Sebelum sampai di sketsa ini, dia suatu siang yang gerah bertanya pada saya, apakah “PKI” itu. Tak terlalu jelas dari mana ia mendapatkan kata itu. Kemungkinan dari buku Gumelar yang dibukanya secara random. Maklum saja ratusan buku di rumah maupun di perpustakaan gelaranibuku/Patehan dibiarkan saja berada di rak dan/atau tergeletak di lantai.
Atas pertanyaan “sulit” dari Dipa, saya menjawabnya secara normal: PKI adalah Partai Komunis Indonesia. Saya hanya mengurai akronim tiga huruf itu. Namun ternyata itu tak berhenti di situ. Sudah disiapkannya pertanyaan susulan yang ini tak kalah sulitnya karena menjadi semacam vonis umum: “PKI itu penjahat ya!”
Saya tak menjawabnya langsung, tapi mengambil sebuah buku tebal bersampul jelaga yang sebetulnya “tak layak” bagi usia anak 10 tahun, melainkan mahasiswa sejarah semester 8. Saya lupa sama sekali bahwa sebetulnya ada “buku bergambar” karya Gumelar Demokrasono.
Baca ini! kata saya yang kemudian menyodorkan buku John Roosa “Dalih Pembunuhan Massal”. Dia menerima buku itu secara enteng saja. Dan benar, baru 10 menit membaca buku itu–itu pun di bagian kesimpulan–bocah yang lahir 10 November 2003 itu pun tidur siang dengan lelap.
Namun tidak dengan buku sketsa Gumelar Demokrasono. Buku ini dibawanya ke tempat tidur bercampur dengan tumpukan komik Tin Tin, Koel, dan Benny & Mice. Jika buku sudah dibawa ke tempat tidur, alamat bahwa buku itu bakal dibaca berulang-ulang. Itu pun jadi alamat bahwa buku itu masuk kategori “Favorit”.
Tiga hari kemudian setelah menyelesaikan sketsa-sketsa Gumelar Demokrasono ia memiliki pandangan baru. Saya mencoba bertanya frase “Buru”, maka Dipa dengan cekatan menjawabnya: “penjara dan pembuangan”. Istilah “Tapol” juga diingatnya dengan baik sebagai “Tahanan Politik”. Nah, frase Tahanan Politik ini sedikit membingungkannya.
Di luar soal “Tapol” itu ia bisa membandingkan bahwa penjajah Jepang dan Soeharto sama kejamnya. Bahkan Soeharto melakukannya kepada bangsanya sendiri–kata “kejam” dipakai Dipa sebagai frasa. Mungkin dalam sketsa Gumelar ada istilah “kerja rodi”. Namun, sejumlah teks penjelas dalam sketsa-sketsa Gumelar, seperti Pengantar Penerbit PUSdEP (ix-xi), Pengantar Harsutejo (xiii-xxiv), Catatan Amarzan Ismail Hamid (135), Catatan Misbach Tamrin (137-139), tak satu pun membandingkan kejamnya Soeharto dan Jepang, selain bahwa frasa “kerja rodi” terpacak di halaman sampul depan. Atau entahlah, mungkin saya kurang awas dan teliti dengan keseluruhan teks yang tercetak dalam buku yang diterbitkan pada 2006 itu.
Mengapa Soeharto kejam? tanya saya pada suatu sore di kedai susu di dekat Lapangan Kasihan bantul. Jawabnya datar saja sambil mengudap roti bakar keju: ia membunuh orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Nah, kata saya, itulah yang disebut “Tapol”, mereka yang ditahan/dibuang karena perbedaan pendapat.
Selain itu, ia juga pelan-pelan mengeja nama Pramoedya Ananta Toer (dilafadkannya sesuai dengan apa yang tertulis). Gumelar dalam sketsanya sedikit menyinggung pengarang ini. Menurut Dipa, Toer diperlakukan dengan kejam di Pulau Buru, disuruh mencangkul dari pagi hingga malam, padahal ia seorang penulis (saya yakin dia belum menjamah novel-novel Pram sebab tak sekalipun saya melihat ia memegang buku Tetralogi Buru).
Dia juga memberi catatan kaki bahwa buku-buku Pram dilarang karena berurusan dengan pemerintah. Tahu dari mana buku Pram dilarang? tanya saya. Ini jawabnya: “Dari buku ‘Awas Penguasa Tipu Rakyat’.” Sayang, ia tak ingat siapa pengarang buku yang menurutnya campuran antara gambar dan tulisan itu. Lagi pula, setahu saya buku karya Eko Prasetyo dan Terra Bajraghosa sudah lama sekali dibacanya di perpustakaan gelaraibuku Patehan saat lelah main game.
Baiklah!
Lalu saya bertanya kembali, tepatnya membalik pertanyaannya seperti awal, “Jadi, PKI itu penjahat?” (saya tahu bahwa ada teks ini di sketsa Gumelar [hlm 36]: “Para penduduk telah menerima indoktrinasi bahwa akan datang manusia tapol yang kejam, pembunuh, pemerkosa agar mereka tidak bergaul dengan Tapol”). Dan inilah jawaban Dipa–sederhana dan tegas–dan sepertinya ia sedang mempertahankan argumen dasarnya: “Mereka diperlakukan kejam hanya karena berbeda pendapat dengan Soeharto”.
Ah, mengapa anak ini tak menyebut mantan Presiden Soeharto dengan “Pak Harto”. Mungkin saja ia tak mendengar sama sekali nama ini setelah selama 4 tahun duduk di bangku SD Padokan 2, Kasihan, Bantul.
Sumber: MuhidinMDahlan
0 komentar:
Posting Komentar