Selasa, 30 September 2014

Secuil Kisah Kelam Saksi Penumpasan Gerakan PKI di Mojokerto


Selasa 30 September 2014, 13:59 WIB

Yazid Kohar (Foto: Enggran EB/detikcom)

Mojokerto - Masa kelam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 49 tahun silam, ternyata berimbas pula di Mojokerto. Setidaknya terdapat memori kelam pergerakan PKI di kota kecil ini pada tahun 1967. Mulai dari provokasi PKI hingga pembubarannya oleh ormas Islam di Mojokerto. Berikut ini secuil kisah dari seorang pelaku sejarah penumpasan PKI di Mojokerto.

Secuil memori kelam itu dituturkan kembali oleh Yazid Kohar (64). Setiap tanggal 30 September, hari peringatan G 30S PKI, pikiran pria asal Kelurahan Miji, Kecamatan Prajurit Kulon ini menerawang jauh ke tahun 1967, masa di mana dia menyaksikan langsung tragedi berdarah perang saudara penumpasan PKI di Mojokerto.

Pria kelahiran 12 November 1950 ini menuturkan, penyebaran paham komunis di Mojokerto terjadi sejak tahun 1962. Melalui kesenian ludruk keliling kampung yang dikembangkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga bentukan PKI yang bermarkas di Panggreman, Kelurahan Kranggan, Kota Mojokerto.

Dalam setiap pertunjukan ludruk, Lekra menghibur masyarakat dengan lagu "Genjer-Genjer". Lagu yang sarat nilai komunisme itu, sebagai langkah penanaman nilai ideologis kepada masyarakat luas. Pertunjukan selalu disertai dengan pidato provokasi perlawanan terhadap tuan tanah.
"Tahun 1965, kesenian ludruk ada di setiap kecamatan, kemudian muncul gerakan 'land reform' oleh PKI, setiap petani hanya boleh memiliki tanah maksimal 1 hektar, jika lebih dari itu, wajib diserahkan kepada Barisan Tani Indonesia (BTI) yang pro PKI," ucap Yazid kepada wartawan saat ditemui di ruangan Kepala Sekolah SMAI Brawijaya Mojokerto, Selasa (30/9/2014).
Gerakan 'land reform' inilah yang memicu konflik sosial semakin meluas. Memasuki awal tahun 1967, pasca pengumuman resmi pembubaran PKI oleh pemerintah pusat, pergerakan penumpasan PKI di Mojokerto pun mulai terjadi. Yazid mengaku usianya saat itu menginjak 17 tahun. Masih tergambar jelas kenangan pada suatu malam di awal tahun 1967 itu.
"Ada dua orang dari unsur TNI pusat menghimpun ratusan pemuda ormas Islam di Mojokerto untuk dilatih. Gerakan pertama dimulai pada tengah malam membubarkan kantor Center Comite (CC) PKI di Jalan Prapanca, Kota Mojokerto," tutur mantan anggota DPRD Mojokerto 3 periode itu.
Dalam penggeledahan di kantor CC PKI itu, menurut Yazid, para pemuda menemukan dokumen yang berisi daftar nama tokoh ormas Islam yang akan menjadi sasaran pembunuhan PKI. Yang membuatnya terkejut, dalam daftar tersebut turut tercantum nama ayahnya, Abdul Kohar dan saudara ayahnya, Zainal Mahmud yang memang aktif di ormas Islam.
"Seluruh isi kantor CC PKI dikeluarkan kemudian dibakar massa, kecuali dokumen penting, saat itu tidak ada perlawanan dari PKI," ungkapnya.
Gerakan penumpasan PKI berlanjut ke kantor CC PKI di Jalan Pemuda Kota Mojokerto. Seperti di kantor CC PKI Jalan Prapanca, massa menemukan dokumen daftar target pembunuhan PKI. Karena tidak ada perlawanan, massa bergerak ke kantor Lekra yang saat itu berlokasi di Lingkungan Panggreman.
"Di kantor Lekra ada perlawanan dari PKI, namun karena jumlahnya kalah besar, mereka lari. Setelah itu, suasana semakin panas, kita pemuda hanya 2 pilihan, dibunuh atau membunuh. Pemuda Ansor dan pemuda muslim dilatih kanuragan oleh almarhum pak Makruf dari Dawarblandong. Saya juga ikut latihan, baca wirid dan amalan," kisahnya.
Berbagai peristiwa mengerikan pun dialami mantan politisi PKB ini. Pada pertengahan tahun 1967, menurut Yazid, ditemukan mayat korban pembunuhan yang diduga Ketua CC PKI Jombang. Mayat tersebut dibuang begitu saja di Jalan Majapahit. Sejak saat itu, berbagai aksi pembunuhan terjadi di Mojokerto.

Situasi mencekam terjadi hingga akhir tahun 1967. Korban juga berjatuhan dari ormas Islam. Aparat keamanan pun memberlakukan jam malam. Meski masih remaja, Yazid mengaku melihat langsung berbagai peristiwa berdarah penumpasan anggota PKI.

"Setiap sore, banyak orang nonton korban pembunuhan yang dibuang di Sungai Brantas. Melihat orang dibunuh seperti hal yang biasa. Saking traumanya, saya tidak berani melihat kambing disembelih," pungkasnya.

Situasi berangsur-angsur kondusif menginjak tahun 1968. Tidak ada lagi aksi penculikan dan pembunuhan.


0 komentar:

Posting Komentar