writer: Lutfi Yudhi - source:
Ahlulbaitindonesia.org
29 September, 2014
Lebih dari satu juta orang tewas dibantai pada tragedi 65 dan menjadi salah satu sejarah pembantaian terbesar yang terjadi di dunia. Tragedi 65 adalah catatan hitam bagi sejarah Indonesia.
Tak banyak orang yang berani mengungkapkan apa yang
sebenarnya terjadi pada masa itu, selain karena banyaknya versi sejarah yang
saling berseberangan, juga stigma dan ancaman serta teror masih terus dilakukan
terhadap mereka yang diketahui sebagai mantan anggota PKI dan dianggap
bertanggung jawab atas usaha pemberontakan yang mungkin hanya dilakukan oleh
sebagian kecil saja dari orang-orang itu.
Beruntung ABI Press berhasil menemui Lukas Tumiso, salah
satu mantan Resimen Mahasurya Jawa Timur yang pada tahun 1965 adalah juga
Sukwan Irian Barat dengan Nomor Koto 366.
Tumiso bersedia pula menceritakan kisah ketika dia
ditangkap dan dibuang ke pulau Buru.
Ada apa pada tahun
1965?
Apa yang terjadi pada tahun 1965, menurut Tumiso adalah
diawali pada kejadian pada tahun 1958 yaitu aksi nasionalisasi aset negara
dengan mengambil kembali modal asing terutama milik Belanda yang ada di
Indonesia pada waktu itu. Di antara aksi yang dilakukan adalah aksi pengambil
alihan perusahaan KMB (pelayaran milik Belanda), KLM (penerbangan milik
Belanda) dan perusahaan-perusahaan perkebunan seperti Borsume milik Belanda
oleh para buruh.
Kala itu para seniman membentuk Pasias (Panitia Aksi
Pengganyangan Film Amerika), terutama film dari AMPAI (American Montion
Picture Association of Indonesia) . Sementara para petani lebih produktif
dengan meningkatkan hasil pertaniannya, dengan gerakan New Movement Life yang
berarti hidup sederhana, sebab pada masa itu Indonesia diboikot oleh Amerika,
maka rakyat Indonesia menyederhanakan bahan makanan yang awalnya berupa beras
berganti jagung, singkong dan lain sebagainya.
Kaum pemuda pun melakukan gerakan yang sama saat itu
dengan melakukan penggalangan dana untuk membeli senjata (Found and Forceses)
dengan berbagai cara seperti memberikan tambahan dana untuk tiket bioskop,
kereta api, bis dan juga dana patungan dari rakyat untuk membeli senjata.
Penggalangan dana ini terutama ditujukan untuk mendukung perebutan Irian Barat.
Pada tahun 1965, setelah ada pengumuman resmi dari Dewan
pada tanggal 1 Oktober, semua yang berbau komunis ditangkap. Siapa saja bisa
dianggap komunis pada masa itu terutama mereka yang pro dengan Soekarno.
Termasuk para pemuda dan rakyat yang mendukung revolusi Soekarno dan melakukan
gerakan nasionalisasi pada tahun 1958 pun juga banyak yang ditangkap dengan
tuduhan PKI dan telah melakukan pemberontakan.
Meskipun, menurut Tumiso tidak ada yang bisa menjelaskan
secara pasti apa yang terjadi pada tahun 1965, baik sejarahwan maupun
akademisi.
Penangkapan
Tumiso, yang pada tahun 1965 melanjutkan wajib belajarnya
di IKIP Surabaya agar dapat mengajar di SMP dan juga tergabung dalam Resimen
Mahasurya yang dianggap pro Soekarno ditangkap dan dibawa ke Kodim di Ambengan,
Undaan Wetan. Di Kodim itu Tumiso ditahan beserta ratusan orang lainnya dari
seluruh Surabaya. Kodim tersebut awalnya adalah sebuah sekolah Tionghoa dan
pada peristiwa 65 diambil alih oleh tentara dan dijadikan Kodim.
Dari sini petualangan Tumiso baru saja dimulai. Dari
Kodim, pada tanggal 19 September, Tumiso dipindah ke Koblem bersama 14 orang
lainnya dari pemuda rakyat. Di Koblem mereka diperlakukan dengan status
sebagai tahanan militer, bersama militer 519, 517, 518 yang dianggap komunis.
Di tempat inilah tahanan terus bertambah. Akibatnya, jatah
makanan bisa dikata semakin sengsara. Jatah makan diberikan hanya sehari dua
kali, (tanpa ada sarapan pagi), dengan porsi setara ¾ gelas air mineral.
