Sabtu, 05 Desember 2015

3 warisan Wijaya Herlambang untuk anak muda di Indonesia

December 05, 2015 | Febriana Firdaus

Wijaya Herlambang harusnya menjalani kemo terapi saat bersaksi di sidang IPT 1965, tapi ia memilih untuk menjadwal ulang.



SAKSI IPT 1965. Wijaya Herlambang, akademisi dan penulis buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 menjadi saksi dalam sidang International People Tribunal pada 14 November lalu. Foto screen grab dari Youtube IPT 1965

JAKARTA, Indonesia—Dunia akademisi baru saja kehilangan seorang penulis dan pemikir muda berbakat Wijaya Herlambang. Ia adalah pengarang buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 dan salah satu saksi ahli dalam sidang Indonesia People’s Tribunal (IPT) di Den Haag, Belanda kemarin.

Wijaya menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat malam, 4 Desember dalam perjalanan dari Jakarta menuju Semarang untuk menjalani terapi kemo bagi penderita kanker.

Wijaya menderita kanker limpa sejak Februari 2015. Penyakit itu kemudian membuat kesehatannya menurut drastis hingga ia meninggal dunia kemarin malam.

Sepanjang hidupnya ia dikenal sebagai sosok yang berani. Berikut warisan Wijaya untuk generasi muda Indonesia:

1. Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965

BUKU WIJAYA. Buku berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 karangan Wijaya Herlambang ini disebut buku pertama yang diterbitkan oleh akademisi yang meneliti tragedi pembantaian 1965. Foto diambil dari Facebook
BUKU WIJAYA. Buku berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 karangan Wijaya Herlambang ini disebut buku pertama yang diterbitkan oleh akademisi yang meneliti tragedi pembantaian 1965. Foto diambil dari Facebook
Buku ini sangat populer di kalangan mahasiswa dan akar rumput, berisi tentang bagaimana orde baru melegitimasi anti-komunisme melalui sastra dan film.

Seperti diulas di Indoprogress, buku ini menguraikan praktik-praktik kekerasan budaya yang menjadi alat legitimasi berbagai kekerasan fisik yang dilakukan oleh negara dalam peristiwa pembantaian 1965-1966.

Buku ini akan membuat mata siapapun yang membacanya menjadi kian terbuka lebar. Buku itu pun memicu perdebatan yang cukup menarik—dan belum usai—antara Martin Suryajaya dan Goenawan Mohamad, sastrawan dari rumah Salihara.

Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan, yang baru berkenalan dengan Wijaya selama dua tahun karena sama-sama mempersiapkan IPT 1965, mengatakan bahwa isi buku itu sangat penting untuk meluruskan sejarah Indonesia.

“Seperti yang ditulis dalam buku itu, ia menguak bagaimana CIA (agen rahasia Amerika Serikat) membantu orde baru untuk mempropagandakan apa yang menjadi politik kebudayaan. Itu baru,” katanya pada Rappler, Sabtu, 5 Desember.

Buku itu juga sekaligus menjadi catatan akademis pertama untuk penelitian tentang tragedi pembantaian massal tahun 1965.


2. Keberanian dan integritas

Wijaya bukan hanya menulis, tapi ia juga menjadi saksi dalam sidang IPT 1965 untuk memaparkan pada seluruh dunia apa yang terjadi setelah 500.000 lebih anggota dan terduga anggota PKI dibunuh secara massal, sisanya ditahan di Pulau Buru.

Dalam sidang itu, ia menuturkan upaya propaganda anti-komunisme yang dilakukan oleh pegiat film dan sastrawan, yang didukung penuh oleh pemegang tampuk kepemimpinan orde baru saat itu, Suharto.
 
"Sekitar tahun 1980-an, Nugroho Notosusanto kemudian menciptakan sebuah manuskrip yang diberi judul Pengkhianatan PKI. Itu kemudian di-endorse oleh Suharto secara penuh,” katanya saat bersaksi di Den Haag, 14 November lalu.

Kemudian pada 1984, film itu disebarkan di seluruh Indonesia dan diwajibkan untuk ditonton anak-anak sekolah selama bertahun-tahun.
Manuskrip Nugroho itu kemudian dikembangan oleh sastrawan lainnya.
Padahal, kata Nursyahbani, malam sebelum bersaksi, ia jatuh sakit karena kanker menyerangnya.

Tak banyak yang tahu pada 14 November itu seharusnya ia dikemo. Namun ia meminta pada dokternya untuk menjadwal ulang kemo terapi pada 16 November.

Berikut video kesaksian Wijaya di sidang IPT 1965 di Den Haag kemarin:


3. Pemikirannya

Bagi yang belum pernah membaca buku Wijaya, Berto Tukan, kawan Wijaya menyarankan untuk membaca artikel-artikel lepas yang pernah ditulis oleh mendiang.
 
“Pemikiran dan pernyataan beliau itu inspiratif,” katanya pada Rappler. 
“Jarang dan sungguh sulit menjadi akademisi dan peneliti bidang seni budaya di Indonesia yang demikian,” katanya lagi.

Sumber: Rappler.Com 

0 komentar:

Posting Komentar