by: Kawan Pembebasan |
September 1, 2014
Sejak 17 Agustus 1945 aku menjadi
warganegara Indonesia, sebagaimana halnya dengan puluhan juta orang
penduduk Indonesia waktu itu. Waktu itu umurku 20. Tetapi aku sendiri
berasal dari etnik Jawa, dan begitu dilahirkan dididik untuk menjadi
orang Jawa, dibimbing oleh mekanisme sosial etnik ke arah ideal-ideal
Jawa, budaya dan peradaban Jawa.
Kekuatan pendidikan yang dominan dan
massal adalah melalui sastra, lisan dan tulisan, panggung, musik dan
nyayian, yang membawakan cuplikan-cuplikan dari Mahabharata: sebuah
bangunan raksasa yang terdiri dari cerita falsafi dan tatasusila,
acuan-acuan religi, dan dengan sendirinya resep-resep sosial dan
politik.
Enerzi, dayacipta, pergulatan, telah dikerahkan berabad,
melahirkan candi-candi dan mythos tentang para raja yang sukses, dan
mendesak dewa-dewa setempat menjadi dewa-dewa kampung. Untuk itu
“jutaan” manusia sepanjang sejarah etnikku terbantai. Tentu saja tidak
angka resmi bisa ditampilkan. Yang jelas, sejalan dengan pendapat pakar
Cornell, Ben Anderson, klimaks Mahabharata adalah “mandi darah
saudara-saudara sendiri”. Memang pada jamannya sendiri bangsa-bangsa
lain juga pernah mengalami peradaban dan budaya ‘kampung’ demikian. Yang
berhasil keluar dari kungkungannya, jadilah bangsa yang merajai dunia.
Pada awal abad 17 masyarakat Belanda
menghimpun dana untuk membiayai pelayaran-pelayaran mencari
rempah-rempah, melintasi sejumlah samudra dan menghampiri sejumlah
benua. Di negeriku, beberapa belas tahun kemudian, tepatnya pada 1614,
raja Jawa yang paling kuat dan berkuasa, raja pedalaman, generasi kedua
dan raja ketiga Mataram, Sultan Agung, justru menghancurkan negara
bandar dagang Suarabaya, hanya karena membutuhkan pengakuan atas
kekuasaannya. Ironi histori Jawa termaktub di sini: pada waktu Belanda
mengelilingi dunia mencari rempah-rempah, Surabaya suatu bandar transit
rempah-rempah yang sama untuk konsumsi internasional dihancurkan oleh
seorang raja pedalaman Jawa, Sultan Agung.
Mataram sendiri adalah kerajaan kuat
kedua di Jawa yang menyingkiri laut karena tidak ingin menghadapi
kedahsyatan Portugis di laut. Sultan Agung ini juga yang gagal total
menghalau koloni kecil Belanda di Batavia pada 1629. Kekalahan itu
membuat Mataram kehilangan Laut Jawa, laut pelayaran internasional pada
masanya. Untuk menghilangkan malu yang diderita, untuk memperthankan
kewibawaan Mataram, para pujangga etnik Jawa berceloteh, bahwa pendiri
Mataram, ayah Sultan Agung, mempersunting puteri Laut Selatan (pulau
Jawa), Nyi Roro Kidul. Untuk menyatakan, kata Prof. H. Resink, bahwa
Mataram masih punya keterlibatan dengan laut.
Dalam kronik etnik Jawa, Sultan yang
satu ini diagungkan begitu tinggi dengan membuang segala faktor yang
memalukan. Juga dalam pengajaran sejarah dalam Republik Indonesia
sekarang. Orang akan membelalak bila mengikuti materi tertulis orang
Barat tentang dia. Sedang pendiri Mataram, Sutawijaya, dengan dalih
ingkar janji sebagai didendangkan oleh para pujangga etnik Jawa, marak
jadi raja setelah membunuh ayah angkat yang membesarkannya, yang
memberinya fasilitas sebagai seorang pangeran. Kronik yang diwariskan
pada kami tidak pernah ada yang menyinggung tentang nurani, yang
nampaknya memang tak terdapat dalam pembendaharaan bahasa Jawa.
Diawali dengan kekalahan Sultan Agung,
hilangnya kekuasaan atas jalur dagang di L. Jawa, beroperasinya
kapal-kapal meriam Barat, golongan menengah Jawa, yang senyawa dengan
pemilikan kapal dan pedagang antar-pulau serta internasional terhalau
dari bandar-bandar dan tergiring ke pedalaman, menjadi mundur, dan
terjatuh dalam kekuasaan satria pedalaman dan ikut mundur.
Namun para pujangga pengabdi sistim
kekuasaan, menyingkirkan kenyataan yang menggejala ini. Setelah Sultan
Agung marak, Mataram ke 4 justru bersahabat dengan Belanda. Para
pujangga tetap tidak mengambil peduli.
Nyai Roro Kidul, justru dibakukan
sebagai kekasih setiap raja Mataram, generasi demi generasi,
dikembangkan kekuasaannya sedemikain rupa sehinggga menjadi polisi. aneh
tapi nyata bahwa semua ini terjadi sewaktu Jawa praktis mulai memeluk
Islam.