Itu pun bukan cuma berisi nasi tapi kadang juga bercampur pasir, bahkan
kerikil.
“Jadi kalau tidak dikirim makanan oleh keluarga, matilah kita,” terang Tumiso.
Proses pemeriksaan terus berjalan, tiap yang
diperiksa biasanya dibawa ke Musi 21 (jalan Musi). Kalau sudah diperiksa baru
dikirim ke Tahanan Kalisosok. Kondisi di Kalisosok bukannya bertambah baik
sebaliknya malah tambah buruk. Jatah makanan sering dirampas oleh para kriminal
yang lebih senior dan lebih lama berada di penjara itu. Diperkirakan, jumlah
korban meninggal selama di Kodim dan Kalisosok sebanyak 400 orang dari 1000
tahanan yang ada.
Di Kalisosok, Tumiso ditempatkan di tahanan khusus, yang
dikumpulkan bersama Husein dan Amank. Kedua orang ini dikenal sebagai jagal
manusia tahun 57-58 yang tinggal di Seduri, perbatasan Mojokerto- Krian. Modus
para jagal tersebut adalah dengan mengaku pedagang dan melakukan negosiasi
dagang di Seduri. Saat bertransaksi itulah para korbannya mereka bunuh. Konon
Husein yang telah membunuh sebanyak 76 orang itu sampai dijuluki jagal Seduri.
“Belakangan kita tahu setelah akrab, dia tidak membunuh sebanyak itu,” kata Tumiso.
Ke Pulau Buru
Setelah menempati tahanan Kalisosok, Tumiso kemudian
dipindahkan ke Nusakambangan. Baru pada bulan April tahun 1969, dia dibawa oleh
Kadri 10 (yang konon merupakan pasukan pembawa misi perdamaian Kongo tahun
1963), melalui Pantai Selatan menuju ke Maluku dan kemudian ke Pulau Buru.
Perjalanan dari Nusakambangan ke Pulau Buru yang
direncanakan menghabiskan waktu 7 hari ternyata molor hingga 10 hari akibat ada
gangguan pada perahu yang mereka tumpangi. Tentu saja hal itu berdampak pada
stok makanan yang ikut juga terganggu.
Akhirnya setelah 10 hari perjalanan sampailah Tumiso
bersama rombongan di Teluk Namlea. Ketika sampai di Namlea, kota yang sudah
dikenal sejak tahun 800an sebab kota yang terletak di teluk Namlea itu mampu
menampung beberapa kapal perusak dan satu kapal induk.
Para tahanan yang bersama Tumiso kemudian menempati rumah
transito di desa Ciku Kecil untuk mengembalikan kondisi tubuh akibat perjalanan
jauh dan juga terkena mabuk laut.
Di sini mereka kembali mendapat perlakuan tidak layak,
makan dua kali sehari dengan lauk ikan asin yang bercampur dengan kerak besi
kapal. Mandi pun mesti memakai air laut, karena tidak ada persediaan air tawar.
Beberapa hari kemudian setelah barak yang disediakan
sudah dinyatakan siap, para tahanan dibawa ke Pulau Buru. Terdapat 20 barak
yang dibagi untuk 1000 tahanan yang ada. Hari-hari pertama menempati barak,
para tahanan tidak diperbolehkan untuk keluar, sebab dikhawatirkan akan
melarikan diri. Setelah beberapa hari baru para tahanan boleh pergi
keluar-masuk hutan.
Kehidupan Barak
Pulau Buru
Hari pertama dan kedua di Pulau Buru tidak ada masalah.
Pada hari ketiga para tahanan diwajibkan mencabuti rumput. Ini tantangan berat.
Karena alat-alat berkebun saat itu belum ada, sementara tahanan harus mencabuti
rumput alang-alang yang di sekitarnya terdapat pohon segitiga yang tajamnya
seperti silet dan sewaktu-waktu dapat melukai mereka.
Sedangkan tanah pulau Buru adalah tanah perawan yang
belum tersentuh oleh manusia sama sekali.Lukas Tumiko di Pulau BuruBelum lagi
suhu di Maluku yang pada malam hari dapat mencapai 18 derajat Celcius,
sedangkan pada siang hari di kisaran 42 derajat Celcius. Akibat panas yang
sangat menyengat di siang hari, punggung para tahanan pencabut rumput itu pun
menjadi terbakar. Di sisi lain, selain kedinginan di malam hari, mereka juga
menjadi santapan empuk nyamuk yang ukurannya terbilang jumbo.
Komposisi tahanan di barak 3 tempat Tumiso tinggal, yang
terdiri dari anggota DPR, pembantu menteri, dan pegawai tinggi itu berjumlah
100 orang. Ada juga 100 mahasiswa dan sarjana asal Malang dan Yogyakarta.
Sedangkan yang dari Jawa Timur, seperti Babat, Malang,
Karesidenan Malang dan Surabaya adalah orang-orang yang selama hidupnya hampir
belum pernah mencangkul tanah.
Selain mencabuti rumput savana, mereka juga harus
merambah hutan. Karena perladangan hutan akan berhasil hutan dibabat terlebih
dulu untuk membuka ladang pertanian.
“Sehari para tahanan ditarget harus dapat satu hektar untuk tiap satu barak yang berarti 100m x 100m. Karena tentara waktu itu tidak bisa menghitung, nah kita usahakan membabatnya itu disebar, yang dianggap oleh tentara itu setengah hektar, sebenarnya seperempat hektar,” kisah Tumiso.
Pembabatan hutan itu dilakukan para tahanan selama 3
bulan hingga bulan Desember.
“Kita ndak dapat segitu, karena jujur saja kita ndak mampu,” terang Tumiso.
Pantangan Angka
Tiga
Tentara selalu saja mencurigai setiap gerak-gerik,
tingkah laku dan apapun yang dikerjakan oleh para tahanan. Yang paling nyata
dan aneh adalah tahanan dilarang membuat ataupun mengatakan angka tiga. Jadi
segala hal yang dilakukan oleh para tahanan ini harus menghilangkan unsur angka
tiga, baik saat membangun sesuatu maupun dalam pembicaraan antar mereka.
“Saat 17 Agustus, ada lomba dan diberikan aba-aba ‘Siap, satu, dua, empat!’ begitu. Jadi ndak boleh, semua yang bersifat tiga tidak boleh,” kenang Tumiso.
Begitupun dengan tempat ibadah, ada Gereja Protestan,
Katholik, kemudian Islam, bila disingkat akan menjadi PKI (Protestan, Katholik
dan Islam), ini juga tidak boleh, maka harus ada Wihara, walaupun mungkin tidak
ada penganut agama yang harus beribadah ke Wihara.
“Saat mencangkul dan cangkulnya lepas dari gagangnya, untuk benerin harus diberi ganjalan, maka harus dipukul dengan palu, saat memukul pacul, bunyinya itu menurut tentaranya adalah kode,” lanjut Tumiso.
“Apalagi kalau kita mukulnya tiga kali, udah langsung dihajar sama para tentara.”
Kehidupan di barak dilalui dengan perasaan serba salah
oleh para tahanan sebab para tentara selalu saja memiliki alasan untuk
menghukum atau memukuli mereka. Seolah kebenaran hanya milik para tentara
sementara para tahanan dinilai selalu salah. Maka akibatnya, selalu harus
menerima kekerasan yang seringkali tidak jelas apa sebabnya.Lukas Tumiko di
Pulau Buru (Tragedi 65)
Kontribusi Tahanan
Politik Pulau Buru
Tak bisa dipungkiri bahwa awal kedatangan para tahanan
politik ke Pulau Buru tentu merugikan penduduk asli Pulau Buru, sebab saat para
tapol ini datang mereka belum memiliki ladang sehingga harus bertahan hidup
dengan mengandalkan hutan yang sama dengan para penduduk asli di pulau itu.
Tumiso tak lupa mengisahkan bahwa penduduk asli Pulau
Buru banyak yang mengidap penyakit kulit, kaki gajah, malaria dan juga TBC.
“Kita menyadari, di depan penguasa kita itu tahanan, tetapi kita harus berbuat terhadap bangsa kita sendiri,” kata Tumiso.
Maka dengan sembunyi-sembunyi para tapol mengajari mereka
cara bercocok tanam yang baik, cara bertani, mengajarkan untuk sedikit demi
sedikit meninggalkan cara hidup nomaden (tidak menetap) sehingga mereka
sadar dan mau menetap. Selain itu, para tapol juga membetulkan rumah SOA
(Kepala Rumpun).
Struktur pemerintahan yang ada di Pulau Buru pada saat
itu adalah satu Bapa Raja, penguasa eksekutifnya Bapa Raja, terus legislatif
itu beberapa di antaranya ada Kepala SOA atau Kepala Rumpun, terus ada lagi
Kepala Adat, yang mungkin bertugas layaknya lembaga yudikatif.
