Kisah Perwira Kesayangan Soeharto | KORAN TEMPO
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah
perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis
Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya,
Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak
bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Keyakinan
Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri”
tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965
adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang
diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.
Memperingati
tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi
khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi
tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat
minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
***
Tempo
berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu
saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun.
Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota
Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia
tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri.
Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari
membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan
trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang
tua Suhardi.
“Dia
memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi.
Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus.
Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering
menginap di rumahnya.
Tinggi
Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal. “Potongannya
seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan
gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa.
Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum.
Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho.
“Saya yang mengantarkanUntung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan
yang ke arah Sriwedari.”
Setelah
Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang
markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah
Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis
Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat
gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Untung Samsuri (2)
Kisah Perwira Kesayangan Soeharto (2)
KORAN TEMPO
Clash
yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran
terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri
bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung kemudian
masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan
Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan
Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal Untung dan
Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan
Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui,
Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima
Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang.
Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di
Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan
perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan
Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad
mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung
terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu
Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal
dengan Banteng Raiders.
Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi
Mandala,
Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia
terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit
Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung
menunjukkan kelasnya.
Bersama
Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden
Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang
mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat itu,
hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
“Kedua
prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani
dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil
Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung
masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi
Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa.
Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu. Anggota Tjakrabirawa dipilih
melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang
merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
“Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi Batalion
Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa,” kata Suhardi. Sebab, menurut
Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak
anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948.
“Pasti
Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.” Di Tjakrabirawa, Untung menjabat
Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini
berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan
dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal
sosok Untung. Untung, menurut dia, sosok yang tidak mudah bergaul dan
pendiam.
Untung Samsuri [3]
Kisah Perwira Kesayangan Soeharto (3)
KORAN TEMPO
Suhardi
masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus.
Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali
waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat
Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
Menurut Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di
kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran
mengapa, misalnya, pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad
bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa terpencil di
Kebumen, Jawa Tengah.
“Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
“Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam
bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta
pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran
Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah
pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin
Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis
Soebandrio.
Hal
itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto
dan Untung,” katanya. Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal?
Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita
kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk
melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung
menyampaikan rencananya menangkap mereka.
“Bagus
kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,”
demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio. Bila
kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar
Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan
Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal
di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan
kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi
melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi
kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan
Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan
presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan
Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan
dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru
yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut
Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap
Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi
perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan
mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965
kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders
Diponegoro, Jawa Tengah.
Mereka
diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata
pada 5 Oktober. Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September
1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang
mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi.
Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile
tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Untung Samsuri (4)
Kisah Perwira Kesayangan Soeharto (4)
KORAN TEMPO
Pasukan
dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal
Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat
Monumen Nasional. Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui,
pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam
itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief,
seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha
menemui Soeharto.
Dalam
perjalanan pulang, Soeharto seperti diyakini Subandrio dalam bukunya,
sempat melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan
tenangnya melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh
para jenderal itu.
Adapun
Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965
masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi
masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00.
Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari
penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui
aktivitas Untung selanjutnya. Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan
dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi
perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak
buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Djahurup hendak
masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan
karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya
tegur dia.”
Pada
1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya heran,
dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia
langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah
Abang. Yang membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang biasanya
menghormat kepadanya tidak menghormat lagi.
“Saya
ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,”
kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang
semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada. Begitu tahu hari itu ada
kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung
ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak
oleh ibunya sendiri tersebut.
Teman
yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo
selalu pulang menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau Untung terlibat
karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya.
Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan
menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno.
“Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan
dijatuhkan kepada mereka,” jawab Untung.
Heru
Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang
namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam
Kamaruzzaman-lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan
itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja
bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung,
Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat
justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu,
sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya
tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau
operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo. Soeharto, kepada
Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and
Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal
dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa
persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta. “Itu
tak
masuk
akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia
merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang
gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.
Demikianlah
Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang
Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal
diselamatkan.
Untung Samsuri (5)
Kenangan Pernikahan Lelaki Kedung Bajul | KORAN TEMPO
Di
Kebumen, Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan
Soeharto dan Tien yang mendadak membuat tuan rumah kebingungan
menyambutnya.
Dusun
yang tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu
begitu panas menyengat ketika Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas
kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan
pedagang peci. Dulu, daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi
yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945-1950.
Orang-orang
Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam
yang taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu
merupakan tempat kelahiran Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman
masa kecil mengingatnya sebagai Kusmindar atau Kusman. Kus, begitu ia
biasa dipanggil.
Dari
percakapan dengan penduduk setempat, Tempo mendapat informasi Untung
tak punya darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet,
kakek Kusman, cuma tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya,
Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.
Meski
cuma buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai
sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri. “Ibunya pemain
wayang orang desa kami,” kata Sadali, 71 tahun, tetangga dekat Untung di
Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama
perempuan yang minggat, menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih
10 tahun, itu.
Sepeninggal
ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang
tak punya anak. Karena itu, “Dia lebih dikenal sebagai Untung bin
Samsuri,” kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah
Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III. Seperti kakaknya, Samsuri
buruh perajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan
pendidikan sang keponakan.
Suhardi,
teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa, bercerita, dari
sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di
Jayengan, Kartopuran, Solo. Barangkali karena Samsuri berada di
lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat Untung dimasukkan
ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat
sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada
1943, yakni ketika Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu ia terus
berkarier di militer.
Sejak
pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar
1957-1958, menurut Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa
kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata bulan ketika masih
berdinas di kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.
Untung Samsuri (6)
Kenangan Pernikahan Lelaki Kedung Bajul (2) | KORAN TEMPO
Bagi
Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji
hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan
menasihati. “Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu.”
Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga
pernikahannya dengan Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah
kepulangannya dari Irian Barat. “Pesta paling meriah waktu itu,” kata
Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.
Untung
menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan
Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. “Usia
Hartati jauh lebih muda dari Untung,” kata Siti Fatonah, kerabat Hartati
di Kebumen. Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar,
pemborong besar yang kaya dan terpandang. “Dia punya banyak kuli,” ujar
Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen adalah hasil karyanya.
Tak
aneh jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari
dibikin megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup
Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah
Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar
rumah Sukandar.
Menikah
dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. Setelah itu ia
mengenakan pakaian kebesaran militer. Tamunya kebanyakan petinggi
pemerintahan, pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto dan Tien
Soeharto pun datang. “Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah
sedikit kebingungan menyambut kedatangannya,” kata Syukur, yang sempat
dipenjara enam tahun karena dituduh terlibat G-30-S.
Di
antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang
diundang. Dikabari pun tidak. “Mungkin karena ia sudah menjadi orang
besar,” kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga
besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang. Setelah menikah,
Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang
masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan
Hartati, Untung mendapat seorang anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya,
Insinyur Anto.
Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil di Bandung.
Untung Samsuri (7)
Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel | KORAN TEMPO
Di
mata Sadali, teman masa kecilnya, Untung adalah seorang prajurit
cerdas. Sadali, yang sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan
karier karibnya itu. Untung, kata Sadali, memulai dinas militernya di
Heiho pada 1943. Setelah Jepang hengkang, Untung bergabung dengan
Tentara Nasional Indonesia. Kariernya mulai bersinar terang di kesatuan
Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di Gombel, dekat Semarang,
Jawa Tengah.
Pada
1961, pangkatnya sudah mayor. “Ada satu melati putih di pangkatnya.”
Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa
Tengah, amat mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada
1962. Bahkan, Sadali percaya, Untunglah arsitek di balik perebutan Irian
Barat dari tangan Belanda.
Dari
mulut Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak lazim. Setelah
diterjunkan di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di
kota-kota. Sebaliknya hutan-hutan dibuatnya benderang. “Belanda
tertipu,” kata Sadali. “Untung bersama pasukannya berhasil masuk ke
kota-kota.” Entah dengan cara apa Untung menerangi rimba Papua yang
ganas itu.
Prestasi
di Irian Barat membuat Untung menjadi salah satu penerima penghargaan
Bintang Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima
penghargaan lainnya adalah Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan
menjadi letnan kolonel. Dia pun secara khusus diminta Presiden Soekarno
menjadi anggota pasukan pengawal Tjakrabirawa.
Hingga
dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel.
Namun, bagi warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak
beberapa tingkat sekaligus. Dengan takzim mereka menyebutnya Jenderal
Untung. “Jenderal Untung dikenal karismatis,” Mashud Efendi, 69 tahun,
yang tinggal berdekatan dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa
Bojongsari Mohamad Asibun ikut menyebutnya Jenderal Untung. “Paling
tidak ada orang Kebumen yang berhasil membebaskan Irian Barat,” ujar
Asibun, 40 tahun.
