Utami Diah Kusumawati, CNN
Indonesia | Jumat, 05/09/2014 15:03 WIB
Adhi Wicaksono (CNN
Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Kamisan, menolak lupa. Kamisan, lawan ketakutan. Payung hitam, coba hapus kelam. Payung hitam, untuk keadilan.”Itulah penggalan lirik dari lagu 'Fajar Munir, Senja Kamisan' yang dibawakan oleh grup band indie Sindikat Musik Penghuni Bumi (Simponi) di depan Istana Negara, pada Kamis (4/09).
Sore itu sekitar 50 orang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum), Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), beberapa perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Komisi Nasional Tindak Kekerasan dan Orang Hilang (Kontras) dan Komisi Nasional Perempuan serta mahasiswa melakukan aksi Kamisan.
Menurut Bejo Untung, kordinator JSKK, aksi Kamisan ke-364 ini dilakukan untuk menuntut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti: Talang Sari 1989, Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, penculikan 1965/1966, penculikan 13 mahasiswa serta pembunuhan Munir.
Payung-payung hitam bertuliskan seruan kepada pemerintah digelar di depan Istana Negara. Gerakan aksi menggunakan payung hitam tersebut, berdasarkan keterangan Maria Katarina Sumarsih atau lebih dikenal dengan Sumarsih ibu dari korban Semanggi 1 Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), terinspirasi dari aksi demo serupa di Argentina dan gerakan aktivis perempuan pada 1999 di Jakarta.
“Hitam simbol keteguhan di dalam mencintai anak-anak, suami atau saudara kandung kami yang menjadi korban kekerasan,” jelas salah satu kordinator JSKK ini via telepon. “Sementara payung simbol perlindungan.”Sumarsih melanjutkan beberapa aksi serupa pernah dilakukan juga untuk mengenang korban kekerasan dan pelanggaran ham. Namun, aksi tersebut tidak pernah bertahan lama. Misalnya, aksi konvoi motor untuk mengenang Munir yang hanya dilakukan selama dua bulan saja.
“Kami akan terus setia mengawal kasus ini sampai pemerintah memenuhi janji mereka,” tegasnya.Sementara itu, wakil kordinator Kontras, Kris Biantoro mengatakan selama sepuluh tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada perlindungan HAM yang ditegakkan. Kasus-kasus pelanggaran HAM pada era Soeharto termasuk misteri pembunuhan Munir tidak ada yang diselesaikan.
“Kerja Tim Pencari Fakta Munir tersendat di Kejaksaan. Laporan mereka juga tidak pernah dibuka oleh pemerintahan SBY,” ujarnya.Ia mengatakan memang pada 10 tahun pemerintahan SBY demokrasi di Indonesia secara normatif membaik. Hal ini dalam pengertian, banyak instrumen HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) diratifikasi seperti Konvenan internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Banyak Komisi Negara independen juga turut didirikan, ujarnya.
“Dari segi promosi bagus, tetapi dari segi pemenuhan perlindungan terhadap warga masih buruk. Tidak ada keadilan diwujudkan,” ia menegaskan.Novia Astriani dari Kasum mengatakan aksi Kamisan kali ini adalah untuk memberikan peringatan 10 tahun terhadap tragedi Munir. Ada beberapa acara akan diselenggarakan, diantaranya kampanye publik dalam car free day tanggal 7 September serta pemutaran film Munir dan diskusi publik di Perpustakaan Nasional pada 10 September dengan narasumber seperti pembuat film Dhanny Leksono.
“Kita mau munculkan orang-orang yang berkontribusi dalam kasus Munir. Ada yang akan buat lagu, musik, seni rupa,” ia menjelaskan.Musisi dari Simponi, M. Berkah Gamulya, mengatakan orang seperti Munir memberikan inspirasi bagi kalangan seniman termasuk bagi rekan-rekan di Simponi. Band yang dibentuk 2012 tersebut membuat satu lagu khusus yang mereka ciptakan di rumah masa kecil Munir di Batu, Malang, Jawa Timur.
“Paragraf pertama lagu 'Fajar Munir, Senja Kamisan' diambil dari puisi-puisi Suciwati Munir untuk suaminya,” katanya.Ia melanjutkan lagu tersebut merupakan komitmen mereka untuk terus konsisten menyuarakan kegelisahan sosial, seperti yang telah dilakukan oleh Cak Munir semasa hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar