengan titik berat pada yang belakangan, karena ketersediaan bahan mentah juga mensyaratkan adanya tenaga kerja yang mengambil dan menyediakannya. Di masa sebelumnya, orang tidak tertarik untuk menjual tenaga kerja kepada pemilik uang, karena masih ada banyak cara lain menyambung hidup. Sejarah dunia memperlihatkan bahwa orang kemudian dipaksa agar tunduk pada hukum akumulasi kapital. Pembunuhan massal 1965 di Indonesia adalah salah satu episode paksaan itu.
Robison dalam Rise of Capital sepertinya
mengabaikan soal itu. Ia sibuk membandingkan kekayaan para pemodal dan jaringan
politiknya dengan penguasa negara. Informasinya bisa saja penting, tapi
pertanyaan pentingnya: yang mau dijelaskan kemudian apa? Ini kan seperti who’s
who dalam bisnis di Indonesia. Sementara tentang peristiwa 1965 yang
begitu sentral dalam ‘kebangkitan kapital’ di Indonesia hampir tidak disebut
sama sekali, hanya beberapa baris saja.
Pembunuhan massal 1965 menurut saya punya fungsi ‘membersihkan lahan’ agar akumulasi kapital bisa berjalan. Kuncinya bukan pada ketersediaan uang, tapi pada ketersediaan bahan mentah dan tenaga kerja, dengan titik berat pada yang belakangan, karena ketersediaan bahan mentah juga mensyaratkan adanya tenaga kerja yang mengambil dan menyediakannya.
Bagaimana pendapat
Anda mengenai kajian-kajian akademik tentang Peristiwa 1965 yang ada hingga
saat ini? Apa tugas yang belum diselesaikan baik oleh para ilmuwan sosial
politik maupun sejarawan terkait pembunuhan massal 1965?
Masih banyak yang perlu dikerjakan, terutama memeriksa
dampak dari pembunuhan massal terhadap berbagai cabang atau sektor industri
secara empirik. Sektor pariwisata di Bali, misalnya, pembunuhan massal di sana
termasuk yang paling masif secara proporsi. Saya kira ini banyak pengaruhnya
terhadap cara pandang orang atas kehidupan sosial, praktek ekonomi dan politik.
Pembunuhan massal juga berpengaruh terhadap pola kepemilikan tanah. Ernst
Utrecht, seorang ahli hukum dan sosiologi, mencatat bahwa setelah 1965, terjadi land
reform terbalik. Artinya tanah yang sudah didistribusi kepada rakyat di
bawah ketentuan UUPA 1960 dirampas lagi oleh para pemilik yang lama.
Kita juga perlu meneliti lebih mendalam tentang dampak
pembunuhan massal, dan represi yang berkelanjutan, terhadap reproduksi sosial
dalam masyarakat. Sejak awal kampanye anti-komunis terarah secara khusus
terhadap perempuan. Gerwani dituduh bikin orgy di Lubang Buaya,
menari telanjang sambil menyilet tubuh para jenderal. Perempuan yang mulai
tumbuh sebagai kekuatan politik dihancurkan secara fisik dan simbolik
sekaligus. Berita bohong tentang kemaluan para jenderal yang dipotong menyebar
kebencian dan ketakutan bukan hanya terhadap aktivis Gerwani, tapi pada semua
perempuan yang berpolitik. Dan sejak itulah serangan yang sistematis dilakukan
terus-menerus terhadap perempuan. Salah satu episode yang paling mengerikan
dari rangkaian serangan itu adalah program KB atau Keluarga Berencana.
Sasarannya tidak lain adalah tubuh perempuan sendiri dan kendali perempuan atas
kemampuan reproduksinya. Dari banyak sumber, saya dengar bagaimana para ibu dan
juga perempuan remaja di masa itu dikejar-kejar untuk dipaksa pakai
kontrasepsi. Perempuan diperlakukan seperti ternak saja. Dan untuk itu Soeharto
dapat penghargaan karena mampu ‘mengendalikan pertumbuhan penduduk.’
Mengerikan.
Menurut Anda,
bagaimana kaitan antara konsolidasi demokrasi yang buntu sekarang ini dengan
warisan politik Orde Baru?
Wah, ini pertanyaan berat. Tanpa bermaksud
menyederhanakan masalah saya kira warisan politik Orde Baru yang paling
bermasalah dan sulit diatasi adalah kemiskinan imajinasi. Bukan hanya imajinasi
politik, tapi juga imajinasi sosial dan kultural. Sederhananya begini: orang
kesulitan membayangkan sistem politik atau bentuk masyarakat yang ideal. Kita
sering dengar orang bicara sosialisme, tapi yang dimaksud itu apa?
Masyarakat sosialis di Indonesia hari ini artinya apa?
Jangan dulu kita bicara tentang kesadaran rakyat secara umum, di kalangan
aktivis saja saya kira soal ini belum jelas. Dan ini warisan Orde Baru yang
hebat, kemiskinan imajinasi.
Bagaimana pendapat
Anda mengenai politik Kelas saat ini? Bagaimana signifikansi dan tantangan
terbesarnya?
Saya kira dalam 10-15 tahun terakhir, ekspresi politik
kelas sudah muncul kembali. Ada gerakan buruh yang kuat, gerakan tani juga
marak, kelas menengah pun begitu. Walau begitu pengaruhnya terhadap politik
nasional yang mainstream dalam arti komposisi di DPR, institusi
pemerintah dan sebagainya, masih sangat terbatas. Kecenderungannya tentu akan
meningkat karena kesenjangan sosial yang menjadi basis kemunculannya juga
semakin meningkat.
Bagaimana pandangan
Anda mengenai gerakan-gerakan rakyat (buruh, tani, nelayan, miskin kota) saat
ini? Di mana dan bagaimanakah posisi mereka saat ini?
Kita perlu jelas dulu apa dan siapa yang dimaksud
‘gerakan rakyat’ ini. Di masa kekuasaan Soeharto ‘gerakan rakyat’ ini termasuk
siapapun yang terlibat dalam perlawanan terhadap rezim otoriter. Tapi sekarang
saya kira perlu pengertian yang lebih spesifik. Tidak semua yang terlibat
‘gerakan rakyat’ di masa lalu punya agenda sosial dan politik yang sama hari
ini. Politik berbasis kepentingan sosial atau kelas semakin kuat. Kelas
menengah yang dulu bersekutu atau bersimpati pada gerakan buruh karena merasa
sama-sama menentang Orde Baru, sekarang bisa berbalik mengecam gerakan buruh
karena dianggap mengganggu stabilitas, bikin macet, dan seterusnya.
Era ‘gerakan moral’ yang menentang Orde Baru karena tidak
suka pada pemikiran dan praktek yang dianggap ‘jahat’ sudah berakhir. Kategori
moral yang dulu menjadi dasar bergeraknya sekarang tidak lagi ampuh. Bagi
gerakan buruh, perlawanan tidak terbatas pada pengusaha yang curang atau jahat,
tapi pada sistem produksi yang melemahkan posisi mereka secara keseluruhan. Bagi
petani, masalahnya bukan apakah pemilik pertambangan atau perkebunan yang
menggusur tanah mereka itu lalim atau saleh, tapi penggusuran tanah itu
sendirilah yang jadi masalah, terlepas dari apakah pelakunya baik atau tidak.
Kekuatan gerakan rakyat yang berbasis kelas saya kira
semakin kuat walau pengaruhnya masih terbatas. Sekarang bergantung pada
kemampuan gerakan itu menjawab ketegangan sosial dari akarnya, dan itu hanya
mungkin terjadi kalau ada kombinasi dari berbagai gerakan itu. Tugas aktivis
dan organisasi politik yang ada sekarang adalah ‘menjahit’ gerakan yang
spesifik menjadi perlawanan umum. Dan untuk itu imajinasi politik mutlak
diperlukan.
Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah saya kira warisan politik Orde Baru yang paling bermasalah dan sulit diatasi adalah kemiskinan imajinasi. Bukan hanya imajinasi politik, tapi juga imajinasi sosial dan kultural.
Anda salah satu
figur yang ikut dalam proses kemenangan Jokowi di Pemilukada Jakarta. Bagaimana
Anda memaknai kemenangan Jokowi terhadap proses pengorganisasian rakyat yang
berlawan sekarang?
Kalau waktu itu, saya tinggal tidur pun, Jokowi tetap
menang. Saya hanya bantu kampanye dan menggerakkan relawan di tingkat kecamatan
saja. Memang peran dari partai pendukung, kelompok relawan, simpatisan dan
sebagainya sangat penting, tapi tidak kalah penting adalah sosok Jokowi sendiri
yang berhasil memberi wajah pada keresahan orang yang menahun terhadap
kekuasaan korup di Jakarta. Kombinasi ini, yang saya kira, memungkinkan
mobilisasi dukungan yang begitu besar dan tidak ada bandingannya dalam pilkada
di Jakarta.
Bagaimana hubungan
kepopuleran figur Jokowi dengan proses demokratisasi di Indonesia umumnya pasca
Orba?
Popularitas itu di mana pun adalah pedang bermata dua.
Demokrasi pada dasarnya memerlukan demos yang kuat. Ada kumpulan
orang yang kuat dan mandiri. Jokowi saat ini mendorong munculnya demos yang
kuat. Orang berani menuntut hak-hak yang diabaikan selama bertahun-tahun, mulai
dari masalah kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik yang lain. Tapi
popularitas ini juga bisa berbalik kalau orang terbuai dan kemudian melihat
Jokowi sebagai semacam ratu adil yang akan menyelesaikan segalanya tanpa mereka
perlu berbuat sesuatu. Orang tidak bangkit menjadi demos yang kuat,
tapi akhirnya hanya ‘menitipkan nasib’ saja pada figur seperti Jokowi.
Jokowi bukan superman yang bisa mengerjakan segalanya. Kalau orang hanya ‘menitipkan nasib’ dan menunggunya membuat perubahan, saya kira pada akhirnya Jokowi akan kewalahan juga.