Mereka
bukannya tak tahu soal keterlibatan Untung dalam penculikan para
jenderal Angkatan Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli. Syukur Hadi
Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung,
mengetahui keterlibatan Untung dalam peristiwa G-30-S melalui radio.
Massa yang marah sempat menjadikan rumah Sukendar sebagai sasaran.
“Sekitar
seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov,” kata
Syukur, yang kini 71 tahun. Beruntung rumah itu bisa diselamatkan
seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Kendati Syukur mendengar
Untung terlibat G-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah. “Dia hanya
alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto.” Sebaliknya, ia yakin
Untung orang yang jujur dan bertanggung jawab.
Dan,
seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang menjadi
pahlawan pembebasan Irian Barat. Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang
masih terhitung kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya warga
kebanggaan Kedung Bajul itu terlibat penculikan para jenderal. Pada
malam kejadian, kata dia, Untung nongkrong makan bakso di Hotel Des
Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin sekarang.
Yang
lebih unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih
hidup dan tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. “Ia menjadi
kasepuhan atau paranormal,” kata orang yang tak pernah bertemu dengan
Untung itu.
Untung Samsuri (8)
Sebuah Kunci dari Swedia | KORAN TEMPO
Letnan Kolonel Untung Samsuri diyakini ditanam Sjam Kamaruzzaman di Tjakrabirawa melalui Kapten Rochadi. Kapten itu eksil dan meninggal di Swedia.
30September
1965. Jam menunjuk pukul 7 malam di Istora Senayan, Jakarta. Tamu
besar, Presiden Soekarno, sudah datang untuk menutup Musyawarah Kaum
Teknisi Indonesia. Terasa benar Istora kian bungah.
Wakil
Komandan Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan tak ikut larut pada pesta
yang berlangsung hingga tengah malam itu. Ia makin waspada. Malam itu,
dialah yang bertanggung jawab menjaga keselamatan Presiden. Atasannya,
Brigadir Jenderal Moch. Saboer, sedang ke Bandung. Sekali lagi ia
memeriksa setiap jengkal gedung itu.
Lhakadalah…,
satu pintu yang mestinya tertutup dibiarkan ngeblong. Ia berteriak
kepada seorang anak buahnya. Tentara itu kekarnya setanding dengan dia,
namun lebih pendek. “Kenapa pintu itu terbuka?” Maulwi menghardik.
Yang
ditegur menjawab singkat, lalu menjalankan perintah Maulwi. Dialah
Letnan Kolonel Untung Samsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan
Tjakrabirawa.
Kepada
Tempo dua pekan lalu, Maulwi menceritakan kembali kisah ini. Inilah
pertemuan terakhirnya dengan Untung, sebelum peristiwa penculikan para
jenderal beberapa jam kemudian. Maulwi mengaku sempat heran atas
kelalaian Untung kala itu. “Dia itu tahu tugasnya apa. Saya heran,
kenapa malam itu dia bisa sangat ceroboh dan lalai begitu,” ujarnya.
Tapi
ia tak memperpanjang urusan tersebut. Ia tahu Untung sebenarnya dapat
diandalkan. Untung memang tentara bermutu kelas satu. Dalam Operasi
Mandala di Irian Jaya, ia menerima anugerah Bintang Sakti. Di medan
tempur itu, cuma ada satu orang lagi yang menerima penghargaan tertinggi
untuk tentara tersebut. Dia adalah L.B. Moerdani, yang juga pernah
digadang-gadang untuk menjadi Komandan Tjakra di awal berdirinya resimen
ini.
Tapi
Heru Atmodjo, mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, menduga
bergabungnya Untung dengan Tjakra tak semata karena prestasinya. “Ia
bagian dari strategi Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI,” ujarnya.
Heru—namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi—menyatakan
penaut Untung dan Sjam adalah Kapten Sujud Surachman Rochadi. “Sjam yang
memasukkan Untung ke Tjakrabirawa melalui Rochadi,” ujar Heru.
“Dia
itu agen yang disusupkan Sjam ke Tjakra.” Nama Rochadi juga disebut
anggota Provoost Tjakrabirawa, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi.
“Ke-PKI-an Rochadi dibina langsung oleh Sjam,” ujarnya.
Suhardi
mengatakan informasi soal Rochadi-Sjam didapatnya dari Kapten Soewarno,
komandan kompi lainnya di Batalion I Kawal Kehormatan. Soewarno mengaku
kepadanya bahwa ia bersama Rochadi sering bertandang ke mes tentara
Jalan Kemiri di bilangan Senen. “Di tempat itulah Sjam melakukan
pembinaan terhadap keduanya,” kata Suhardi.
