MELETUSNYA perang dunia dua membawa
pengaruh besar bagi pergerakan kaum komunis di Indonesia. Sejak
dihidupkan kembali tahun 1935 oleh Musso, Partai Komunis Indonesia (PKI)
bergerak di bawah tanah dan bekerja sama dengan Belanda dan
kekuatan-kekuatan antifasis melawan militerisme Jepang.
Bahkan setelah negeri-negeri fasis Jerman, Italia dan Jepang ambruk, PKI masih menjalin kerja sama dengan kekuatan-kekuatan antifasis. Ini merupakan kesalahan besar PKI sejak tiga tahun Indonesia merdeka. Apalagi sesudah itu kaum borjuis mulai menggunakan cara-cara untuk menindas gerakan kemerdekaan di negeri jajahannya.
Kesalahan mendasar akibat tidak mengertinya politik internasional dan dalam negeri, terutama negeri jajahan, juga dilakukan oleh partai-partai komunis Perancis, Inggris, dan Belanda, di Eropa Barat.
Akibat diterapkannya politik reformis itu, revolusi nasional Indonesia mengalami kemunduran. Terlebih, sejak bergerak di bawah tanah, banyak berdiri kelompok-kelompok komunis palsu dan renegat (pengkhianat) yang bekerja sama dengan Jepang.
Kemunduran itu, telah memberi kesempatan bagi kaum sosialis kanan (Sutan Syahrir) untuk bersikap reformis dengan semboyan "bukan kemenangan militer yang dimaksudkan, melainkan kemenangan politik" atau bukan perjuangan dengan senjata yang diutamakan, melainkan perjuangan politik.
Sebagai konsekuensi logis dari politik itu adalah penandatanganan truce agreement 1946 dan persetujuan Linggarjati yang memungkinkan imperialisme Belanda menyiapkan perang kolonial yang meletus pada 21 Juli 1947.
Tidak cukup di situ, persetujuan Renville ditandatangani. Persetujuan ini merupakan puncak kesalahan yang membawa republik pada tepi jurang kolonialisme. Lebih buruk, kesalahan-kesalahan itu didukung kaum komunis.
Kebodohan PKI berlanjut. Perdana Menteri Amir Syarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan dengan tidak ada perlawanan sama sekali. Kaum Komunis pada waktu itu tidak ingat akan pelajaran Lenin: "Soal pokok daripada tiap revolusi adalah soal kekuasaan negara".
Dengan bubarnya kabinet Amir Syarifuddin, terbukalah jalan bagi elemen-elemen borjuis komprador untuk memegang pimpinan pemerintahan. Sedangkan kaum Komunis mengisolasi dirinya dalam oposisi. Dapat dikatakan, bahwa saat itulah revolusi nasional berada dalam bahaya.
Saat kekuasaan tidak dipegang oleh kaum komunis, pimpinan negara dipegang oleh elemen-elemen borjuis komprador. Hal ini diikuti dengan tumbuhnya politik reaksioner yang terus tumbuh ketingkatan kontra-revolusioner.
Koreksi atas semua kesalahan dalam lapangan politik ini, diterangkan Musso dengan singkat dan padat dalam "Jalan Baru" untuk Republik Indonesia yang kemudian dijadikan "kitab" bagi kaum komunis untuk menjalankan revolusi nasional.
Setelah menerima koreksi itu, maka dilakukanlah perbaikan-perbaikan organisasi dan penentuan sikap politik komunis ke arah yang seharusnya. Hal itu dimulai dengan menjilat ludah sendiri dengan ditolaknya persetujuan Linggarjati dan Renville untuk mencapai kemerdekaan 100 persen.
Dengan disetujuinya "Jalan Baru" Musso, maka semua upaya pemerintah untuk memberikan konsesi kepada imperialisme, karena hal itu berarti menyerahkan republik ke dalam tangan imperialisme, harus dicegah, ditolak dan digagalkan.
Tidak hanya itu, PKI juga mulai menyatukan semua partai-partai Marxisme-Leninisme yang masih terpecah menjadi satu dengan PKI. Dengan begitu, partai-partai berhaluan komunis seperti Partai Sosialis dan PBI dibubarkan. Sedangkan anggotanya setelah disaring meleburkan diri dalam PKI.
Setelah di lapangan organisasi dan politik beres, dilakukannya persatuan dengan anggota-anggota partai dan organisasi-organisasi lain untuk membentuk front nasional. Kekuatan segenap golongan ini juga harus memiliki semangat antiimperialis dan keyakinan yang kuat bahwa dengan tidak adanya front nasional kemenangan tidak akan datang.
Untuk lebih memantapkan pemahaman ideologi, kaum komunis juga diwajibkan mempelajari kembali Marxisme-Leninisme. Hal ini membuktikan analisa mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Soe Hok Gie yang menyatakan, banyak sekali anggota PKI yang tidak mengerti ajaran Marxisme-Leninisme.
Kebanyakan anggota PKI dan sayap-sayapnya, bergabung dengan PKI bukan dilandasi oleh keyakinan ideologis mereka yang kuat. Tetapi atas dasar kepentingan yang sama. Atas dasar itulah, pendidikan Marxisme-Leninisme kembali digalakkan.
Menurut Musso, Partai Komunis yang benar-benar berdasarkan pelajaran-pelajaran Marx, Engels, Lenin, dan Stalin, tidak akan mudah jatuh dalam kebingungan bagaimanapun sulitnya keadaan dan suasana politik yang terjadi. Karena dengan Marxisme-Leninisme, kaum komunis mendapat jalan yang tepat untuk mengatasinya.
Berhubung dengan itu, tiap komunis diwajidkan membaca dan mempelajari secara sistematis teori revolusioner dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan kaum tani agar dapat menghubungkan teori dan praktik dengan tepat.
Buku tipis itu ditutup dengan mengutip pernyataan Stalin, bahwa tidak ada satu benteng pun juga yang tidak dapat direbut oleh kaum Bolshevik. Maka itu, yakinlah bahwa kaum Bolshevik Indonesia akan dapat merebut benteng yang terancam bahaya di hadapan mereka, yaitu benteng Indonesia merdeka.
Bahkan setelah negeri-negeri fasis Jerman, Italia dan Jepang ambruk, PKI masih menjalin kerja sama dengan kekuatan-kekuatan antifasis. Ini merupakan kesalahan besar PKI sejak tiga tahun Indonesia merdeka. Apalagi sesudah itu kaum borjuis mulai menggunakan cara-cara untuk menindas gerakan kemerdekaan di negeri jajahannya.
Kesalahan mendasar akibat tidak mengertinya politik internasional dan dalam negeri, terutama negeri jajahan, juga dilakukan oleh partai-partai komunis Perancis, Inggris, dan Belanda, di Eropa Barat.
Akibat diterapkannya politik reformis itu, revolusi nasional Indonesia mengalami kemunduran. Terlebih, sejak bergerak di bawah tanah, banyak berdiri kelompok-kelompok komunis palsu dan renegat (pengkhianat) yang bekerja sama dengan Jepang.
Kemunduran itu, telah memberi kesempatan bagi kaum sosialis kanan (Sutan Syahrir) untuk bersikap reformis dengan semboyan "bukan kemenangan militer yang dimaksudkan, melainkan kemenangan politik" atau bukan perjuangan dengan senjata yang diutamakan, melainkan perjuangan politik.
Sebagai konsekuensi logis dari politik itu adalah penandatanganan truce agreement 1946 dan persetujuan Linggarjati yang memungkinkan imperialisme Belanda menyiapkan perang kolonial yang meletus pada 21 Juli 1947.
Tidak cukup di situ, persetujuan Renville ditandatangani. Persetujuan ini merupakan puncak kesalahan yang membawa republik pada tepi jurang kolonialisme. Lebih buruk, kesalahan-kesalahan itu didukung kaum komunis.
Kebodohan PKI berlanjut. Perdana Menteri Amir Syarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan dengan tidak ada perlawanan sama sekali. Kaum Komunis pada waktu itu tidak ingat akan pelajaran Lenin: "Soal pokok daripada tiap revolusi adalah soal kekuasaan negara".
Dengan bubarnya kabinet Amir Syarifuddin, terbukalah jalan bagi elemen-elemen borjuis komprador untuk memegang pimpinan pemerintahan. Sedangkan kaum Komunis mengisolasi dirinya dalam oposisi. Dapat dikatakan, bahwa saat itulah revolusi nasional berada dalam bahaya.
Saat kekuasaan tidak dipegang oleh kaum komunis, pimpinan negara dipegang oleh elemen-elemen borjuis komprador. Hal ini diikuti dengan tumbuhnya politik reaksioner yang terus tumbuh ketingkatan kontra-revolusioner.
Koreksi atas semua kesalahan dalam lapangan politik ini, diterangkan Musso dengan singkat dan padat dalam "Jalan Baru" untuk Republik Indonesia yang kemudian dijadikan "kitab" bagi kaum komunis untuk menjalankan revolusi nasional.
Setelah menerima koreksi itu, maka dilakukanlah perbaikan-perbaikan organisasi dan penentuan sikap politik komunis ke arah yang seharusnya. Hal itu dimulai dengan menjilat ludah sendiri dengan ditolaknya persetujuan Linggarjati dan Renville untuk mencapai kemerdekaan 100 persen.
Dengan disetujuinya "Jalan Baru" Musso, maka semua upaya pemerintah untuk memberikan konsesi kepada imperialisme, karena hal itu berarti menyerahkan republik ke dalam tangan imperialisme, harus dicegah, ditolak dan digagalkan.
Tidak hanya itu, PKI juga mulai menyatukan semua partai-partai Marxisme-Leninisme yang masih terpecah menjadi satu dengan PKI. Dengan begitu, partai-partai berhaluan komunis seperti Partai Sosialis dan PBI dibubarkan. Sedangkan anggotanya setelah disaring meleburkan diri dalam PKI.
Setelah di lapangan organisasi dan politik beres, dilakukannya persatuan dengan anggota-anggota partai dan organisasi-organisasi lain untuk membentuk front nasional. Kekuatan segenap golongan ini juga harus memiliki semangat antiimperialis dan keyakinan yang kuat bahwa dengan tidak adanya front nasional kemenangan tidak akan datang.
Untuk lebih memantapkan pemahaman ideologi, kaum komunis juga diwajibkan mempelajari kembali Marxisme-Leninisme. Hal ini membuktikan analisa mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Soe Hok Gie yang menyatakan, banyak sekali anggota PKI yang tidak mengerti ajaran Marxisme-Leninisme.
Kebanyakan anggota PKI dan sayap-sayapnya, bergabung dengan PKI bukan dilandasi oleh keyakinan ideologis mereka yang kuat. Tetapi atas dasar kepentingan yang sama. Atas dasar itulah, pendidikan Marxisme-Leninisme kembali digalakkan.
Menurut Musso, Partai Komunis yang benar-benar berdasarkan pelajaran-pelajaran Marx, Engels, Lenin, dan Stalin, tidak akan mudah jatuh dalam kebingungan bagaimanapun sulitnya keadaan dan suasana politik yang terjadi. Karena dengan Marxisme-Leninisme, kaum komunis mendapat jalan yang tepat untuk mengatasinya.
Berhubung dengan itu, tiap komunis diwajidkan membaca dan mempelajari secara sistematis teori revolusioner dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan kaum tani agar dapat menghubungkan teori dan praktik dengan tepat.
Buku tipis itu ditutup dengan mengutip pernyataan Stalin, bahwa tidak ada satu benteng pun juga yang tidak dapat direbut oleh kaum Bolshevik. Maka itu, yakinlah bahwa kaum Bolshevik Indonesia akan dapat merebut benteng yang terancam bahaya di hadapan mereka, yaitu benteng Indonesia merdeka.
(san)
0 komentar:
Posting Komentar