Penyebaran agama baru ini tidak disertai peradabannya sebagaimana
halnya dengan hindusisme, karena praktis sebagai akibat sekunder dari
terhalaunya para pedagang Islam dari jalur laut oleh kekuatan Barat yang
Nasrani, kelanjutan dari penghalauan atas kekuasaan Arab di Semenanjung
Iberia. Dapat dikatakan penyebaran Islam di Jawa adalah akibat sekunder
dari gerakan Pan-Islamisme internasional pada jamannya.
Lebih mengherankan lagi bahwa pada waktu
tulisan ini dibuat, Nyai Roro Kidul telah dianggap menjadi kenyataan.
Sebuah hotel di pantai selatan Jawa Barat menyediakan kamar khusus untuk
Dewi Laut Selatan tersebut. Bagaimana bisa terjadi suatu negara yang
berideologi Pancasila, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai silanya
yang pertama menerima kehadiran seorang dewi laut, kekasih para raja
Mataram. Para pujangga tidak pernah teringat bahwa dengan kekuasaan
tanpa batas Dewi Laut Selatan, Mataram tidak pernah menang dalam
konfrontasinya dengan kekuasaan Barat yang datang dari ujung dunia.
Sejak kegagalan Sultan Agung, Jawa tetap
terkungkung dalam peradaban dan budaya ‘kampung’, ditelan mentah-mentah
oleh Belanda selama 3 1/2 abad. Sungguh tragi-komedi yang mengibakan.
Sedang Belanda datang hanya dengan kekuatan sebiji sawi, bangsa
berjumlah kecil, negeri kecil, di ujung utara dunia, setelah melintasi
Samudera Atlantik, Hindia, Pasifik. Juga dalam perut kekuasaan Belanda,
Jawa tetap memuliakan peradaban dan budaya ‘kampung’nya dengan klimaks
‘kampung’nya: “mandi darah saudara-saudara sendiri”, sampai 1965-66. ….
Dan karena sudah tidak dalam perut kekuasaan Eropa lagi, jelas
pembantaian mencapai skala tanpa batas.
Penjajahan Belanda, atau Eropa, atas
negeriku telah banyak meredam klimaks-klimaks ini. Tanpa penjajahan,
negeriku akan tiada hentinya mencucukan darah putera-puterinya.
Perebutan tempat kedua setelah Belanda dalam kekuasaan administrasi di
Jawa dalam pertengahan abad 18, yang konon mengucurkan seperempat dari
jumlah penduduk wilayah kerajaan Jawa. Sedang seorang pangeran yang
mendapat tempat ketiga setelah Belanda, Mangkunegara I, baru-baru ini
malahan diangkat menjadi pahlawan nasional. Maka itu seorang wisatawan
mancanegara yang mempunyai pengetahuan tentang Jawa dan Indonesia akan
mengangguk mengerti mengapa dalam tahun 80-an menjelang akhir abad 20
ini patung para Satria Pandawa berangkat perang naik kereta perang di
Jalan Thamrin, Jakarta. Itulah patung dalam babak klimaksnya
Mahabharata, “mandi darah saudara-saudara sendiri”.
Dalam penjajahan selama 3 1/2 abad
kekuatan etnikku tidak pernah menang menghadapi kekuatan Eropa, di semua
bidang, terutama bidang militer. Para pujangga dan pengarang Jawa,
sebagai bagian dari pemikir dan pencipta dalam rangka peradaban dan
budaya ‘kampung’ menampilkan keunggulan Jawa, bahkan dalam menghadapi
Belanda, Eropa, Jawa tidak pernah kalah.
Cerita-cerita masturbasik yang
dipanggungkan, juga yang tertulis, juga cerita lisan dari mulut ke
mulut, menjadi salah satu penyebab aku selalu bertanya: mengapa etnikku
tidak mau menghadapi kenyataan? Sedikit pengetahuan yang kudapatkan dari
sekolah dasar dan sedikit bacaan dari literatuir Barat, mula-mula tanpa
kusadari, makin lama makin kuat, membuat aku melepaskan diri dari
peradaban dan budaya ‘kampung’ asal etnikku sendiri. Sekali lagi maaf.
Di luar Jawa pernah suatu kekuatan etnik menang mutlak atas Eropa.
Itu
terjadi di Ternate pada 1575. Portugis diusir dari bentengnya dan
menyerah. Karena ini tidak terjadi di Jawa, tentara yang menyerah itu
tidak dibikin mandi darahnya sendiri, tetapi digiring ke pantai,
diperintahkan menunggu sampai dijemput armada Portugis. Dan karena
terjadi jauh di luar Jawa, di Maluku, tidak pernah disinggung dalam mata
pelajaran sejarah resmi sampai 1990 ini. Mungkin perlu waktu sampai
seorang peneliti asing menerbitkan karyanya. Atau mungkin sudah pernah
terbit hanya aku saja yang tidak tahu.
Sekiranya dahulu aku terdidik suatu
disiplin ilmu, misalnya ilmu sejarah, aku akan lakukan penelitian yang
akan menjawab: mengapa semua ini terjadi dan terus terjadi. Tetapi aku
seorang pengarang dan pendidikan minim, jadi bukan materi-materi
historis yang kukaji, tetapi semangat-semangatnya, yang kumulai dengan
tetralogi Bumi Manusia, khusus menggarap arus-arus yang datang dan pergi
dalam periode Kebangkitan Nasional Indonesia. Dan jadilah kenyataan
baru, kenyataan sastra, kenyataan hilir, yang asalnya adalah hulu yang
itu juga, kenyataan historis. Kenyataan sastra yang mengandung di
dalamnya reorientasi dan evaluasi perdaban dan budaya, yang justru tidak
dikandung oleh kenyataan historik. Jadinya karya sastra adalah sebuah
thesis, bayi yang memulai perkembangannya sendiri dalam bangunan-atas
kehidupan masyarakat pembacanya. Dia sama dengan penemuan-penemuan baru
di segala bidang, yang membawa masyarakat selangkah lebih maju.
Sengaja kuawali dengan thema Kebangkitan
Nasional Indonesia–yang walau terbatas di bidang regional dan nasional
namun tetap bagian dari dunia dan umat manusia–setapak demi setapak juga
kutulis pada akar historinya, yang untuk sementara ini belum siap
terbit, atau mungkin tidak akan bisa terbit. Dengan demikian telah
kucoba untuk dapat menjawab: mengapa bangsaku jadi begini, jadi begitu.
Maka juga aku tidak menulis sastra hiburan, tidak mengabdi pada status
quo, bahkan berada di luar dan meninggalkan sistem yang berlaku.
Akibatnya memang jelas: dianggap menganggu status quo dalam sistem yang
berlaku. Dan karena menulis adalah kegiatan pribadi–sekalipun pribadi
adalah juga produk seluruh masyarakat, masa sekarang dan masa
lalunya–konsekwensinya pun harus dipikul sendirian. Dan kalau ada
simpati datang padanya, darimana pun datanganya, bagiku itu suatu nilai
lebih, yang sebenarnya tak pernah masuk dalam hitunganku. Untuk itu
tentu saja kuucapkan terimakasih.
Sebelum sampai pada tetralogi, telah
kutulis sejumlah karya yang semua bakalnya bermuara padanya. Dalam kurun
ini pun sudah mulai permusuhan dari kalangan yang pada masa itu sedang
giat memburu status quo. Dan mengherankan, bahwa pada mulanya
karya-karya itu disambut dengan cukup baik, bahkan beberapa kali malah
mendapatkan hadiah penghargaan. Terutama semasa demokrasi terpimpin
dalam tahun-tahun akhir 50-an dan paroh pertama 60-an periode doktrin
Trisakti–berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi,
berpribadi di bidang kebudayaan–suatu doktrin universal bagi negara
nasionalis di manan pun berada, namun menjadi momok bagi negara-negara
padat modal yang haus ladang usaha di seluruh muka bumi. Sejarah
mengajarkan banyak tentang kekuasaan modal.
Bangsa-bangsa merdeka diubah
menjadi bangsa kuli, orang-orang lugu dibentuk menjadi komprador,
pengangguran diubah menjadi pembunuh bayaran dengan sergam dan tanda
pangkat, rimba-belantara diretas-retas dengan infrastrktur, kota-kota,
pelabuhan, muncul dari tiada atas perintahnya, tenaga kerja disedotnya
dari mana saja, sampai-sampai dari dusun yang tak pernah terdengar jelas
namanya. Pemerintah dari sekian banyak negara dibuatnya hanya jadi
pelaksana kemauannya, dan bila sudah tak dihekendakinya, dijatuhkannya.
Itu cerita yang membosankan, yang menjadi bagian pengalaman banyak
bangsa di dunia, dan pengalaman setiap orang yang memikul akibatnya
bersama-sama, baik yang mendapatkan keuntungan darinya mau pun yang
dirugikan olehnya. Dan setiap pengalaman bagi seorang pengarang menjadi
fondasi bagi proses kreativitasnya, tak perduli pengalaman itu indrawi
atau pun batiniah.
Apakah Indonesia dengan kemerdekaannya
akan menyesuaikan diri dengan kekuasaan modal yang tidak berkebangsaan
itu atau akan menentangnya seperti selama itu dibuktikan dengan revolusi
1945? Sudah sejak tahun-tahun revolusi, Soekarno menolak tawaran
monopoli dari Ford dengan imbalan pembangunan jalan raya
trans-Sumatra-Jawa. Dalam perkembangan semasa kemerdekaan nasional, dia
juga yang mengenyampingkan alternatif penyesuaian: blok kapitalis dan
blok komunis. Bukan suatu kebetulan bila dia jugalah yang melahirkan
istilah Dunia Ketiga. Apa pun keberatan orang tentang sejumlah
kelemahannya, jelas ia mempunyai faktor intern keindonesiaan prima. Ia
tak menghendaki negaranya menjadi hemesphere blok mana pun. Dan
Indonesia semakin terperosok dalam kesulitan ekonomi.
Dalam kesulitan
ekonomi luar biasa ini aku memberikan dukunganku, dan dengan sendirinya
ikut mendapatkan bagian dari kesulitan tersebut. Dukungan juga datang
dari hampir semua organisasi dan gerakan, termasuk gerakan yang
mendukung untuk menjatuhkan Soekarno.
Dalam masa ini LEKRA mengangkat
aku jadi anggota plenonya. Orang bilang organisasi ini adalah organisasi
mantel PKI. Sampai sekarang pun aku masih heran, mengapa apa saja yang
bersangkutan dengan PKI dicap sebagai sesuatu yang jahat. Yang jelas
partai ini kontestan pemilihan umum yang tampil sebagai salah satu
pemenang, bukan partai bandit tanpa idealisme. Artinya partai itu bukan
kekuatan yang sudah berkuasa dan menerapkan sistim kekuasaannya. Perlu
kukedepankan soal kekuasaan, karena yang ini cenderung membuat orang
jadi bandit, apalagi kalau puluhan tahun dipegangnya, dan tanpa pernah
berkenalan dengan semangat Verlichting, Aufklärung, masih terkungkung
dalam peradaban dan budaya ‘kampung’.
Puluhan tahun sebagai warganegara
Indonesia dengan tanah airnya yang berupa jajaran gunungapi dan
penduduknya yang berupa sebaran gungapi lainnya, setiap waktu bisa
meletus tanpa pemberitahuan, membuat bawahsadar penuh sesak dengan
pengalaman indrawi dan batini.
Dalam penahanan selama 14 tahun 2 bulan,
terampas dari semua dan segala, semua pengalaman yang telah lalu aku
renungkan dari bawah larsa militer yang menginjakku. Semua menjadi lebih
jelas, bahwa semua itu hanya pengalaman alamiah belaka, suatu lingkaran
setan histori dari peradaban dan budaya ‘kampung’ tanpa reorientasi ke
dalam atau pun ke luar.
Sedang kelahiran apa pun yang dinamakan Orde
Baru ini tidak lain dari ulangan kejadian sejarah pada dasawarsa kedua
abad 13, dimythoskan oleh pujangga Jawa beberapa abad kemudian sebagai
legenda Gandring.
Seorang pemuda, digambarkan sebagai
berandalan, memesan keris pada seorang empu keris bernama Gandring.
Pemesan itu, Ken Arok, membunuhnya sebelum keris itu usai. Tentu saja
semua dilakukan dengan rahasia. Senjata tajam itu secara rahasia pula
dipinjamkan pada Kebo Ijo, yang ke mana-mana pamer dengan keris
pinjaman, dan bertingkah seakan miliknya sendiri.
Pada suatu kesempatan
Ken Arok mencurinya dan dengannya ia membunuh penguasa Singasari. Kebo
Ijo dihukum mati dan Ken Arok menggantikan Tunggul Ametung sebagai
penguasa. Empu Gandring, sebelum menghembuskan nafas penghabisan, sempat
menyatakan kutukan: “Arok, anak dan cucunya, 7 raja, akan terbunuh oleh
keris itu!”
Memang sejarah membuktikan beberapa raja terbunuh, tidak
sampai 7, namun pola dari kedua dasawarsa abad 13 tersebut terjadi dan
terjadi tanpa tercatat, dalam berbagai varian. Dan dalam abad 20 ini,
masih tetap di Jawa, Empu Gandring tersebut menitis dalam di;-Soekarno,
sang pandai Pancasila.
Anak desa Pangkur ini (sampai abad 20 di
Jawa hanya ada satu desa dengan nama ini, Kecamatan Pangkur, Kabupaten
Ngawi) tidak pernah diberitakan mendapatkan pendidikan standard
semasanya. Yang diberitakan adalah ia putera Brahma, Ciwa, dan Wisnu
sekaligus. Yang jelas ia anak cerdik, pemberani, dan pandai. Mungkin
karena pendidikan standardnya minim, boleh jadi malah nihil, dengan
lindungan para dewa utama, dengan kekuasaan di tangan, telah menutup
babak Hindu Jawa dan mengawali babak Jawa Hindu. Candi makam terbesar di
Jawa Timur, Kagenengan, adalah candi makamnya, sekalipun sekarang sudah
tak ada sosok bentuknya lagi.
Ken Arok abad ke 13 datang padaku waktu
aku dalam pengasingan di Buru. Tanpa Buru barang tentu ia takkan temukan
aku, dan dia akan tinggal terkerangkeng dalam legenda. Para dewa utama
abad 13 itu masih tetap dewa utama abad 20, penguasa modal, teknologi,
informasi. Hanya, waktu kutulis kisah Arok dan Dedes dalam pengasingan
di Buru, penampilannya aku persolek dengan tafsiran baru agar dapat
keluar dari kerangkeng legenda.
Tentu saja akan ada yang tidak setuju
dengan pikiran ini. Dan memang aku tak mengharapkan persetujuan siapa
pun. Sebaliknya siapa pun dapat pikirannya masing-masing, apalagi kalau
yang bersangkutan tidak pernah diperlakukan seperti diriku, khususnya 10
tahun dibuang dan kerjapaksa di Buru. Seorang sesama tapol–sudah tak
teringat olehku siapa namanya–mengajukan pertanyaan: apakah siklus Arok
tidak bisa digantikan dengan gambaran lain? Bisa, dan setiap orang bisa
membuatnya untuk dirinya sendiri bila punya perhatian, kepentingan dan
kemauan, asal tidak melupakan pola peradaban dan budaya ‘kampung’ yang
itu-itu juga, lingkaran setan, yang hanya bisa diputuskan oleh
reevaluasi atasnya, Verlichting, Aufklärung, yang menghasilkan
kreativitas yang menjebol plafonnya sendiri.