Jelas
Rochadi orang penting PKI. Namun, menurut Heru, namanya tak pernah
disebut dalam berbagai cerita tentang Gerakan 30 September 1965, “Karena
pada 26 September ia berangkat ke Peking (sekarang Beijing) untuk
menghadiri peringatan Hari Nasional RRC.”
Untung Samsuri (9)
Sebuah Kunci dari Swedia (2) | KORAN TEMPO
“Ia
berangkat bersama Adam Malik dan tak kembali lagi ke Indonesia,”
katanya. “Posisinya di Tjakra waktu itu digantikan oleh Dul Arief, yang
memimpin operasi penculikan para jenderal.” Cerita ini membikin Maulwi
heran. Mengaku tak ingat ada anak buahnya yang bernama Rochadi, dia
mengatakan keikutsertaan seorang Tjakrabirawa dalam sebuah delegasi tak
lazim terjadi.
“Tjakra
hanya bertolak ke mancanegara jika Presiden berangkat ke luar negeri,”
ujarnya. Heru juga menggarisbawahi soal ini. Rochadi, yang cuma seorang
kapten, tak mungkin ikut delegasi itu jika bukan orang penting—resmi
maupun tak resmi.
Tempo
tak menemukan dokumen yang berkaitan dengan keberangkatan Rochadi kala
itu. Namun, soal ini sudah diverifikasi Heru. Dia bahkan telah menemukan
jejaknya di Swedia. Di sana ia sebagai eksil. Namanya sudah berganti
menjadi Rafiudin Umar. Heru bercerita, saat ia mengontak Rochadi lewat
telepon dan memanggil dengan nama aslinya, Rochadi langsung menutup
telepon itu.
Ahli
sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, juga
pernah mencari Rochadi di Swedia setelah ia mendengar kisah Heru. Gagal.
Dari para eksil Indonesia di negeri itu diperoleh keterangan bahwa
Rochadi tak pernah bergaul dengan orang-orang yang diasingkan pemerintah
Orde Baru.
“Orangnya
disebut-sebut agak misterius. Dia juga tak pernah bercerita alasan
sampai ia melarikan diri ke Eropa,” ujar Asvi. Jejak Rochadi dibaca Asvi
dalam sebuah otobiografi di perpustakaan Institut Sejarah Sosial
Indonesia yang diperoleh sejarawan asal Universitas Columbia, John
Roosa, saat menulis buku tentang G-30-S/PKI. Dalam riwayat hidup setebal
31 halaman bertahun 1995 itu, tertulis Rochadi lahir pada 1927 dari
pasangan Umar dan Kartini. Pada usia 17 tahun, ia masuk Heiho.
Di
masa-masa awal kemerdekaan, ia bergabung dengan pasukan Divisi
IV/Panembahan Senopati. Menjelang peristiwa Madiun 1948, divisinya
sempat bentrok dengan Divisi Siliwangi, yang dikirim pemerintah untuk
meredam gerakan Musso dan Amir Sjarifuddin.
Mengacu
pada catatan itu, Rochadi tampaknya sejak awal sudah “kekiri-kirian”
dan bersimpati pada gerakan Amir Sjarifuddin. Bagi Rochadi, peristiwa
itu bukan pemberontakan PKI, melainkan provokasi dari pemerintah pusat
yang disokong oleh Blok Amerika Serikat untuk memberangus PKI.
Dalam
catatan itu, Rochadi tak menulis nama kesatuannya di Panembahan. Namun,
menurut Heru, dia berada di Batalion Mayor Sudigdo. “Di sanalah awal
pertautan Rochadi dan Untung,” kata dia. Rochadi berhasil lolos dari
pembersihan PKI di tubuh Batalion Sudigdo, yang dilakukan Gatot Subroto,
karena Belanda keburu melakukan agresi yang kedua.
Seusai
agresi itu, dia ikut operasi penumpasan gerakan separatis Republik
Maluku Selatan pada akhir 1950. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi
komandan kompi Cadangan Umum (sejak 1963 namanya menjadi Kostrad)
Resimen 15, yang kemudian digabungkan dalam Batalion Raiders 430 di
bawah Komando Daerah Militer VII Diponegoro.
Pada
Februari 1963, setahun setelah Tjakrabirawa berdiri, kompinya diboyong
ke Jakarta untuk bergabung dalam Resimen Tjakrabirawa. Menurut buku
Himpunan Peraturan-peraturan Resimen Tjakrabirawa, Rochadi diangkat
sebagai salah satu komandan kompi Batalion I Kawal Kehormatan pada 3
April tahun itu. Pangkatnya letnan satu. Salah satu bawahan langsungnya
adalah Boengkoes, yang pada penculikan para jenderal menembak mati
Mayjen M.T. Harjono.
Untung Samsuri (10)
Sebuah Kunci dari Swedia (3) | KORAN TEMPO
Otobiografi Rochadi berhenti pada 1964. Setelah tahun itu, jejaknya di Tjakra tak jelas. “Ia meninggal empat tahun lalu di Swedia. Sayang, pada periode itu, ia disebut-sebut tengah memainkan peran penting karena ikut menentukan seleksi anggota Tjakra, termasuk memasukkan Untung,” ujar Asvi.
Tempo
mencoba mendapatkan cerita dari putranya, yang kini tinggal di Swedia.
Soalnya, menilik bagian pembukaan otobiografi itu, Rochadi menujukkannya
bagi anaknya. Sayangnya, hingga tulisan ini diterbitkan, putranya tak
bisa dihubungi. Namun, dari cerita yang didapatkan Asvi dari komunitas
eksil di Swedia, putra Rochadi juga tak tahu banyak tentang kehidupan
ayahnya.
“Jadi
peran Kapten Rochadi ini masih samar-samar,” ujar Asvi. “Sungguhpun
begitu, kemunculan namanya itu bagus karena berarti ada banyak hal yang
masih bisa diungkap dari peristiwa 30 September.” Dari Maulwi—yang tak
menampik kemungkinan Tjakra disusupi tentara kiri atau tentara yang
sudah dipengaruhi Sjam—ada versi lain soal kedatangan Untung ke Tjakra.
Dia mengatakan Tjakra tak ikut menentukan seleksi anggotanya.
“Semua
keputusan seleksi anggota Tjakra ada di angkatan masing-masing. Jadi
kami terima bersih,” katanya. Maka Maulwi melihat, yang paling berperan
atas masuknya Untung ke Tjakrabirawa adalah para perwira tinggi di
Angkatan Darat. Keputusan mengangkat Untung sebagai komandan batalion,
ujarnya, diambil pada sebuah rapat di Markas Besar Angkatan Darat.
“Untung lolos dari sana karena ia kesayangan (Ahmad) Yani dan Soeharto.
Yani, Soeharto, dan Untung juga berasal dari Kodam Diponegoro.”
Tapi
Maulwi menduga kuat Soehartolah yang paling berperan merekomendasikan
Untung masuk Tjakrabirawa. Pasalnya, Batalion Raiders berada di bawah
kendali Kostrad. Apalagi Untung dan Soeharto—yang sudah saling kenal
jauh sebelum Operasi Mandala—memang dekat.
“Terbukti,
saat Untung menikah di Kebumen, Jawa Tengah, Soeharto dan istrinya naik
jip dari Jakarta ke Kebumen untuk menghadiri resepsinya,” ujar dia. Ada
kisah dari Boengkoes, yang mendukung cerita Maulwi tentang peran
Soeharto. Boengkoes mengatakan, ketika mengikuti seleksi Tjakra, dia
sudah mengaku menderita wasir dan disentri sehingga langsung
meninggalkan rumah sakit militer di Semarang. Eh, besoknya dia diberi
tahu bahwa dia sehat dan lulus.
Kala
itu, kata Boengkoes, ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga
lolos seleksi. “Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup
untuk membentuk satu kompi,” ujar Boengkoes.
Mana
yang benar? Wallahualam. Tapi, menurut Asvi, menyusupkan orang ke
Tjakrabirawa adalah bagian penting dari strategi. “Karena gerakan
dijalankan dengan alasan menyelamatkan presiden, yang paling cocok
menjalankannya adalah pasukan pengawal presiden.”
Untung Samsuri (11)
Yang Terbaik Lalu Terbalik | KORAN TEMPO
Idul
Adha, Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput
Istana Presiden. Ia di saf terdepan. Tiba-tiba seorang pria di saf
keempat berdiri menghunus pistol. Ia membidik Presiden. Tar! Tembakannya
luput. Peluru mengoyak dada KH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong
itu meninggal setahun kemudian.
Sudah
berkali-kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah digranat, dibidik
pesawat MIG, tapi insiden Hari Raya Kurban inilah yang tergawat.
Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongan di halaman Istana, yang
dijaganya 24 jam. Karena itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal
Abdul Haris Nasution memanggil Letnan Kolonel Moch. Saboer, ajudan
Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan pengawal presiden.
Sebenarnya itu bukan gagasan baru, tapi selalu ditolak Soekarno.
Namun,
kali ini Nasution berhasil meyakinkan Soekarno bahwa keberadaan pasukan
itu lazim di semua negara. Karena tak ada waktu untuk menyeleksi
personel kesatuan baru itu, Nasution memerintahkan setiap angkatan
menyetorkan pasukan khususnya. Masing-masing satu batalion. Kepolisian
menyumbangkan Mobrig (Brimob), Angkatan Laut memberikan Korps Komando
(KKO), dan Angkatan Udara menyetor Pasukan Gerak Tjepat.
Angkatan
Darat seharusnya mengirimkan Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD). L.B. Moerdani—waktu itu masih berpangkat mayor RPKAD—sudah
digadang-gadang sebagai komandan di kesatuan itu. Namun, pasukan elite
ini menolak tugas tersebut dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai
pasukan tempur. Sebagai gantinya, mereka memberikan pasukan Kostrad
(waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Dua kompi di
antaranya dari Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang dikenal dengan
sebutan Batalion Raiders atau Banteng Raiders.
Batalion
ini sebenarnya punya catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya
berasal dari Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun
pada 1948. Ketika pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat
dibersihkan dari unsur PKI. Namun, sebelum rampung, Belanda melancarkan
agresi militer kedua.
Tapi
soal itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer
dalam operasi PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi
Jenderal Ahmad Yani, yang dekat dengan Soekarno, dulu dari batalion ini.
Pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu.
Ia memberi nama Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara Kresna dalam
lakon wayang kegemarannya. Ia pulalah yang memilihkan seragamnya: baju
warna cokelat tua dengan baret merah gelap.
Setahun
kemudian, pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba
canggih. Maklum, pasukan ini mendapat anggaran langsung dari pemerintah
pusat, bukan dari kantong ABRI. Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel
Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan, melakukan makar.
Kisah Tjakrabirawa setelah itu cuma berisi tragedi.
Untung Samsuri (12)
Yang Terbaik Lalu Terbalik (2) | KORAN TEMPO
Sebenarnya
cuma dua kompi Tjakra yang jahat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra,
Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Pagi 1 Oktober 1965, ujar Suhardi
kepada Tempo, ia—saat itu kapten—menemukan, di markasnya di Wisma Kala
Hitam hanya ada kompi Jawa Barat dan Jawa Timur. “Harusnya ada empat.
Kompi Raiders dari Jawa Tengah dua-duanya tidak ada.”
Belakangan,
sebagian anggota kompi itu tertangkap di Cirebon. Rupanya, setelah aksi
makarnya gagal, mereka melakukan long march ke pangkalannya di Srondol,
Semarang, di bawah pimpinan Dul Arief. Sial, di Kota Udang, pasukan ini
kehabisan ransum. Berdasarkan pemeriksaan di Cirebon oleh Mayor
Soetardjo, diketahui bahwa yang terlibat gerakan Untung hanya 86 orang.
Tapi
ada versi lain. Menurut Antonie Dake dalam bukunya, Soekarno File, ada
banyak Tjakra terlibat. Mereka bahkan sudah menyiapkan kedatangan
Soekarno ke Halim sehari sebelum 30 September. Ini dibantah Kolonel
Maulwi Saelan. Menurut Maulwi, langkah mengungsikan Soekarno ke Halim
diambil semata-mata agar dia dekat dengan pesawat kepresidenan Jet Star,
yang mangkal di sana.
Tudingan
terhadap Tjakra juga dilontarkan pengamat politik militer Australia,
Ulf Sundhaussen. Dia mengatakan, pada 3 Oktober Saelan memimpin
Tjakrabirawa pergi ke Lubang Buaya untuk menghilangkan jejak penculikan
atas perintah Soekarno.
“Itu
kebohongan yang menjijikkan,” ujar Maulwi. “Seperti laporan Soetardjo,
yang terlibat hanya 86 orang.” Ia memang ke Lubang Buaya bersama
pasukannya. Tapi ini berkat informasi dari agen polisi Sukitman, yang
terculik bersama para jenderal dan kemudian ditemukan oleh pasukannya.
