Selasa, 01 Desember 2015

Ini pengakuan Mbah Supar, saksi mata pembantaian PKI di Semarang

Senin, 1 Desember 2014 15:14 | Reporter : Parwito

Mbah Supar. ©2014 merdeka.com/parwito

Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan mahasiswa kembali menemukan saksi penting kasus kuburan massal korban Tragedi 1965 di Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Saksi mata itu adalah Mbah Supar (79), merupakan orang yang dahulu membawa lampu senter saat dilakukannya eksekusi.
Mbah Supar saat ini tinggal di RT 6 RW VII Kampung Dukuh, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah.

"Waktu itu saya masih muda. Saya diminta dua eksekutor menyalakan lampu senter waktu itu," ujar Mbah Supar saat menerima kunjungan sejumlah pegiat HAM dan mahasiswa Senin (1/12).

Mbah Supar mengaku dirinya saat itu diajak Kasmijan, tokoh masyarakat di Wonosari, tapi tidak paham maksud tujuannya. "Saya lupa bulannya, yang jelas waktunya tidak jauh setelah Peristiwa G30S. Waktu itu musim hujan, barangkali masih di tahun 1965 antara bulan-bulan November-Desember," katanya dengan bahasa Jawa yang kental.

Mbah Supar kala itu menunggu di lokasi yang sekarang adalah di sekitar sekolah Taman Kanak-kanak Tunas Rimba I Mangkang, hampir tengah malam. Dia bersama Kasmijan (almarhum) kemudian berjalan kaki menuju hutan jati dekat Kampung Plumbon Kelurahan Wonosari, berjalan kaki. Di sana sudah ada tiga lubang yang disiapkan untuk kuburan massal.

"Kata Kasmijan, mereka ini yang mau dieksekusi adalah anggota PKI (Partai Komunis Indonesia)," ujarnya.

Berbeda dengan kesaksian warga Kampung Plumbon umumnya yang menyebut jumlah korban adalah 24 orang, Mbah Supar mengatakan korban saat itu ada 12 orang. Korban diminta duduk-duduk di bibir kuburan massal, mata tertutup, dan pada berdoa.

"Mungkin saat itu pukul 23.30 WIB. Para korban sempat mengaji sekenanya, sehafalnya mereka, sekitar satu jam. Yang hafal Yasin ya yasinan, yang hafal Tahlil ya tahlilan, yang hafal Al Fatihah ya baca itu berulang-ulang. Jadi mengajinya tidak seragam, ya sekenanya, sebisanya ayat suci mana mereka hafal ya mereka lafalkan masing-masing. Yang perempuan qiraahnya bagus sekali, dia satu-satunya perempuan di situ," tuturnya.

Dibanding korban lainnya, korban perempuan terlihat merupakan orang berada bila dilihat dari dandanannya. "Mereka mengenakan baju merah muda, dan jarik. Gelang, kalung, dan cincin yang dipakainya menampakkan kalau ia ini orang berada," selorohnya.

Sedianya, ujar Mbah Supar, eksekusi direncanakan pukul 01.00 WIB dini hari. Namun lantaran pukul 00.30 WIB sudah sangat mendung, eksekusi dimajukan. "Saya sempat menoleh karena tidak tega, tapi dibentak dan diminta melihat," ungkapnya.

Korban dieksekusi dua eksekutor dengan senapan brem, dan langsung jatuh ke lubang kuburan massal. Setelah itu hujan amat deras, dan korban ditinggal begitu saja, tidak diuruk tanah.

"Saya mencari warga yang mungkin bisa membantu mengubur tapi tidak berhasil. Saat itu hujan menjadi amat deras. Lantas saya diajak makan oleh yang mengeksekusi itu di dekat pasar. Tapi saya tidak doyan makan sampai dua hari gara-gara melihat kejadian itu," ucapnya.

Mbah Supar mengaku kalau pagi hari warga yang menguruk kuburan massal itu mengira urukan tanahnya tidak rata, sebetulnya itu adalah tanah galian di bibir kuburan massal yang jatuh ke lubang kuburan massal lantaran terbawa air hujan yang deras.

"Yang perempuan itu tidak langsung meninggal, badannya masih gerak-gerak waktu kami tinggalkan," akunya.

Saksi lainnya, Mbah Sukar (81), warga Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, yang menguruk tanah kuburan massal, pagi hari pasca eksekusi dia dan warga yang menata tanah mendapati badan korban perempuan masih gerak-gerak.

"Karena kasihan, kami langsung menguburnya," pungkasnya pendek. [hhw]

Sumber: Merdeka.Com 

0 komentar:

Posting Komentar