Ada juga hal menarik di Pulau Buru, karena perempuan
penduduk asli sering diperlakukan ibarat barang dagangan. Contohnya, ibu tiri
yang bisa dikawin oleh anak tirinya, juga perkawinan yang bagi perempuan bisa
terjadi di umur 8-9 tahun. Uang mahar bisa berupa tombak, parang, kain,
petromak, bisa juga piring. Terkait hal ini pun, para tapol juga berusaha
menyadarkan perilaku penduduk asli setempat itu.
Bentuk penyadarannya adalah dengan cara yang unik pula.
Bila mereka datang ke gubuk tapol di tengah sawah, ladang, atau yang di hutan,
mereka akan diberi makan. Caranya, dengan memberi anak-anak makan terlebih
dahulu, sebab kalau tidak begitu maka akan dimakan oleh bapaknya dulu. Setelah
anaknya selesai makan, baru giliran ibunya yang diberi makan. Setelah ibunya
selesai, baru bapaknya.
Kalau misalnya waktu anaknya makan dipelototi oleh
bapaknya, maka disuruhlah si anak untuk makan menjauh, menyingkir dari hadapan
bapaknya. Begitu juga bila ibunya makan dan dipelototin bapaknya, dia pun akan
diminta menyingkir juga. Tinggal bapaknya yang berhadapan dengan para tapol.
Sebab, kalau tidak begitu, bapaknya makan kenyang, baru sisanya diberikan
kepada istri, anak, dan juga anjingnya.
“Jadi kita kasih tahu, salah itu, anak lebih dahulu,” terang Tumiso.
Para tapol juga memberikan pengobatan cuma-cuma,
mengajarkan cara hidup higienis, dengan menunjukkan bahwa ini tidak boleh, itu
tidak sehat. Tapi yang harus diingat bahwa cara tapol mengajar itu tidak
seperti anak sekolah yang dikumpulin jadi satu kelas.
“Tapi waktu mengajarnya ya asal ada kesempatan. Misalnya ketika ketemu dengan mereka di jalan, kita tanya kemarin pelajarannya apa?”
“Kalau dijawab ‘Ibu Budi,’ ya sudah. Terus kalau mereka mengatakan, ‘beta mau coko (berburu)’, ya sudah, kita biarkanlah mereka pergi.”
“Jadi seperti mengajar anak-anak jalanan itu, sama teknik nya. Nah, lewat interaksi itulah belakangan mereka sudah tau bahwa kita tidak seperti apa yang disampaikan oleh Kodim.”
Membangun
Peradaban Pulau Buru
Setelah membabat hutan dan berhasil membuat area sawah
seluas 21 x 100 hektar, para tapol kemudian membangun bendungan tanpa semen dan
tanpa paku satu pun.
Dari 21 unit yang ada, kurang lebih 15 bendungan dapat
dibangun untuk mengairi sawah di sana.
Para tapol berusaha mendorong penduduk asli untuk
membentuk suatu peradaban, yang awalnya mereka hidup dengan berpindah kini
dengan adanya tanah persawahan dan bendungan, penduduk asli dapat mengolah
pertanian menetap. Artinya tidak lagi hidup berpindah, tidak membakar hutan
sembarangan.
Para tapol dituntut sabar. Menurut Tumiso ada hal yang
mendorong para tapol, bahwa mereka merasa berhutang terhadap rakyat ini. Untuk
itu para tapol tergerak membalas kebaikan penduduk asli dengan cara mengajar,
menyediakan persawahan, dan membangun jalan.
Jalan yang dibangun para tapol di Pulau Buru yang terjauh
berjarak 35 km. Terdapat 4 jalan yang panjang dan belum lagi jalan-jalan kecil
lainnya. Total jalan yang dibangun lebih dari 2000 km.
Hasil kerja keras tapol akhirnya mampu membuat Pulau Buru
menghasilkan: 200 ton beras kali dua, artinya 400 ton dalam dua semester. Total
semua jika dikali 21 barak maka hampir 1000 ton karbohidrat yang dihasilkan
dari beras. Belum lagi jagung, lalu yang nabati dari kacang, baik kacang hijau
atau kacang kedele.
Ada juga protein hewani seperti telur. Dari 12000 tahanan
Pulau Buru itu yang punya ternak minimal satu orang satu ternak ayam. Anggap
saja yang bertelur separuh sudah 6000 butir telur. Kalau satu kilo itu isinya
20 butir, maka sudah 300 kwintal telur ayam. Telur bebek anggaplah sama,
berarti 6 kwintal, maka per hari juga bisa menghasilkan telur sebanyak 6000
butir.
Sebelumnya, saat belum ada para tahanan yang dibuang ke
Pulau Buru, Koramil setempat terlebih dahulu memberikan pengarahan kepada
penduduk asli, bahwa nanti akan datang kumpulan orang-orang pembunuh, pokoknya
para tapol digambarkan dengan stigma yang jelek-jelek. Tapi setelah para tapol
datang dan hidup bersama penduduk asli, pandangan penduduk asli terhadap mereka
pun berubah 180 derajat.
Bedjo Untung
Berbeda dengan Lukas Tumiso, Bedjo Untung, juga salah
seorang yang menjadi korban rekayasa politik tahun 1965 saat Orde Baru Suharto
masih berkuasa. Sehingga Bedjo pun terkena pembatasan hak-hak politik. Bedjo
yang pada saat itu masih berumur 17 tahun dijebloskan ke rumah tahanan politik
Salemba selama 9 tahun tanpa persidangan. Itu terjadi saat Operasi Kalong tahun
1970 dan dibebaskan saat pembebasan massal tahun 1979 akibat tekanan dunia
internasional.
Bedjo Untung
Sejak pembebasan waktu itu hingga saat ini, eks tapol
masih terus mengalami stigma sebagai orang yang dituduh PKI. Maka dari itu
Bedjo menuntut dipulihkannya hak-hak mereka, hak politik, hak sosial, dan hak
ekonomi.
Di atas kertas memang mereka sudah bebas tapi nyatanya,
menurut Bedjo menikah dengan wanita dari keluarga ABRI saja tidak boleh hingga
sekarang. jadi secara umum keputusan MK tentang tapol belum disosialisasikan
oleh negara, karena negara masih di satu sisi itu seolah-olah sudah
menyelesaikan tapi di sisi lain masih tetap menindas para tapol itu.
Stigma
Bedjo saat ini menjadi guru Bahasa Inggris dan juga guru
alat musik piano dan gitar klasik yang dipelajarinya selama di penjara. Ia juga
memberi les privat yang penhasilannya sekadar untuk bertahan hidup.
Kebetulan murid-murid Bedjo kebanyakan orang asing
seperti dari Belanda, Jerman, Perancis dan Amerika. Para muridnya itu pun tak
ada masalah dengan latar belakang Bedjo. Malah mereka bersimpati.
Hanya saja, ketika ada tapol yang kemudian aktif dalam
perjuangan HAM, seperti halnya Bedjo yang kini mulai dikenal, kadang masih ada
orang yang memberi stigma buruk bahkan mengancamnya. Pernah suatu saat ketika
Bedjo menjadi salah satu narasumber dalam acara perdebatan di salah satu
stasiun TV. Setelah acara tersebut Bedjo mendapatkan ancaman melalui SMS.
“Kemana pun anda pergi, saya habisin,” kata Bedjo, menirukan isi SMS ancaman itu.
Bedjo juga berharap para pemuda membangun negeri ini
dengan prinsip-prinsip UUD 1945, bahwa ada kesetaraan, dan ada toleransi.
“Maka dari itu pegang terus UUD 45, sebagai pegangan kita bersama, tanpa membedakan golongan, membedakan agama, semua untuk Indonesia. Barulah dengan begitu, kita bisa mewujudkan cita-cita revolusi, cita-cita negara sesuai dengan amanat Bung Karno,” tegas Bedjo.
Sementara itu Tumiso berpesan bahwa ada kalanya kita
harus melupakan masa lalu, namun ada kalanya kita juga harus mengingatnya agar
ada catatan yang dapat membuat kita tetap menjaga bangsa yang besar ini.
Menurut Tumiso, kita harus tetap optimis menghadapi masa depan.
“Kehebatan Soeharto itu lupakan, sebab dia lebih banyak berbuat tidak hebat,” tukas Tumiso.
Lukas Tumiso dan Bedjo Untung adalah saksi sejarah hitam
Indonesia yang dapat memberikan pelajaran penting bagi penerus bangsa ini.
Pelajaran agar tragedi hitam 65 tidak terjadi lagi, dan agar masyarakat
Indonesia tidak lagi kehilangan nyawa dengan percuma. Dan yang jauh lebih
penting lagi adalah agar masyarakat Indonesia dapat lebih kritis lagi dalam
membaca sejarah.
[islamic-sources/Lutfi/Yudhi/Ahlulbaitindonesia.org]
0 komentar:
Posting Komentar