Ketika memeriksa lokasi yang disebut Sukitman—yang sudah mereka serahkan
ke Kostrad—pasukannya menemukan sumur tempat para jenderal itu dibuang.
Gara-gara
aksi Untung, resimen ini bahkan coreng-moreng oleh perbuatan yang tidak
mereka lakukan. Pada 1996, misalnya, Tjakra dituduh menembak mahasiswa
Universitas Indonesia, Arief Rahman Hakim. Maulwi, dalam bukunya,
Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, menulis, penembaknya sebetulnya
anggota Pom Dam V yang jadi patroli garnisun.
Riwayat
resimen ini tamat pada 22 Maret 1966. “Tugas kalian sudah selesai,”
kata Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean kepada para
petinggi resimen ini di Markas Angkatan Darat. Ia meminta anggota
Tjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putra terbaik angkatan),
kembali ke kesatuannya. Enam hari setelahnya, Saboer menyerahkan
pengawalan presiden kepada Polisi Militer Angkatan Darat. Namun, kisah
Tjakra masih berlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilang tak
berbekas. Anggota kompinya dijebloskan ke rumah tahanan militer.
Memang
banyak anggota Tjakra yang tak dipenjara dan dipulangkan ke kesatuan
lamanya. Namun, menurut Maulwi, di kesatuannya, mereka rata-rata
disisihkan. “Kami yang diperintahkan setia kepada Presiden dianggap
kekuatan Soekarno yang harus disingkirkan,” ujar Maulwi. “Saya kasihan
pada anggota Tjakra. Mereka prajurit cemerlang tapi berada di posisi
salah.”
“Tjakra
seperti bertukar nasib dengan Tjaduad,” Maulwi menambahkan. “Tjaduad
hanya tempat untuk tentara yang sudah masuk kotak… seperti Soeharto,
yang akan dipensiunkan.”
Untung Samsuri (13)
Tjakrabirawa, Dul Arief, dan ‘Madura Connection’ | KORAN TEMPO
Benedict
Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang
menculik para jenderal adalah “komunitas Madura”, yang di antaranya
sudah dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950-an.
Lelaki
tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan susah payah
ia menyuapkan nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh
di atas seprai. Sudah enam bulan ini Boengkoes, nama lelaki 82 tahun
itu, terbaring lemah di tempat tidur. Stroke melumpuhkannya. Mantan
bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah anaknya di
Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di atas
dipan besi. Boengkoes adalah salah seorang pelaku dalam tragedi 30
September 1965. Pria berdarah Madura, yang saat itu berpangkat sersan
mayor, ini bertugas menjemput Mayor Jenderal M.T. Harjono, Deputi III
Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dalam
sebuah wawancara dengan Tempo setelah bebas dari LP Cipinang pada 1999,
Boengkoes menceritakan tugasnya itu dengan terperinci. Pada 30
September 1965 sekitar pukul 15.00. “Dalam briefing itu dikatakan ada
sekelompok jenderal yang akan ‘mengkup’ Bung Karno, yang disebut Dewan
Jenderal. Wah, ini gawat, menurut saya.”
Ia
menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan setelah 5 Oktober 1965.
Namun, pada pukul 08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke
Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan harinya, kata Boengkoes, komandan
komandan pasukan berkumpul lagi. “Lalu, pasukan Tjakra dibagi tujuh oleh
Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal
M.T. Harjono,” ujar Boengkoes. Boengkoes kemudian berhasil menembak M.T.
Harjono.
“Setelah sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul
Arief.” Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson,
Indonesianis dari Universitas Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi
ke Indonesia menemui Boengkoes di Besuki. Pertemuannya itu menghasilkan
paper setebal 61 halaman, The World of Sergeant-Mayor Bungkus, yang
dimuat di Jurnal Indonesia Nomor 78, Oktober 2004.
Paper
ini, menurut Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada
1966—setahun setelah peristiwa berdarah—bersama Ruth McVey dan Fred
Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti
serdadu yang bergerak di lapangan adalah orang-orang Jawa. Anggapan ini
berubah setelah Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia melihat fakta menarik
bahwa hampir semua serdadu yang ditugasi menculik berdarah Madura.
Pimpinan lapangannya juga berdarah Madura.
Pimpinan
lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, adalah Dul
Arief. Dul Arief adalah serdadu berdarah Madura. Nah, menurut Ben, Dul
Arief adalah orang yang sangat dekat dengan Ali Moertopo, intelijen
Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi Darul Islam di
Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950-an.
