30 Oktober 2013 08:04 | Surya Narendra
Judul : Pengakuan Algojo 1965 (Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965)
Penulis : Kurniawan et al.
Penerbit : Tempo Publishing
Jumlah Halaman : viii+178 halaman
Tahun Terbit : September 2013
Pesan Jas Merah
Bung Karno adalah pesan yang singkat tetapi efeknya bisa sangat panjang.
Melupakan sejarah atau memilih apatis terhadap kebenaran sejarah yang ditutupi
oleh penguasa akan menjadikan kita bangsa yang tidak pernah belajar dari
kesalahan. Akibatnya kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di masa lalu akan
terulang, bahkan menjadi lebih fatal tanpa ada tindakan penghindaran.
Inilah yang menjadi
dasar Tim Laporan Khusus Majalah Tempo ketika memutuskan untuk mengungkap fakta
sejarah dibalik penumpasan G30S/PKI. Majalah Tempo berusaha mengungkap
kenyataan sejarah dari peristiwa pembantaian terhadap anggota PKI oleh ABRI
(sekarang TNI-Polri) yang dibantu masyarakat, khususnya para tokoh agama-musuh
utama PKI, sesaat setelah pecahnya Gestapu.
Laporan Tim Khusus
yang tadinya dimuat dalam bentuk majalah edisi 1-7 Oktober 2012 ini kemudian
diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Pengakuan Algojo 1965
(Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965) setebal 186 halaman.
Buku ini berisi pengakuan dari beberapa orang yang dulu pernah menjadi algojo
pada saat proyek penumpasan PKI sampai akar-akarnya digencarkan oleh Soeharto
dan Orde Baru.
Buku dan Perlengkapan
untuk Meresensinya
Tim investigasi
Tempo menelusuri jejak peristiwa pembantaian anggota-anggota PKI sekitar tahun
1965 di berbagai daerah. Dari hasil penelusuran tersebut terungkaplah bahwa di
berbagai daerah di Indonesia dulu pernah terjadi pelanggaran HAM berat berupa
pembantaian masal terhadap anggota PKI maupun simpatisannya.
Pengakuan paling
menggetarkan berasal dari seorang mantan algojo berjuluk Anwar Congo. Di buku
ini ia tak sekedar menceritakan pengalamannya mengeksekusi para anggota dan
simpatisan PKI. Lebih dari itu Anwar Congo juga memperagakan bagaimana cara ia
membunuh. Dengan sigap dia memperagakan : seorang kawannya ia dekatkan ke
tiang, lalu seutas kawat ia lilitkan di leher. Kawat itu kemudian ditarik. “Ini
supaya tidak ada darahnya, “katanya. “Ini saya tiru dari film-film gangster.”
(halaman 152)
Selain berisi
pengakuan para algojo, buku yang dilengkapi beberapa dokumentasi foto ini juga
berisi pengakuan para korban yang dulu pernah dipenjara, disuruh kerja paksa,
bahkan disiksa tanpa ada proses pengadilan karena mereka dicurigai sebagai
anggota atau simpatisan PKI.
Di bagian akhir
buku juga dilampirkan beberapa pendapat para ahli dan tokoh mengenai tragedi
yang kabarnya lebih kejam daripada peristiwa G30S/PKI itu sendiri. Karena buku
ini awalnya adalah laporan investigasi Tim Laporan Khusus Majalah Tempo, maka
disertakan pula beberapa tanggapan dari pembaca.
Sebagian besar surat pembaca
tersebut berasal dari tokoh-tokoh ormas agama yang organisasinya disebut dalam
hasil investigasi ini. Kebanyakan mereka tidak terima organisasi mereka disebut
ikut dalam pembantaian 1965. Bahkan mereka menganggap bahwa Tempo memiliki
“agenda tertentu” dalam investigasinya.
Sebagai buku
sejarah, Pengakuan Algojo 1965 adalah buku yang sangat
menarik. Membacanya membuat wawasan kita tentang sejarah bangsa menjadi
tercerahkan. Lewat buku ini kita juga akan disadarkan bahwa komunis memang
dilarang di Indonesia, tetapi bukan berarti bahwa pembantaian terhadap komunis
diijinkan dan diskriminasi terhadap keluarganya diperbolehkan. Bahkan
mempelajari ideologi komunis atau sosialis juga sebenarnya jangan dilarang.
Sejarah bangsa Indonesia yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah harus
diluruskan, karena masih dipenuhi unsur propaganda rezim Orde Baru.
Sumber: Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar