Selasa, 30 September 2014

"Peristiwa 1965-66 harus diletakkan pada diskursus tersendatnya proyek kebangsaan kita"

Selasa, 30 September 2014 | oleh : Tri Chandra Aprianto


Pada bulan september-oktober, tiap tahun, kita selalu diingatkan pada peristiwa 1965 berikut tragedi kemanusiaan yang mengikutinya. Sampai kini, tragedi bangsa itu tidak pernah selesai diurai. Bahkan duduk perkaranya terus menjadi kontroversi. Abdurrahman Wahid, di masa hidupnya, dikenal sebagai tokoh yang terus memperjuangkan rekonsiliasi terkait peristiwa itu, termasuk di dalamnya dengan mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Bukan hanya meminta maaf kepada para korban tragedi 1965, Gus Dur bahkan juga mengusulkan pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. Bagaimana kita mesti melihat peristiwa itu dari kacamata masa kini. Redaksi Kampung Gusdurian berkesempatan mewawancarai Tri Chandra Aprianto, yang sehari-hari menjadi dosen di Jurusan Sejarah Unej, aktif di Syarikat Indonesia dan aktif dalam studi-studi agraria di Indonesia. Selamat menyimak.
Menurut anda bagaimana kita mesti meletakkan dan memahami peristiwa 1965 dan peristiwa-peristiwa yang mengikutinya?

Pertama-tama saya ingin menyatakan bahwa peristiwa 1965-66 adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang tidak boleh terulang lagi di Republik tercinta ini. Itu peristiwa yang sangat menyedihkan bagi bangsa ini. Sebuah peristiwa yang melahirkan trauma berkepanjangan, baik bagi korban, pelaku maupun semua warga bangsa. Dalam peristiwa tersebut ada beragam tindakan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan mulai penganiayaan, penyiksaan, perkosaan, perampasan, pengusiran paksa hingga pembunuhan. Wah sangat menyedihkan sekali pokoknya. Serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Syarikat Indonesia menunjukkan hal yang demikian. Ini merupakan problem kebangsaan kita yang sangat serius. Harus diselesaikan, kalau kita mau melangkah ke depan. Ini merupakan masalah yang malati, akan terus membayangi pemerintahan demi pemerintahan, jika tidak segera diselesaikan.
Selanjutnya, menurut saya, praktek politik yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan seperti itu tidak boleh dilakukan lagi. Saya katakan praktek politik, karena peristiwa 1965-66 tersebut bukan terjadi secara kebetulan, atau semata-mata hadir atas reaksi perilaku politik sebelumnya. Betul memang terjadi ketegangan dalam kehidupan politik nasional saat itu. Ada kontestasi antar masing-masing kekuatan politik. Ini adalah suatu kewajaran karena kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini. Kemajemukan dalam budaya, sosial, dan politik. Ini suatu kekayaan dan modal utama bangsa ini. Oleh karena itu tidak bisa secara mentah-mentah dimaknai sebagai telah terjadi konflik politik, yang kemudian menjadi legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Menurut saya, tindakan itu dilakukan secara sadar dalam rangka mengebiri cita-cita luhur para muwassis (pendiri) bangsa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia.
Oleh sebab itu, upaya untuk menyelesai pelanggaran HAM di masa lalu oleh praktek politik yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan adalah proyek peradaban dalam rangka pembangunan kebangsaan.

Masyarakat Indonesia, hingga kini, masih memahami tragedi 1965 sebagai bentuk kepahlawanan, sebagai pertempuran antara “yang baik” dengan “yang buruk”. Menurut anda apa implikasi dari memori kolektif semacam itu dan apa mestinya yang harus dibangun?

Memang sampai sekarang masih dikembangkan pemahaman bahwa peristiwa 1965-66 merupakan kemenangan kaum beragama atas kaum kafir, kepahlawanan kaum patriot atas penghianat bangsa, dan seterusnya. Akan tetapi menurut saya, pemahaman ini lahir dari tindakan sadar dan dilakukan secara sengaja oleh penguasa saat itu, Orde Baru. Mereka mereproduksi pemahaman seperti itu secara terus menurus. Orde Baru ingin membangun rasa takut dalam diri masyarakat. Menciptakan budaya takut di masyarakat. Harapannya jelas tidak ada suara kritis terhadap praktek politik penguasa saat itu. Berbagai media dipakai oleh pemerintah Orde Baru saat itu, melalui film misalnya, ingat pernah ada film propaganda tentang G 30/S PKI. Tidak itu saja, mereka juga melarang buku-buku yang berbeda pendapat dengan informasi resmi pemerintah. Bahkan mereka juga melakukan indoktrinasi pada para peserta didik dari tingkat dasar hingga atas melalui pelajaran Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB).
Ironisnya, kendati Orde Baru telah lengser, saya masih merasakan ada upaya untuk tetap memproduksi pemahaman seperti itu hingga saat ini. Ini sebagai akibat dari praktek pewarisan konflik politik masa lalu yang dijadikan realitas hari ini. Kita bisa saksikan bagaimana isu 1965-66 selalu mengemuka dalam setiap proses politik elektoral, untuk mengganjal lawan-lawan politik. Pewarisan konflik politik tersebut merupakan bagian dari upaya untuk melupakan praktek politik yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965-66.
Oleh karena itu, pemerintah harusnya bertindak sesegera mungkin mengakhiri praktek politik seperti itu. Bukan mendiamkan seperti sekarang ini. Seolah-olah ada kebuntuan dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Mendiamkan persoalan ini, itu artinya menyemai masalah lain, yaitu mewajarkan tindakan kekerasan dalam praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita dapat saksikan berbagai kekerasan politik yang berlangsung dalam satu dekade lebih, kekerasan atas nama agama bermunculan. Kekerasan atas nama golongan juga mewarnai kehidupan keseharian kita, termasuk kekerasan yang berbasis pada penguasaan sumber-sumber agraria, dan seterusnya.
Sementara itu, jika pemerintah dengan segera mengakhiri proses pewarisan konflik politik yang merupakan basis dari politik dendam, secara tidak langsung ada upaya untuk membuka akses informasi mengenai berbagai peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Selama pemerintahan Orde Baru akses informasi tersebut ditutup rapat-rapat. Kita paham betul mengapa Orde Baru sangat berkepentingan dengan hilangnya memori kolektif masyarakat atas pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965-66. Dengan dibukanya akses informasi, tentu saja akan berdampak pada diskursus dan penjelasan tentang kebenaran peristiwa sejarah masa lalu. Pada tingkatan yang lain, terkandung pula ajakan pada partisipasi masyarakat luas dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan cita-cita keadilan.
Untuk itu membicarakan peristiwa 1965-66 harus diletakkan pada diskursus tersendatnya proyek kebangsaan kita. Sebagai antitesa dari diskursus perwarisan konflik politik yang terjadi selama ini. Cita-cita para muwassis Republik dalam membangun kebangsaan adalah berdasar atas kebhinnekaan yang tidak mengelininasi etnis, suku, ras, agama dan golongan lainnya. Kesadaran politik seperti ini harus ditumbuh kembangkan. Kesadaran seperti ini sangat dibutuhkan, pertama sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan semua permasalahan pelanggaran HAM masa lalu; dan kedua, untuk membangun rekonsiliasi nasional. Keduanya merupakan pondasi penting bagi republik ini untuk menjadi bangsa yang berwibawa di mata dunia internasional.

Komnas HAM dalam investigasinya menemukan pelanggaran HAM berat pasca peristiwa 65, bagaimana kita mesti meletakkan hal itu dalam kerangka rekonsiliasi?

Temuan Komnas HAM seharusnya diapresiasi secara positif, bukan dengan apriori. Menurut saya, dari temuan Komnas HAM itu artinya terdapat pengakuan bahwa ada lembaran hitam dalam sejarah praktek politik di Indonesia. Ada noda (najis) yang itu mengganggu atau bahkan membatalkan proses kita dalam membangun proyek kebangsaan kita.
Seperti saya katakan di atas, temuan Komnas HAM tersebut harus dinyatakan dipublik. Pentingya dinyatakan dipublik, karena hal itu akan menjadi titik kesadaran baru bagi kita semua guna menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan membangun rekonsiliasi nasional. Permasalahan pelanggaran HAM itu sifatnya adalah haqqul adamy, suatu persoalan antar manusia yang itu harus segera diselesaikan. Apabila hal itu tidak segera diselesaikan tentu persoalan tersebut akan terus mengganjal langkah kita ke depan. Kita akan terus dihantui oleh peristiwa berdarah-darah yang belum pernah kita selesaikan.
Berdasar temuan Komnas HAM tersebut, pemerintah seharusnya segera mengambil langkah kongkrit. Setidaknya ada tiga hal, pertama mengukuhkan temuan Komnas HAM itu adalah benar adanya. Kedua, menyatakan penyesalan yang mendalam atas berbagai perilaku politik yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Ketiga, meminta maaf kepada semua warga bangsa, khususnya korban atas terjadinya praktek politik yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Ketiga hal ini setidaknya dapat menjadi rambu-rambu bagi siapapun, ke depan tidak boleh lagi menggunakan praktek politik seperti itu.

