Wishnu Wardhana
Sulawesi, sebagai pulau terbesar keempat di Indonesia, pun memiliki sejarah kelam yang terkait dengan tragedi kemanusiaan yang berlangsung setelah peristiwa G30S-PKI pada tahun 1965. Selama ini, sejarah lebih diarahkan untuk mengenal tentang peristiwa itu secara eksklusif hanya di Jawa dan sebagian Sumatera saja. Maka ketika terdapat diskusi di Goethe-Institut Jakarta, pada 3 Oktober 2013, mengenai tindak kekerasan yang terjadi di Sulawesi terkait dengan Partai Komunis Indonesia, kami pun ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kronologis peristiwa tersebut.
Yenny adalah seorang anggota Pemuda Rakyat (PR) yang ditahan karena keterlibatannya di dalam organisasi onderbouw PKI, dan mengalami tiga kali percobaan pemerkosaan dan penyiksaan oleh anggota Koramil setempat dalam keadaan hamil. Yenny Oroh pun kemudian mendirikan sebuah program solidaritas bagi orang-orang yang bernasib serupa di seluruh Sulawesi, yang pertemuannya berlangsung di Palu, Sulawesi Tengah.
Gagarisman, salah seorang narasumber, adalah penyintas yang tidak mengalami efek langsung dari peristiwa tersebut, namun sebagai anak ketua PKI di Palu, dia turut merasakan diskriminasi dan dehumanisasi yang diterimanya dan keluarganya sebagai keluarga Tapol (Tahanan Politik). Ayah Gagarisman sendiri ditahan setelah kejadian G30S-PKI oleh Koramil setempat dan dieksekusi dengan cara yang biadab. Sampai sekarang, makam ayah Gagarisman tak pernah diketahui olehnya dan keluarganya.
Hilmar Farid yang juga merupakan salah seorang narasumber mengatakan, bahwa pengetahuan masyarakat umum mengenai tragedi kemanusiaan yang terkait dengan PKI di Sulawesi terlampau sedikit, dan dia menyebutkan bahwa buku “Sulawesi Bersaksi” sendiri merupakan pengingat yang baik kepada masyarakat mengenai kejadian tersebut. Dia menambahkan, sebenarnya jejak-jejak peristiwa tersebut masih banyak terdapat di Sulawesi, khususnya di kota Palu; banyak bangunan di kota tersebut dibangun oleh para Tapol yang dipekerjakan secara paksa oleh pemerintah. Orde Baru, menurutnya, telah menghidupkan kembali sistem kerja paksa, yang sebenarnya tak pantas bagi manusia dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Hilmar Farid sedikit ‘membocorkan’ isi buku “Sulawesi Bersaksi”, mengenai seorang anak yang mencari ayahnya yang hilang ke kantor Koramil dan diancam akan dibunuh oleh penjaga. Hilmar mengatakan, tak pantas seorang militer mengancam anak kecil dengan pembunuhan; keadaan inilah yang disebutnya sebagai dehumanisasi.
Hilmar juga menjelaskan mengenai tabiat masyarakat Indonesia yang tidak kritis mengenai sebuah peristiwa kekerasan, khususnya terkait dengan tragedi pembantaian eks anggota PKI; masyarakat cenderung menganggap tindakan kekerasan adalah sesuatu yang wajar dan dapat diterima, dimana seharusnya masyarakat bersikap menentang.
Ketika seorang audiens bertanya mengenai kejadian tersebut dengan kaitannya dalam ideologi komunisme, Nurlaela menjawab bahwa persoalan yang dibahas di dalam buku “Sulawesi Bersaksi” bukanlah mengenai ideologi, melainkan mengenai permasalahan kemanusiaan dan kebangsaan yang telah terjadi, agar kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa kekerasan yang telah terjadi dan berusaha agar kejadian serupa tak terulang lagi. Nurlaela menambahkan bahwa buku tersebut dibuat sebagai sebuah upaya rekonsiliasi sejarah, dan rekonsiliasi tersebut tak selalu harus melalui pengadilan, namun juga bisa melalui upaya-upaya preventif, seperti peluncuran buku “Sulawesi Bersaksi” ini.
Selanjutnya, Gagarisman menceritakan pengalamannya mengenai dehumanisasi oleh pemerintah yang diterimanya sebagai anak seorang Tapol; ketika bekerja sebagai guru, Gaga terus mendapatkan tekanan dari rekan sejawat dan atasannya, dan pernah sekali waktu disebut sebagai orang yang tidak ‘bersih’.
Rusdi Mastura pun memiliki pengalamannya sendiri sebagai salah satu saksi hidup dari peristiwa tersebut, namun ia bukanlah salah satu korban maupun pelaku; ketika peristiwa tersebut terjadi, Rusdi masih duduk di kelas VI SD dan bertugas menjaga eks anggota PKI yang ditahan di sebuah bangunan di Palu.