Tentu saja Orde Baru akan menanggapi
dengan klisenya: itu pembelaan untuk PKI. Itu hak Orde Baru untuk
membela diri. Yang jelas, pada masanya partai ini sah, legal, salah satu
kontestan pemenang dalam pemilu, dan karenanya juga mempunyai beberapa
orang menteri dalam kabinet. Dia takkan mengkup kemenangannya sendiri.
Kup cenderung dilakukan oleh partai yang kalah dalam pemilu, bahkan
tidak ikut pemilu.
Dr. J. Krom pernah menyatakan, bahwa
petualangan Arok sebelum berkuasa merupakan “schelman roman”. Betul.
Juga betul, bahwa dalam konsep kekuasaan a la Jawa, dan mungkin juga
pada bangsa dari etnis-etnis lain di dunia dengan peradaban dan budaya
‘kampung’nya, hanya kekuasaan adikodrati saja yang memungkinkan sesuatu
bisa terjadi, maka maraknya seseorang di singgasana kekuasaan hanya
terjadi dengan ridlanya. Ini satu lagi acuan ideal-ideal dan peradaban
Jawa tentang kekuasaan.
Kekuasaan adalah ridla Tuhan dan kalau sudah
dicapai, jadilah ia orang kedua sesudah Tuhan. Dengan kekuasaan, semua
kejahatan akan terbasuh, bahkan dibenarkan, halal. Selanjutnya menyusul
tulisan dan ucapan dari mereka yang ikut mendapatkan keuntungan darinya.
Pernah didongengkan padaku semasa kecil,
juga dari bacaan, bahwa yang jahat akan dikalahkan oleh yang baik. Yang
tidak pernah didongengkan: yang baik dengan sendirinya juga akan
dikalahkan oleh yang jahat. Suatu mata rantai yang sambung-menyambung.
Kalau rangkaian itu tidak ada, tak tahu lagi orang mana yang baik dan
mana yang jahat. Suatu lingkaran setan yang tak habis-habisnya.
Sebagai pengarang tentu saja dilontarkan
padaku pertanyaan yang tidak kalah klisenya: apakah akan menulis
tentang masa sekarang? Kan sudah banyak menulis tentang masa lewat yang
sudah jadi sejarah? Lagi pula yang sekarang toh juga sejarah, sejarah
kontemporer?
Memang banyak dan akan semakin banyak
sarjana menerbitkan penelitiannya tentang berbagai aspek Orde Baru.
Mereka banyak membantu kita dalam memahami banyak hal. tetapi sebagai
pribadi dan pengarang yang ikut memikul beban perubahan, aku
memandangnya dengan timbangan nasional. Era Soekarno dengan Trisaktinya
tak lain sebuah thesis. Orde Baru antithesis. maka itu bagiku memang
belum bisa ditulis, suatu proses yang belum bisa ditulis secara sastra,
belum merupakan suatu keutuhan proses nasional, karena memang masih
menuju pada sinthesisnya.
Masih di Buru, seorang wartawan
Indonesia yang bertingkah-laku sebagai jaksa, mengajukan pertanyaan,
apakah aku tidak menaruh dendam terhadap Orde Baru? Ini adalah proses
nasional, bukan urusan dendam pribadi. Apa yang kami ceritakan cuma
pencerminan tingkat peradaban dan budaya kita sendiri. Kemajuan dan
keanekaragaman teknologi, statistik pembangunan ataupun hutang luar
negeri, peningkatan infrastrukutr perhubungan dari warisan kolonial,
perusakan hutan dan paket banjir tahunan, semua menduduki tempat sebagai
rias antithesis dalam proses nasional.
Semasa kolonial, Belanda
mengekspor pembunuh bayaran berbedil, berseragam dan dengan
pangkat-pangkat militer, untuk menaklukkan dan mengendalikan luar Jawa
dan Madura. Baru pada 1904, dan sporadis sebelum itu, Belanda
mengirimkan orang Jawa tanpa bedil ke luar Jawa-Madura, tapi dengan
pacul.
Nampaknya kenal betul peta demografis dan geografis Indonesia
sehingga dapat menarik kesimpulan klasik yang bisa diambil
keuntungannya. Dan Belanda nampaknya juga tahu, para penggantinya tidak
akan dapat berbuat lain kecuali meneruskannya; bukan lagi menduduki
tempat sebagai ria thesis atau pun antithesis, nampaknya sebagai kodrat
yang terbawa oleh kelahiran Indonesia.
Satu ironi lagi: Indonesia, yang secara
politis dan administratif dipersatukan oleh Soekarno tanpa pertumpahan
darah–sebuah fenomena khusus dalam sejarah umat manusia–harus
dipertahankan persatuan dan kesatuannya dengan tradisi kolonial, yaitu
dua macam export dari Jawa: pembunuh bayaran berbedil dan orang Jawa
berpacul. Dengan tradisi seperti itu, Indonesia mempunyai cacat genetik
yang parah. Semaoen–penasihat pribadi Presiden Soekarno–pernah
memberikan terapi untuk cacat genetik itu: pindahkan ibukota keluar dari
Jawa, ke Palangkaraya, di Kalimantan Tengah.
