BLITAR - Walau separuh tubuhnya
lumpuh akibat penyakit stroke, namun ingatan Ny Putmainah wanita renta
yang berumur 86 ini belum seluruhnya menguap.
Wanita uzur ini masih bisa mengingat peristiwa jauh sebelum meledaknya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Dia mengenang secara politik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nahdlatul Ulama (NU) tidak pernah berhadapan sebagai lawan. Bahkan cenderung mesra.
Setidaknya, kata dia, di gedung DPRGR Kabupaten Blitar, diera tahun 60an, Putmainah yang mewakili Fraksi PKI jarang berbeda pendapat dengan almarhum Kayubi anggota DPRGR dari Fraksi Nahdlatul Ulama.
"Kami kerap boncengan bersama kalau mengantor (gedung DPRGR). Setiap memanggil saya, Pak Kayubi selalu menyebut mbak yu, " tuturnya saat ditemui di rumahnya Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.
Kayubi adalah pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser), bagian dari sayap (badan otonom) NU. Tidak banyak yang tahu, bahwa di tempat masa kecil founding father Soekarno, pertama kali Banser didirikan dan menasional.
Dan sedikit yang tahu di daerah Kabupaten Ponorogo, jasad almarhum Kayubi dikebumikan. Sementara Putmainah adalah Ketua Gerwani, ounderbow PKI di Kabupaten Blitar.
Setiap musyawarah untuk membahas program kerja di gedung bekas markas Pemuda sosialis Indonesia (Pesindo) itu, PKI dan NU, kata Putmainah, hampir selalu menemukan suara bulat.
Duduk di kursi tua sambil menahan sebelah lengan yang sudah dua tahun mati rasa, Putmainah mengurai cerita.
Sekedar membuka lembar sejarah. PKI di DPRGR Kabupaten Blitar memiliki dukungan suara rakyat terbesar setelah PNI. Organisasi sayapnya, seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, SOBSI, BTI, Lekra dan Pemuda Rakyat maju pesat.
Sementara perolehan Masyumi dan NU masih jauh di bawahnya. Tidak heran, sebelum peristiwa 30 September 1965 meletus, Ketua Umum PKI Dipa Nusantara Aidit pernah turba ke Blitar untuk memantapkan kader-kader pelopor partai.
"Orang-orang NU itu baik-baik. Bisa menerima perbedaan," tuturnya mengenang.
Mungkin karena dia putri tokoh Serikat Islam Merah (SI Merah) almarhum Mansyur, juga cucu KH Abdurrahman, sisa laskar Diponegoro yang bergaris keturunan langsung dengan Sunan Tembayat Jawa Tengah, Putmainah menganggap komunikasi dengan orang orang NU bisa berjalan mudah.
Selain dengan Kayubi, perempuan yang sepuluh tahun merasakan pahitnya penjara Plantungan Semarang itu, mengaku juga menjalin komunikasi yang baik dengan anggota Fraksi NU yang lain.
"Meski PKI, saya berasal dari keluarga yang Islami. Selain dengan Kayubi, saya juga ingat orang fraksi NU lain namanya Siti Fatimah. Orangnya juga baik, " paparnya.
Diluar ideologi materialisme historis dialektis, PKI-NU memang memiliki spirit yang kurang lebih sama dalam menolak segala bentuk penjajahan dan penindasan manusia.
Risalah politik berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme Bung Karno yang terbit di Suluh Indonesia Muda tahun 1926 menjadi salah satu inspirasinya.
Wanita ini mengaku Kode ET (Eks Tapol) di KTPnya memang sudah lama terhapus. Dia juga tidak lagi dikenakan wajib lapor ke Koramil.
Namun pandangan miring sejumlah warga terhadap orang-orang eks komunis masih bisa ia rasakan.
Artinya, dirinya juga belum tahu pasti apakah proyek rekonsiliasi tersebut sudah sepenuhnya bisa berjalan sesuai cita cita atau tidak.
Wanita uzur ini masih bisa mengingat peristiwa jauh sebelum meledaknya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Dia mengenang secara politik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nahdlatul Ulama (NU) tidak pernah berhadapan sebagai lawan. Bahkan cenderung mesra.
Setidaknya, kata dia, di gedung DPRGR Kabupaten Blitar, diera tahun 60an, Putmainah yang mewakili Fraksi PKI jarang berbeda pendapat dengan almarhum Kayubi anggota DPRGR dari Fraksi Nahdlatul Ulama.
"Kami kerap boncengan bersama kalau mengantor (gedung DPRGR). Setiap memanggil saya, Pak Kayubi selalu menyebut mbak yu, " tuturnya saat ditemui di rumahnya Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.
Kayubi adalah pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser), bagian dari sayap (badan otonom) NU. Tidak banyak yang tahu, bahwa di tempat masa kecil founding father Soekarno, pertama kali Banser didirikan dan menasional.
Dan sedikit yang tahu di daerah Kabupaten Ponorogo, jasad almarhum Kayubi dikebumikan. Sementara Putmainah adalah Ketua Gerwani, ounderbow PKI di Kabupaten Blitar.
Setiap musyawarah untuk membahas program kerja di gedung bekas markas Pemuda sosialis Indonesia (Pesindo) itu, PKI dan NU, kata Putmainah, hampir selalu menemukan suara bulat.
Duduk di kursi tua sambil menahan sebelah lengan yang sudah dua tahun mati rasa, Putmainah mengurai cerita.
Sekedar membuka lembar sejarah. PKI di DPRGR Kabupaten Blitar memiliki dukungan suara rakyat terbesar setelah PNI. Organisasi sayapnya, seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, SOBSI, BTI, Lekra dan Pemuda Rakyat maju pesat.
Sementara perolehan Masyumi dan NU masih jauh di bawahnya. Tidak heran, sebelum peristiwa 30 September 1965 meletus, Ketua Umum PKI Dipa Nusantara Aidit pernah turba ke Blitar untuk memantapkan kader-kader pelopor partai.
"Orang-orang NU itu baik-baik. Bisa menerima perbedaan," tuturnya mengenang.
Mungkin karena dia putri tokoh Serikat Islam Merah (SI Merah) almarhum Mansyur, juga cucu KH Abdurrahman, sisa laskar Diponegoro yang bergaris keturunan langsung dengan Sunan Tembayat Jawa Tengah, Putmainah menganggap komunikasi dengan orang orang NU bisa berjalan mudah.
Selain dengan Kayubi, perempuan yang sepuluh tahun merasakan pahitnya penjara Plantungan Semarang itu, mengaku juga menjalin komunikasi yang baik dengan anggota Fraksi NU yang lain.
"Meski PKI, saya berasal dari keluarga yang Islami. Selain dengan Kayubi, saya juga ingat orang fraksi NU lain namanya Siti Fatimah. Orangnya juga baik, " paparnya.
Diluar ideologi materialisme historis dialektis, PKI-NU memang memiliki spirit yang kurang lebih sama dalam menolak segala bentuk penjajahan dan penindasan manusia.
Risalah politik berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme Bung Karno yang terbit di Suluh Indonesia Muda tahun 1926 menjadi salah satu inspirasinya.
Wanita ini mengaku Kode ET (Eks Tapol) di KTPnya memang sudah lama terhapus. Dia juga tidak lagi dikenakan wajib lapor ke Koramil.
Namun pandangan miring sejumlah warga terhadap orang-orang eks komunis masih bisa ia rasakan.
Artinya, dirinya juga belum tahu pasti apakah proyek rekonsiliasi tersebut sudah sepenuhnya bisa berjalan sesuai cita cita atau tidak.
(sms)
0 komentar:
Posting Komentar