Menurut Anda, apa batas-batas politik dari politisasi
kepopuleran Jokowi yang ada sekarang? Bagaimana mengatasi batas-batas tersebut?
Batas-batas politik yang berbasis pada popularitas tokoh
saya kira adalah keterbatasan tokoh itu sendiri. Jokowi bukan superman yang
bisa mengerjakan segalanya. Kalau orang hanya ‘menitipkan nasib’ dan
menunggunya membuat perubahan, saya kira pada akhirnya Jokowi akan kewalahan
juga. Karena itu yang paling penting, saya kira, menggerakkan masyarakat agar
aktif mendukung perubahan yang sedang dirintisnya. Bukan sekadar mendukung
Jokowi sebagai figur, tapi mendukung gagasan dan praktek Jakarta Baru.
Masyarakat yang selama ini tidak terorganisir, jalan sendiri-sendiri, perlu
menghimpun diri dan mendukung perubahan. Ruangnya sudah terbuka sekarang, jadi
tidak ada alasan untuk berdiam diri.
Bagaimana Anda
melihat pengorganisiran rakyat melalui komunitas warga sebagai lokus potensial
radikalisasi perlawanan rakyat kini? Apa Anda sependapat dengan posisi ini?
Tergantung. Kalau warga dipahami sebagai sebuah kategori
politik, sebagai padanan dari citizen, saya kira itu baik. Di sini warga
berarti orang yang dilengkapi dengan hak-hak dasar dan juga kesempatan yang
sama. Asal-usulnya dalam Revolusi Prancis, ketika orang yang semula dianggap
lebih rendah memperjuangkan persamaan dan merumuskan sosok baru itu dalam
konsep citizen. Politik warga dalam pengertian itu tentu baik sekali dan
saya kira bisa menjadi lokus perlawanan radikal. Pemenuhan hak-hak warga itu
dengan sendirinya akan menuntut perubahan sistem sosial yang menjadi agenda
gerakan kiri.
Tapi yang jadi masalah sekarang, ada juga yang melihat
‘warga’ ini sebagai kategori sosial. Perbedaan sosial, terutama perbedaan
kelas, diabaikan di sini. Orang bicara tentang ‘kepentingan warga’ padahal yang
dimaksud adalah kepentingan kelas tertentu yang mengatasnamakan ‘warga.’
Kecenderungan ini, saya kira, justru menghalangi
perubahan sosial, karena berasumsi bahwa semua orang pada dasarnya sama dan
yang diperlukan bukan perubahan melainkan perbaikan atau reformasi saja.
Pendekatan ini sejalan dengan kritik moral yang sibuk memblejeti keburukan
para pemimpin tanpa memedulikan sistem itu sendiri. Mengutuk pejabat yang
korup, tapi tidak mau memperjuangkan demokrasi sejati untuk mengikis kesempatan
korupsi.
Bagaimana pendapat
Anda mengenai potensi kemenangan politik perlawanan rakyat kini? Apakah
dimungkinkan?
Saya kira potensi itu lebih besar dari 10-20 tahun lalu.
Sentimen orang terhadap sistem sudah jauh lebih besar daripada dulu. Semakin banyak
orang yang melihat masalahnya bukan pada orang yang mengendalikan sistem, tapi
pada sistem itu sendiri. Insiden seperti bayi yang meninggal karena tidak ada
rumah sakit yang mau menerima membuat semakin banyak orang sadar bahwa ada yang
salah dengan sistem. Dan tumbuh juga kesadaran bahwa semua itu mungkin terjadi
pada diri kita suatu saat. Nah, sentimen yang semakin kuat ini pada
akhirnya berpengaruh juga pada kerja birokrasi. Sekarang ini semua gubernur dan
bupati berlomba menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis,
setidaknya di tingkat retorika. Terlepas dari apakah itu dijalankan atau tidak,
tapi jelas bahwa keinginan mereka didorong oleh perlawanan rakyat dan sentimen
publik yang ditimbulkan oleh perlawanan tersebut.
Tentu orang bisa mencela, ‘itu semua hanya pencitraan.’
Kritik semacam itu saya kira tidak ada gunanya bagi gerakan. Persoalan kita
bukan pada apakah bupati atau gubernur itu berniat baik atau tidak, tapi apakah
ia menjalankan apa yang menjadi tuntutan masyarakat atau tidak. Kalau dia mau
bekerja keras memberi pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis agar bisa
dipilih kembali, kenapa tidak? Sebelum ini orang yang mau menang pilkada atau
pilpres cukup punya uang saja, bayar orang jadi pendukung, beli suara kalau
perlu. Tapi karena ada perlawanan yang menuntut keadilan dalam sistem, ada
sentimen publik yang kuat, mau tidak mau para calon harus mempertimbangkan
dimensi itu. Dalam konteks ini, saya kira potensi politik bagi gerakan
perlawanan untuk ‘naik’ mempengaruhi politik mainstream dengan
sendirinya semakin besar.
0 komentar:
Posting Komentar