Perihal
apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba
mengecek kepada Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang
oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah
Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan: “Dul Arief itu anak angkat
Ali Moertopo,” kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.
Dalam
paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura adalah Djahurup.
Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM
(Purnawirawan) Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto),
adalah orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September, tapi
kemudian dihadangnya.
Untung Samsuri (14)
Tjakrabirawa, Dul Arief, dan ‘Madura Connection’ (2) | KORAN TEMPO
Ben
menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes telah mengenal akrab Dul Arief
sejak 1947. Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut di
Bondowoso. Boengkoes mengawali karier semasa revolusi di Batalion Semut
Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situbondo.
Setelah
Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung dengan
Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu.
Sebagian besar personel Andjing Laut adalah orang-orang setempat
keturunan Madura.
Selama
clash kedua dengan Belanda, Boengkoes bertempur di sejumlah daerah,
seperti di Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Ia juga pernah bertugas di
Seram. Pada 1953, pasukan Andjing Laut ditarik dari Seram. Seluruh
personel Andjing Laut tak kembali ke Brawijaya, melainkan bergabung
dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.
Di
Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari 701 menjadi 448. Namun,
nama Andjing Laut tetap mereka pertahankan. Kemudian Andjing Laut
menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Hampir seluruh personelnya
berdarah Madura. “Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes berada dalam satu
batalion 448 Kodam Diponegoro,” kata Heru Atmodjo. Dan yang mengejutkan
lagi: “Komandannya waktu itu Kolonel Latief,” kata Heru.
Itu
artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief pun sudah mengenal
para eksekutor Tjakrabirawa sejak dulu. Setelah menyelesaikan Sekolah
Kader Infanteri, Boengkoes dipindah ke Cadangan Umum di Salatiga.
Cadangan Umum adalah gabungan pasukan Garuda I dan II yang baru pulang
bertugas di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang, yakni
baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan informasi yang
mengagetkan lagi: komandan baret hijau di Srondol saat itu, menurut
Boengkoes, adalah Untung!
Ketika
bertugas di Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng
Raiders I di Magelang. Tak lama kemudian ia direkrut pasukan
Tjakrabirawa. Meski sudah bersama dengan Untung sejak di Banteng
Raiders, Boengkoes mengaku kepada Ben Anderson baru bertemu dengan
Untung ketika sudah di Jakarta. “Saya belum kenal dia waktu di Srondol,”
tuturnya.
Boengkoes
tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes
menderita wasir dan disentri. “Penyakit itu saya sudah katakan. Tapi
besoknya, saya diberi tahu bahwa saya sehat. Jadi saya senang.”
Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang
juga lolos seleksi. “Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi
cukup untuk membentuk satu kompi,” ujar Boengkoes. Tugas mereka
menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden.
Kepada
Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup-semati.
Keduanya kerap berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu
waktu dia dan Dul Arief pergi jalan-jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di
sebuah pertigaan, ada warung cendol. Di papan namanya tertulis “Dawet
Pasuruan”. Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang cendol
itu.
“Kami
duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. Tapi kok
mereka kemudian tersenyum senyum. Saya mulai curiga,” ujar Boengkoes.
Ternyata kemudian, pemilik warung tersebut mengaku berasal dari
Pasuruan, Jawa Timur.
Dan
kedua gadis tersebut mengerti bahasa Madura. “Wah, mati aku,” ujar
Boengkoes. Yang aneh, menurut Ben Anderson, setelah tragedi September
itu Dul Arief, si anak angkat Ali Moertopo, dan Djahurup seolah hilang
tak berbekas. Menurut Heru, beberapa hari setelah G-30-S dinyatakan
gagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari
dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang
mereka. Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen
Tjakrabirawa, menceritakan ke-60 orang tersebut mampir di sebuah asrama
TNI di Cirebon karena tidak membawa bekal makanan. Salah satu prajurit
di asrama tersebut berinisiatif melapor kepadanya. “Saya perintahkan
mereka untuk ditahan dulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput,”
kata Maulwi.
Tapi
kemudian Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono,
bawahan Dul Arief, yang kemudian disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa
pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para jenderal
tersebut.
“Dul
Arief dan Djahurup tidak bisa dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub),”
kata Heru. Apakah keduanya “diamankan” Ali Moertopo? Entahlah.
Untung Samsuri (15)
0 komentar:
Posting Komentar