Apa makna rekonsiliasi dan dampaknya pada masyarakat akar rumput?

Sebelum ke rekonsiliasi, apabila pemerintah baik yang sekarang maupun yang akan datang mau menindaklanjuti temuan Komnas HAM dengan tiga hal tersebut, pada level tertentu hal itu merupakan proses healing bagi korban. Obat bagi korban yang sebelumnya dianggap sebagai warga negara kelas dua. Menjadi obat, karena korban telah dipenuhi haknya untuk mengetahui tentang peristiwa yang sedang terjadi, hak atas kebenaran (the right to know). Ini sebagai landasan bagi pencegahan keberulangan suatu peristiwa, karena adanya cerita kebenaran. Ini adalah basis utama bagi pelaksanaan rekonsiliasi nasional.
Di situ terkandung pula pengakuan hak-hak sipil politik sebagai warga negara. Tidak lagi sebagai warga negara kelas dua, tidak lagi wujuduhu ka adamihi (ada wujudnya tapi tidak diakui keberadaannya. Sejak saat itu pula tidak ada lagi diskriminasi dan peminggiran korban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekaligus hal itu dapat mendorong semua komponen bangsa untuk berfikir demimarwah dan martabat bangsa untuk mengakui kesalahan-kesalahan masa lalu dan memberikan jalan kemanusiaan yang berkeadilan kepada generasi ke depan untuk membangun Indonesia yang tanpa beban dan luka sejarah.

Korban 65 sampai sekarang mengalami stigmatisasi, menurut anda bagaimana seharusnya proses rehabilitasi itu dilakukan?

Sebagaimana saya sebutkan di atas, soal stigma ini adalah akibat dari suatu praktek pewarisan konflik politik. Ditambah lagi adanya sikap diam dari pemerintah yang tidak segera mengakhiri praktek tersebut. Publik semakin dibiarkan memiliki anggapan bahwa apa yang diterima oleh korban sebagai hal yang wajar, karena dianggap sebagai konsekuensi logis dari pilihan dan tindakan politik mereka. Bukan dianggap sebagai adanya pelanggaran HAM. Akibatnya selama satu dekade lebih upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak bukan merupakan diskursus yang utama di publik, karena dianggap bukan sebagai bagian dari permasalahan yang selama ini melilit bangsa ini.
Akan tetapi secara obyektif, kalau kita refleksikan peristiwa 1965-66 merupakan permasalahan yang sangat kompleks, sehingga berbagai upaya penyelesaian pelanggaran HAM atas peristiwa tersebut menunjukkan tidak dapat dilakukan dengan melalui jalan tunggal, apalagi yang sifatnya instan dan cepat. Dibutuhkan satu peta jalan yang komprehensif sifatnya, karena problemnya harus diletakkan pada pembangunan proyek kebangsaan dan peletakan peradaban politik baru, dimana terdapat kejelasan tanggung jawab negara terhadap korban. Kita mengenaltasharruful imam manutun bil maslahah, kebijakan penyelenggara negara itu harus mengacu pada kebutuhan rakyatnya.
Ada banyak inisiatif dari masyarakat sipil, termasuk organisasi korban, dalam upaya penyelesaian terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan usulan dari lembaga negara sendiri seperti dari Komnas HAM juga sudah begitu jelas bagaimana menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Pertemuan-pertemuan korban sudah banyak dilakukan, bahkan serangkaian kegiatan bersama antar berbagai komponen yang dulu terlibat dalam peristiwa 1965-66 telah duduk bersama, saling bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ini merupakan modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk langkah kongkrit oleh negara dalam penyelesaian. Tinggal kemauan pemerintah. Itu saja.
Sumber: Gusdurian 

0 komentar:

Posting Komentar