Rabu, 02 Oktober 2013

Menyoal Stigma Hendra

EDISI, 2 OKTOBER 2013

Agus Dermawan T., 
PENULIS BUKU 'HENDRA GUNAWAN, A GREAT MODERN INDONESIAN PAINTER'


Namun, sampai 30 tahun setelah kematian, bahkan sampai dunia seni internasional membukukan karya Hendra senilai Rp 5 miliar selembarnya, pemerintah Indonesia tetap tidak memutihkan namanya.
"Saya masih ingat, Bapak dijemput tentara di Ciparay pada Desember 1965." Itulah tutur Karmini, istri pelukis Hendra Gunawan. Sejak itulah Hendra dimasukkan ke sel tapol (tahan an politik) Kebon Waru, Bandung, tanpa pengadilan sama sekali. 
Dan sejak itu pula, namanya masuk lembaran hitam sejarah Indonesia. Ia dituduh sebagai seniman pencedera bangsa lantaran dalam hidupnya pernah sangat bersahabat dengan para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi onderbouw PKI (Partai Komunis Indonesia). 

Kudeta G30S (Gerakan 30 September) yang syahdan didalangi PKI telah menyeret Hendra ke dalam kehidupan yang membingungkan. Pemerintah Orde Baru menuduh Hendra sebagai penyebar paham Marxisme dan Leninisme lewat seni rupa, sehingga perlu dibenamkan ke dasar bumi. Sedangkan Hendra berkali-kali menunjukkan bukti bahwa ia sesungguhnya tidak memberangkatkan karyanya dari basis politik. Namun penistaan tetap berjalan, sehingga seniman kelahiran Bandung, 11 Juni 1918, ini tetap dikurung sampai 1978.

Apa yang diucapkan Hendra akhirnya diakui oleh berbagai pihak. Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Luar Negeri, menyebut bahwa Hendra adalah seorang humanis, bukan komunis. 
“Ia ditangkap semata-mata karena sahabat Bung Karno. Hendra memang sering diundang koffie uurtje (minum teh pagi hari, adt) oleh Bung Karno di istana presiden. Ia hanyalah seniman yang diseret-seret ke politik,” tuturnya dalam pidato pembukaan pameran pelukis Nuraeni, istri kedua Hendra, di Mitra Budaya, Jakarta, 1990.
Jauh hari sebelumnya, semasa Hendra masih dalam penjara, Mashudi, jenderal yang jadi Gubernur Jawa Barat, telah menjelaskan kepada para aparat agar Hendra selalu “dipelihara”, karena ia “bukan siapa-siapa”. 
Namun aparat pemburu tapol tampak tidak peduli. Dengan demikian, menjelang 1975, Hendra nyaris dibuang jauh ke Pulau Buru. 

Untung Aloysius Sugianto segera menghalangi upaya sembarangan itu. Aloysius bertindak atas instruksi diam-diam Jenderal Ali Moertopo, yang mengatakan bahwa keberadaan Hendra di Kebon Waru hanyalah untuk penyelamatan dari tindakan liar segelintir para pemburu tapol. Artinya, bukan untuk penghukuman. Hal yang sama dilakukan oleh Muluk Lubis, atas pesan dari M. Jusuf, jenderal yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. 

Seniman revolusi 

Pemosisian Hendra Gunawan sebagai pelukis “total kiri” juga dirasakan muskil oleh sahabat-sahabatnya yang seprofesi, bahkan yang berada di pihak “kiri-kanan”. Abas Alibasyah, pelukis yang pernah jadi Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “Asri” Yogyakarta, mengatakan bahwa Hendra dicap kiri hanya lantaran mendirikan dan memimpin sanggar Pelukis Rakyat sejak 1948. 

Ia mengatakan bahwa, pasca-1965, segala yang beraroma rakyat memang langsung dianggap komunis. Dan siapa pun yang “komunis” pasti dikubur, meski kontribusinya terhadap bangsa dan negara bukan main banyaknya, seperti Hendra.

Hendra memang bukan seniman biasa. Di samping melukis, mendidik, serta memikirkan prospek kebudayaan, ia adalah pejuang revolusi yang tak pernah kendur. 
Pada 1940-an, bersama Sudjana Kerton, Abedy, dan lain-lain, ia mendirikan Pelukis Front, yang misinya terang-terangan melawan pendudukan pasukan kolonial. 
Dengan pensil, kuas, dan senjata di tangan, Hendra mengintai dan menghadang musuh. Lokasi-lokasi yang mereka tuju adalah sekitar Bekasi, Karawang, Bogor, Tasikmalaya, sampai Jakarta. Dari situ, ia lantas bergabung dalam Tentara Pelajar.

Ketika Belanda tergusur dan Jepang menguasai Indonesia pada 1942, Hendra aktif dalam Poetra (Poesat Tenaga Rakyat), yang dipimpin Empat Serangkai, Ir Sukarno, Mohamad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Dalam organisasi ini, ia tak cuma siap bertempur, namun juga membuat poster-poster persiapan kemerdekaan yang ditempel sendiri di berbagai sudut Bandung. Isinya adalah seruan untuk mengusir Jepang. Ketika Poetra dibubarkan Jepang dan diganti Jawa Hokokai, Hendra tak mengurangi aktivitasnya.

Pada bulan-bulan setelah kemerdekaan, ia banyak membuat poster yang isinya mewaspadai gerak-gerik NICA. Poster-poster itu sebagian merupakan transformasi konsep yang didapat dari Angkatan Pemuda Indonesia, yang berkedudukan di Jalan Menteng 31, Jakarta. Juga dari Adam Malik dan Chairul Saleh.

Patriotisme Hendra mengundang minat Bung Karno, sang presiden, untuk mensponsori dalam pameran tunggal. Pameran itu digelar pada 1946 di gedung Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat, jalan Malioboro. Di sini sebuah drama terjadi pada saat peresmian pameran. Bung Karno disambut serombongan kere (tunawisma). Beberapa saat Presiden tertegun, untuk kemudian takjub dan terharu atas ulah Hendra yang betul-betul pro-rakyat itu. Sejak itulah Bung Karno dan Hendra bersahabat. Siapa pun tak menyangka, persahabatan itu pula yang kelak menghadirkan sejarah kehidupannya yang ganjil.

Hendra dibebaskan dari penjara pada 1978. Untuk mencari ketenteraman, pada 1980 ia pindah ke Ubud, Bali. Pada 17 Juli 1983, ia meninggal karena berbagai penyakit yang dibawanya dari penjara. Pada saat kematiannya, kembali terbukti betapa sesungguhnya Hendra adalah pelukis humanis non-politik yang sangat banyak memiliki sahabat.  

Dokter Murdowo, yang selama beberapa tahun mengurus kesehatan Hendra tanpa biaya, memulangkan jenazah Hendra ke Bandung. Setelah disembahyangi secara Hindu oleh warga setempat, jenazah diberangkatkan dengan mobil ambulans milik Koperasi Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Perjalanan jauh ditempuh, sehingga pengemudi ambulans perlu istirahat di Yogyakarta. Maka, jenazah Hendra secara spontan disemayamkan dulu di rumah pelukis dan koreografer Bagong Kussudiardja, di Jalan Singosaren Kidul, Yogyakarta. 

Di kediaman Bagong, jenazah Hendra kembali diselubungi doa-doa. Keluarga Bagong mengupacarainya secara Kristen. Puluhan pelayat, di antaranya pelukis Affandi, Sapto Hudojo, Amri Yahya, dan Djajeng Asmoro, menghantarnya secara Islam. Beberapa pelukis keturunan Tionghoa memetikkan doa secara Buddha. 
Jenazah Hendra akhirnya sampai di Bandung, untuk kemudian diberangkatkan ke Purwakarta menuju pekuburan Muslimin, di Gang Pekuburan, Jalan Ahmad Yani. 

Pada Selasa, 19 Juli 1983, itu Kiai Haji E.Z. Muttaqien menghantar jasad Hendra ke liang kubur dengan khidmat. Setelah pemakaman, Ketua Majelis Ulama Jawa Barat itu berkata bahwa Hendra adalah seorang nasionalis yang tidak ada alasan untuk dilukai stigma politik. Namanya harus dianggap bersih, sebersih kain kafan yang mengantarnya ke alam baka. 

Namun, sampai 30 tahun setelah kematiannya, bahkan sampai dunia seni internasional membukukan karya Hendra senilai Rp 5 miliar selembarnya, pemerintah Indonesia tetap tidak memutihkan namanya.  

Sumber: Tempo.Co 

0 komentar:

Posting Komentar