Tetapi Semaoen almarhum
sudah tidak sempat mengalami apa yang terjadi dengan hutan-hutan di
Kalimantan sekarang. Mengunyah masalah ini dalam sastra sudah pasti
membutuhkan waktu lama dan belum tentu memuaskan pengarang mau pun
pembacanya. Dan kondisi peradaban dan budaya ‘kampung’ akan menempatkan
pengarangnya jadi sasaran kekuasaan yang merasa terancam kemapanannya.
Tentu saja yang dimaksud adalah para pengarang yang coba-coba membuat
penilaian dan penilaian kembali peradaban dan budaya ‘kampung’ yang
telah memapankan selapisan golongan atas dalam masyarakatnya. Juga para
cendikiawan, juga kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang telah
cerah, tetapi terutama adalah para pengarangnya, karena profesinya tidak
terikat pada sesuatu disiplin ilmu.
Kepeduliannya pada pengekspresian
kesedaran dan bawahsadarnya pribadi, para penguasa–artinya pembesar,
bukan pemimpin–sibuk membuat kordon penyelamat kemapanannya. Pengarang
dengan demikian, sebagai pribadi yang hanya punya dirinya sendiri,
mendapatkan tekanan terberat.
Namun apa pun perlakuan yang ditimpakan
padanya, pengalaman pribadinya adalah juga pengalaman bangsanya, dan
pengalaman bangsanya adalah juga pengalaman pribadinya. Sebagian, kecil
atau besar atau seluruhnya, akan membuncah dalam tulisan-tulisannya dan
akan kembali pada bangsanya dalam bentuk kenyataan baru, kenyataan
sastra. Hakikat fiksi karenanya adalah juga hakikat sejarah.
Apabila sebagai pengarang harus
kutangguhkan begitu banyak ketidakadilan di tanahair sendiri,
penganiayaan lahir-batin, perampasan kebebasan dari penghidupan, hak dan
milik, penghinaan dan tuduhan, bahkan juga perampasan hak untuk membela
diri melalui mass-media mau pun pengadilan, aku hanya bisa mengangguk
mengerti. Sayang sekali kekuasaan tak bisa merampas harga diri,
kebanggaan diri, dan segala sesuatu yang hidup dalam batin siapa pun.
Kekuatiran akan terganggunya kemapanan,
yang sejak masa kolonial dikenal sebagai “rust en orde” dan
diindonesiamerdekakan menjadi “keamanan dan ketertiban” tidak jarang
melahirkan tuduhan-tuduhan menggelikan.
Baik sebelum mau pun selama di Buru
dakwaan yang terus-menerus disemburkan Orde Baru adalah: hendak mengubah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, tanpa pernah mengajukan
pembuktian. Biasanya diucapkan di depan appel atau sewaktu santiaji
alias indoktrinasi. Salah satu sila dari Pancasila adalah Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab.
Untuk ukuran kemanusiaan, tanpa tambahan adil dan
beradab pun, perlakuan mereka terhadap kami cukup memuakkan, bahkan
menjijikkan. Dakwaan merubah UUD? Pernah sekali waktu seorang perwira
aku dengar bersumbar: Timor Timur? Uh, dalam dua hari bisa kami atasi.
Dan benar, Timor Timur kemudian dicaplok, bagian timur P. Timor yang tak
pernah diklaim oleh para pendiri Republik yang menyusun UUD 45 itu.
Dari dua dakwaan itu tanpa ragu membuat aku membikin kesimpulan: apa
yang dituduhkan itu justru apa yang mereka lakukan atau ingin lakukan.
Karena sejumlah kejadian cocok dengan kesimpulan, kadang aku cenderung
untuk menilainya sebagai rumus. Tapi kemudian kuperlunak menjadi: apa
yang terucapkan sebagai X adalah minus X.
Dalam percakapan pribadi beberapa
pejabat menyayangkan keanggotaanku pada LEKRA. Jadi menurut gambaran
orde Baru, LEKRA adalah organisasi kejahatan. Sampai sekarang pun aku
tak pernah menyesal menerima pengangkatan sebagai anggota pleno LEKRA,
kemudian diangkat jadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan salah seorang
pendiri Akedemi Multatuli, semua disponsori LEKRA. Malahan aku bangga
mendapat kehormatan sebesar itu, yang takkan diperoleh oleh setiap
orang, dan tidak mengurangi kebanggaanku sekiranya benar ia organisasi
mantel PKI. Semua itu sudah lewat, tetapi belum menjadi sejarah, karena
sebagai proses belum menjadi kebulatan sinthetik. Pada waktu aku masih
di Buru ternyata orang pertama LEKRA dan orang pertama Lembaga Sastra
sudah lama bebas. Sekiranya aku bukan pengarang, boleh jadi semua
perlakuan yang menjijikkan itu tidak akan aku alami. Tetapi pada segi
lain, semua yang aku alami merupakan bagian dari fondasi kepengaranganku
untuk masa-masa mendatang, sekiranya umur masih memungkinkan dan
kesehatan fisik mau pun mental masih bisa diandalkan.