Rusdi menjelaskan bahwa sebenarnya pemusnahan PKI dan komunisme di Indonesia tidak terkait dengan seberapa ‘berbahaya’nya partai dan ideologi tersebut, karena sebenarnya semua orang dengan ideologi apapun berhak hidup di Indonesia. Rusdi menceritakan, bahwa dirinya pernah berdialog dengan Buya Hamka, seorang ulama besar dan pemimpin partai Masyumi, dan mempertanyakan mengapa dirinya berani mengajukan pengubahan dasar negara dari Pancasila ke hukum Islam kepada Presiden Soekarno. Buya Hamka menjawab bahwa IJ Kasimo, pemimpin Partai Katolik, yang notabene merupakan kelompok minoritas, mengajukan agama Katolik sebagai dasar negara, juga DN Aidit, pemimpin PKI, mengusulkan Komunisme sebagai dasar negara, maka mengapa Masyumi sebagai representasi umat beragama terbesar di Indonesia, tidak mengusulkan Islam sebagai dasar negara? Kejadian itulah yang membuka mata Rusdi bahwa setiap golongan sebenarnya berhak hidup dan tinggal di bumi Indonesia, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, dan prinsip itulah yang dipegangnya teguh hingga saat ini.
Di tengah acara diskusi, Nurlaela dan Gagarisman menyanyikan lagu dalam bahasa Kaili-Ledo (Bahasa lokal di kota Palu), yang mengisahkan nasib Gagarisman sebagai anak seorang Tapol. Selanjutnya, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Seorang anggota kelompok kami bertanya kepada narasumber mengenai perbedaan pola-pola kekerasan yang terjadi terhadap para eks anggota PKI di pulau Sulawesi dengan di pulau Jawa. Pertanyaan tersebut dijawab Nurlaela, bahwa perbedaannya adalah di Sulawesi, anggota kelompok masyarakat tidak ikut terhasut oleh propaganda Orde Baru dan Angkatan Bersenjata untuk men-sweeping eks anggota PKI, sehingga tidak terdapat korban dalam jumlah besar di Sulawesi. Di kota Palu khususnya, terdapat seorang tokoh pemimpin pesantren bernama “Al-Khaerat” yang biasa dipanggil “Guru Tua” yang sangat disegani dan dihormati pada waktu itu. Guru Tua menghimbau pula kepada masyarakat agar tidak melakukan kekerasan, sehingga jumlah korban juga tidak terlalu besar di kota Palu. Lain halnya dengan di provinsi Sulawesi Selatan, misalnya di kabupaten Bone, telah dibunuh sekitar 1.200 orang dalam bulan-bulan pertama pasca G30S-PKI. Oleh karena itu, Nurlaela menekankan pentingnya peran tokoh masyarakat pada waktu itu dalam menghimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan kepada eks anggota PKI.
Nasir juga menambahkan perbedaan antara kekerasan yang terjadi di pulau Sulawesi dan pulau Jawa, mengapa jumlah korban di Sulawesi lebih sedikit. Nasir menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan PKI di seluruh Indonesia sebagian besar terkait dengan sengketa tanah dan pengambil-alihan tanah oleh organisasi onderbouw PKI secara sepihak, yang disebut BTI (Barisan Tani Indonesia). Ketika kebijakan land reform itu telah dilaksanakan secara ekstensif di pulau Jawa, di Sulawesi belum terlalu banyak tanah yang direbut oleh BTI, sehingga ketika G30S-PKI meletus, tidak terlalu banyak aksi balas dendam dan perebutan kembali tanah yang diduduki oleh BTI, yang juga turut berperan dalam mengurangi jumlah korban di Sulawesi.
Hilmar Farid juga menjelaskan mengenai ketimpangan hak dan kewajiban antara buruh dan pemilik modal yang bergeser sebelum dan sesudah peristiwa G30S-PKI; jika sebelum kejadian tersebut buruh memiliki posisi yang lebih kuat karena pengaruh PKI, maka setelah kejadian posisi pemilik modal lebih kuat, karena banyaknya investasi asing yang masuk ke Indonesia sejak Orde Baru berkuasa. Jika ingin menyalahkan sebuah pihak mengenai ketimpangan dan ketidakberdayaan ekonomi Indonesia, maka Hilmar Farid mengatakan, salahkanlah Orde Baru yang terlalu banyak menarik investor asing masuk ke Indonesia. Maka, sebagai penutup, Putu Oka Sukanta sebagai moderator mengatakan bahwa audiens yang hadir di dalam acara diskusi tersebut harus mengetahui dan peduli mengenai sejarah, sehingga dapat mengambil pelajaran agar di masa depan kekerasan tidak terulang lagi.
Sumber: Willy Mandagi
0 komentar:
Posting Komentar