X minus X memang membantu aku dalam
memahami Orde Baru, yang mereka anggap akan abadi dalam kebaruannya.
Sebagai tapol angkatan terakhir yang akan meninggalkan P. Buru, kami
masih harus melakukan korve membuat dua macam surat pernyataan sekian
salinan, menyatakan tidak akan menyebarkan Marxisme, Leninisme,
Komunisme, momok yang mereka bikin-bikin sendiri untuk menjadi
ketakutannya sendiri. Surat lain adalah pernyataan, bahwa sebagai tapol
kami telah diperlakukan secara wajar di P. Buru. Secara hukum,
surat-surat korve tersebut memang surat dagelan, tetapi dengannya kami
bisa membeli nomor untuk embarkasi ke kapal yang berangkat ke Jawa.
Betapa indahnya sekiranya surat-surat korve itu tersimpan baik dalam
arsif negara.
Kertas-kertas itu akan jadi bagian sejarah betapa sekian
manusia Indonesia telah membuat topeng dan jubah malaikat kesucian untuk
para penguasa dan kekuasaannya. Seorang pemimpin tidak membutuhkan
jubah dan topeng.
Di dermaga pelabuhan Namlea, di mana
kapal “Tanjungpandan” sudah siap mengangkut, 500 orang angkatan terakhir
yang akan diberangkatkan pulang ke Jawa sudah meninggalkan daratan.
Tinggal beberapa belas di antara kami, termasuk aku. Letkol Lewirisa
komandan kamp terakhir datang padaku dan bilang tanpa ditanya tanpa
diharapkan: “Pram, pelayaran akan langsung ke Jakarta.” Itu berarti X
minus X, kami, rombongan beberapa belas orang tidak menuju ke Jakarta.
Baru kami boleh naik ke kapal dan dikucilkan dari yang lain-lain.
Kamp kerja paksa yang kami tinggalkan
semula dinamai Tefaat, tempat pemanfaatan tenaga kerja kami, sisa hidup
kami, dengan harus membiayai hidup, perumahan, jaringan jalanan ekonomi
dan lingkungan, membuat sawah dan ladang dari padang ilalang dan hutan,
dan masih harus memberi makan para serdadu yang menjaga kami, masih
ditambah dengan pembunuhan terhadap sejumlah dari kami. Menurut korve
tulis, itu harus dinyatakan wajar.
Juga mereka yang tewas dalam
kerjapaksa untuk mendapatkan uang. Juga pembayaran pajak oleh tapol yang
melakukan pertukangan dan kerajinan tangan. Untuk siapa dan kepada
siapa tidak jelas. Menurut korve tulis ini juga harus dinyatakan wajar.
Dan bangunan-bangunan, puluhan banyaknya, besar dan kecil, dengan
peralatan rumahtangga, semua dibangun dan dibiayai oleh tapol, juga
harus dianggap wajar bila dijual pada instansi lain tanpa ganti rugi
pada tapol. Juga perampasan begitu saja sapi-sapinya.
Dan semua ini
memang sedang menuju pada sejarah, tapi belum sejarah. Masih panjang
lagi daftarnya. Semua kebanditan, besar dan kecil akan terpulang pada
bangsa ini, bangsaku, yang melahirkan suatu kekuasaan macam ini. Bukan
maksudku mendirikan dunia utopi dengan bangsa ini, menduduki bagian
dunia dengan tanpa cacat–bangsa-bangsa lain pun punya segi gelapnya–yang
aku maksudkan adalah bangsa ini belum melahirkan cercah kecerahan,
Verlichting, Aufklarung. Para brahmin tetap masih menduduki tempat
sebagai asesori kekuasaan kasta satria, yang hidup dari dan untuk
kekuasaan semata, karena memang tidak produktif apalagi kreatif, seperti
sebelum datangnya kolonialisme. Tidak mengherankan bila ribuan naskah
isinya berputar sekitar ke”hebat”an para satria dalam membunuh yang
dianggap lawannya, dan ribuan lagi naskah yang isinya resep tentang
hidup bahagia (dalam alam kehidupan sumpek) dan nasihat-nasihat
berkelakuan indah dan baik (dalam alam kehidupan banditisme), tentang
alam gaib dan teknik berhubungan dengannya (dalam suasana belum lagi
mengenal lingkungan sendiri).
Apa yang dikatakan Letkol Lewerisa tepat
minus X. Kami beberapa belas orang sebelum kapal sampai ke Jakarta,
diturunkan di Tanjungperak, Surabaya, untuk disimpan di pulau penjara
Nusa Kambangan, di selatan Jawa.
Hanya karena jasa pers internasional,
yang meributkannya, akhirnya kami sampai ke Jakarta, memasuki penjara
baru yang lebih longgar. Dalam tahanan kota sejak akhir 1979 sampai
1991, tanpa suatu keputusan pengadilan mana pun. Banyak terjadi korban
tuduhan baru, yang, sebagai pengarang tentu saja memperkaya materi yang
harus diendapkan. Setidak-tidaknya, membuat sejarah hidup pengarang
menjadi semakin panjang.
Dalam tahanan kota dengan kebebasan
nisbiah dapat kuikuti koran dalam dan luar negeri. Tuduhan ternyata
datang berantai dari Indonesia sendiri sampai dari bagian-bagian Asia
Timur dan Eropa: semasa Soekarno aku melarang terbit sejumlah buku
sesama pengarang. Aku menteror para pengarang Indonesia yang tidak
sepikiran dengan artikelku “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”.
Bahkan seorang tokoh sastra terkemuka, memberikan kuliah pada suatu
universitas negeri, menyatakan telah dipecat karena ulahku. Kebetulan
tokoh tersebut, seperti halnya sejumlah yang lain, semasa revolusi
justru menjadi pejabat pada dinas balatentara pendudukan Belanda,
sebagian lain, karena umurnya, barangtentu tidak menyertai revolusi.
Pecat-memecat dari sesuatu jabatan bukan
urusanku, dan memang tidak pernah. Tuduhan-tuduhan itu hanya tabir asap
terhadap apa yang mereka sendiri telah dan ingin lakukan. Pada
hari-hari awal peristiwa 1965 merekalah yang menteror dan menghancurkan
seluruh kertasku, termasuk naskah Panggil Aku Kartini Saja jilid III dan
IV, Kumpulan Karya Kartini, Wanita Sebelum Kartini, Kumpulan Cerpen
Bung Karno, 2 jilid terakhir trilogi Gadis Pantai, Sebuah Studi tentang
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Studi Percobaan tentang Sejarah Bahasa
Indonesia. Sedang direktur Balai Pustaka menjawab atas permintaaanku
untuk menarik kembali 2 jilid sastra Pra-Indonesia, mendapat jawaban:
telah dibakar atas permintaan atasan.
Seorang tokoh sastra penting yang semasa
Orla menempatkan diriku sebagai lawan, pernah menyampaikan nama-nama
tokoh sastra penting dewasa ini yang ikut menyerbu ke rumahku pada 1965
tersebut. Malahan sebelum menyerbu telah mendapat pesan dari tokoh
sastra generasi lebih tua agar mengambilkan naskah Ensiklopedi Sastra
Indonesia yang sedang aku susun.
Pada awal tahun 80-an Beb Vuyk di
Belanda melancarkan tuduhan, LEKRA mengirimkan ‘knokploeg’ untuk
menghajar lawan-lawannya. Di antara kurbannya adalah musikolog Bernard
Ijzerdraat. Di Belanda isyu tentang pengiriman knokploeg nampaknya tetap
hidup sampai menjelang akhir 1991.
Waktu terakhir kali Beb Vuyk datang
ke Indonesia dan menemui musikolog tersebut, ia mendapat sangkalan
darinya. Namun ia tak pernah merevisi tuduhannya. Sebaliknya beberapa
anggota LEKRA telah mereka bunuh, di antaranya adalah pematung nasional
Trubus dalam perjalanan ke Jakarta memenuhi panggilan Presiden Soekarno.
Sampai sekarang tidak ada yang pernah mengaku bertanggungjawab, juga
atas pembunuhan ratusan ribu saudaranya sendiri. Memang beda dari apa
yang dinamai kaum teroris di Utara, begitu beraksi begitu menyatakan
dirinya yang bertanggungjawab, mereka tidak memerlukan topeng atau pun
jubah malaikat.
Jangankan pembunuhan massal, pencurian sekecil-kecilnya
adalah kejahatan, dan semua itu bisa terjadi hanya karena peradaban dan
budaya ‘kampung’, peradaban dan budaya masyarakat bangsa-bangsa yang
terasing, merasa tidak aman dan terancam karena ulah sendiri, dan topeng
dan jubah kesucian menjadi seragam parade yang mengasyikkan untuk
dipanggungkan dalam drama-komik.
Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya
tugas mengelola semua materi yang belum selesai itu dalam suatu karya
sastra. Bukan mencerminkan atau memantulkan kejadian-kejadian, karena
sastra tidak bertugas memotret, tetapi mengubah kenyataan-kenyataan hulu
menjadi kenyataan sastrawi, yang membawa pembacanya lebih maju daripada
yang mapan.
Apakah sikap demikian sikap subversif,
atau kriminal? Itu pun terserah pada tuan-tuan yang berkuasa, yang
mempunyai serdadu, polisi, dan perangkat administratif. Tindakannya tak
lain dari apa yang tingkat peradaban budayanya bisa berikan. Sekiranya
lebih maju dari takaran peradaban dan budayanya, semoga demikian, boleh
jadi itu suatu isyarat positif, kutukan 7 turunan Gandring tidak akan
berlaku sampai 2 generasi, karena babak sinthesis sedang di ambang
pintu.
Yang jelas, semua yang telah terjadi akan abadi dalam ingatan
bangsa ini dan umat manusia sepanjang abad, tak peduli orang suka atau
tidak. Para pengarang akan menghidupkannya lebih jelas dalam
karya-karyanya. Para pembunuh dan terbunuh akan menjadi abadi di
dalamnya daripada sebagai pelaku sejarah saja. Topeng dan jubah suci
akan berserakan.
Sekali lagi, maaf.
Jakarta, November 1991
Pramoedya Ananta Toer
http://pembebasan.org/essay-pramoedya-ananto-toer-maaf-atas-nama-pengalaman.html
0 komentar:
Posting Komentar